Senin, 08 Oktober 2012

“Global Warming” dan “Revolusi” Aren

Aren Indonesia

Wim Tangkilisan

“Global Warming” dan “Revolusi” Aren

Oleh Pemimpin Umum ‘SP’ Wim Tangkilisan

Sumber: Suara Pembarua, http://202.169.46.231/News/2008/11/07/Utama/ut05.htm
07pakwim
Penurunan harga minyak mentah tidak boleh mengendurkan gerakan diversifikasi energi. Upaya melepaskan ketergantungan manusia terhadap konsumsi energi bahan bakar minyak (BBM) atau energi fosil harus terus dilakukan. Selain sumber energi ber- bahan bakar fosil sudah menipis, konsumsi BBM membuat bumi makin panas dan perubahan iklim tidak lagi berjalan normal.
Dalam 157 tahun terakhir, demikian laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), suhu permukaan bumi meningkat 0,05 derajat Celcius per dekade. Perlahan tapi pasti, suhu bumi terus meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas manusia dalam mengkonsumsi BBM. Dalam 25 tahun terakhir, kenaikan suhu bumi mencapai 0,18 derajat Celcius.
Hari-hari ini, suhu udara begitu menyengat. Di Jakarta, suhu udara berkisar 30-34 derajat Celcius, sedangkan di Surabaya suhu melonjak hingga 37 derajat Celcius. Suhu udara yang amat panas mendorong pemakaian air conditioner (AC) di rumah, perkantoran, dan mobil. Sedangkan, semakin besar penggunaan AC semakin besar pula dampaknya terhadap pemanasan global.
Kenaikan suhu bumi menyebabkan es di kutub mencair, gletser menurun dan hilang, permukaan laut naik, climate change terjadi secara ekstrem dan sulit diprediksi, banjir menerjang berbagai wilayah, berbagai jenis badai datang silih berganti, sejumlah jenis tanaman dan hewan musnah, keanekaragaman hayati menurun, hasil pertanian menurun, dan berebagai jenis penyakit mengintai manusia. Daerah gletser atau salju abadi di Puncak Carstensz tahun 1995 berkurang hingga 70%. Padahal, inilah satu-satunya gletser di negeri tropis.
Di belahan dunia dengan empat musim, global warming menyebabkan jumlah hari dengan suhu beku berkurang, sedangkan musim panas akan lebih kering dan musim dingin akan menjadi lebih lembab. Intensitas badai tropis semakin tinggi. Angin puting beliung akan semakin sering.
Para ahli memperkirakan, jika konsumsi energi fosil terus bertambah atau minimal tidak menurun, suhu udara pada tahun 2100 akan meningkat 5,8 derajat Celcius. Pada tahun itu, permukaan laut akan naik 19 inci. Sebagian daratan akan hilang dan ribuan pulau kecil bakal tersapu. Di Indonesia, seluruh wilayah pantai utaara Jawa akan lenyap. Jumlah pulau di Indonesia yang saat ini lebih dari 17.000 akan hilang separuhnya.
Untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan, penggunaan energi fosil (minyak bumi dan batubara) harus dikurangi dan digantikan dengan energi nabati atau biofuel. Saat ini, sekitar 36% bahan bakar fosil yang menjadi sumber emisi karbondioksida berasal dari pembangkit listrik dan kilang minyak, 27% dari transportasi, 21% industri, dan 15% dari rumah tangga.
Walau harga BBM diturunkan, gerakan untuk meningkatkan konsumsi biofuel tidak boleh kendor. Pemerintah harus segera memiliki rencana yang matang dan konprehensif tentang industri biofuel, bahan baku biofuel, pemasaran, dan konsumsi biofuel.
Ketika harga minyak mentah melambung hingga menembus US$ 100 per barel, pemerintah mengumumkan pemakaian biofuel. Sejumlah bahan baku bahan bakar nabati (BBN) itu pun disebutkan, antara lain jarak, CPO, singkong, dan jagung.
Mendengar itu, masyarakat NTT misalnya, langsung menanam jarak, jenis tanaman umur pendek yang pernah populer pada masa penjajahan Jepang. Waktu itu, sebagian lahan kering di NTT ditanami jarak untuk BBN. Tapi, beda dengan pemerintahan Jepang yang jelas program dan koordinasinya, bijih jarak yang ditanami rakyat NTT akhirnya dibuang ke laut karena tidak ada pembeli. Jarak sudah berbuah ketika pabrik pengolahan biofuel untuk mengolah bijih jarak belum ada.
“Global Warming”
Pemanasan global (global warming) adalah peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi akibat meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Pemanasan diikuti perubahan iklim (climate change) yang acap sangat ekstrem. Perubahan iklim ditandai curah hujan yang berlebihan hingga menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan pada periode lain, perubahan iklim membuat musim kemarau menjadi sangat kering.
Dalam sepuluh tahun terakhir, banjir telah menghilangkan jutaan nyawa manusia dan meluluhlantakkan harta harta benda bernilai triliunan rupiah. Sementara kemarau panjang yang ditandai kenaikan suhu udara menyebabkan sebagian tanaman dan hewan musnah.
Akhir-akhir ini, kata efek rumah kaca, pemanasan global, dan perubahan iklim menghiasi pemberitaan media massa. Ini merupakan cerminan tanggung jawab media massa terhadap bumi dan lingkungan hidup manusia. Bumi dan isinya bukan hanya milik generasi sekarang, melainkan juga milik anak cucu. Milik umat manusia sepanjang masa. Karena itu, bumi harus dijaga dan kelestarian lingkungan harus menjadi komitmen.
Bumi fana ini dikelilingi atmosfer dan pada lapisan atmosfer terdapat selimut gas. Bumi dan lapisan yang menutupnya bagaikan sebuah gelas kaca. Panas bumi yang memasuki bumi dengan menembus gelas kaca itu berupa radiasi gelombang pendek. Sebagian cahaya matahari diserap bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi gelombang panjang. Panas yang dipantulkan bumi ke angkasa menyentuh permukaan gelas kaca dan terperangkap di bumi. Gelas kaca memang berfungsi menahan panas. Tanpa proses itu, bumi akan teramat dingin.
Namun, petaka terjadi manakala panas yang terperangkap di gelas kaca menjadi terlalu banyak dan konsentrasinya terus meningkat. Panas matahari yang tidak dapat dipantulkan kembali oleh bumi ke angkasa akan meningkat pula, sehingga bumi pun menjadi kian panas.
Proses inilah yang disebut efek rumah kaca dan efek rumah kaca menyebabkan global warming. Selanjutnya, efek global warming menyebabkan climate change, dan perubahan iklim menimbulkan berbagai masalah bagi lingkungan, makhluk hidup, dan manusia.
Jika masih dalam kadar tertentu, efek rumah kaca sesungguhnya bermanfaat bagi makhluk hidup. Tapi, dengan meningkatnya industrialisasi, transportasi, dan berbagai aktivitas manusia yang menggunakan BBM dan energi listrik berbasis fosil, konsentrasi gas rumah kaca menjadi berlebihan. Bumi makin panas.
Salah satu jenis gas rumah kaca yang memberikan kontribusi paling besar terhadap emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida. Sebagian besar karbondioksida disumbangkan oleh pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara) di sektor industri, pembangkit listrik, transportasi, dan pembakaran hutan.
Pembangkit listrik tenaga batubara adalah penghasil terbesar karbondioksida. Pembangkit listrik tenaga batubara membuang energi dua kali lipat dari energi yang dihasilkan. Setiap 1.000 megawatt energi yang dihasilkan pembangkit listrik bertenaga batubara akan membuang emisi 5,6 juta ton karbondioksida per tahun.
Peringkat kedua adalah penggunaan BBM oleh kendaraan bermotor. Kendaraan yang mengkonsumsi 7,8 liter premium per 100 km akan mengemisi 3 ton karbondioksida. Jika di Jakarta terdapat 3,6 juta sepeda motor dan 2,3 juta mobil, berapa emisi karbondioksida ke udara?
Kontribusi negara maju terhadap pemanasan global jauh lebih besar dibanding negara berkembang. Berbagai penelitian menunjukkan, emisi karbondioksida negara maju 25 kali lebih besar dari negara berkembang. Dari semua negara maju, AS, Kanada, Jerman, Inggris, dan Jepang merupakan kontributor karbondioksida terbesar.
AS menyumbang 720 juta ton gas rumah kaca atau 25% dari total emisi karbondioksida dunia. Emisi gas rumah kaca pembangkit listrik di AS jauh lebih besar dari total emisi 146 negara berkembang. Itu sebabnya, AS dan negara maju lainnya menjadi targat utama Protokol Kyoto.
Fakta ini sekaligus memperlihatkan ketidakadilan yang membuat hati kita pedih. Apa dosa negara-negara kecil di Samudera Pacifik jika pemanasan global menenenggelamkan pulau-pulau mereka yang kecil itu, padahal konsumsi energi fosil mereka begitu minim, tiada artinya?
‘Revolusi’ Aren
Meski fakta membuktikan bahwa negara maju memberikan kontribusi paling besar terhadap pemanasan global, upaya mengurangi emisi karbondioksida harus dimulai dengan serius dan sistematis mulai saat ini. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada isu lingkungan dengan memimpin rakyat untuk hemat energi, tidak membuang sampah di sembarang tempat, menanam pohon, tidak membabat hutan, menghemat pemakaian air, mendorong produksi BBN, dan menggalakkan konsumsi BBN atau biofuel.
Salah satu bahan baku BBN paling hebat pemberian Yang Maha Kuasa yang selama ini kurang disadari manfaatnya adalah pohon aren atau enau (arenga pinnata). Pohon aren adalah jenis pohon kelompok palma yang mampu memberikan multimanfaat kepada manusia.
Dari pohon dengan sekitar 25 meter dan berdiameter 63 centimeter, manusia bisa mengambil ijuk, daun untuk atap rumah, batang dan pelepah untuk bahan bangunan, buah muda untuk kolang-kaling yang membuat nikmat kolak, dan cairan manis (nira) segar yang langsung bisa diteguk. Dari cairan manis berwarna putih ini, penduduk juga membuat minuman keras lewat proses penyulingan. Penduduk di sejumlah wilayah Indonesia timur menyebut minuman yang sudah disuling ini dengan sebutan tuak. Di Manado, minuman keras dari nira ini populer dengan nama cap tikus.
Kini, hasil penelitian terbaru menunjukkan dahsyatnya manfaat pohon aren atau sugar palm dalam bahasa Inggris. Ternyata, nira mampu menghasilkan biofuel dengan tingkat produktivitas empat kali crude palm oil (CPO) atau minyak sawit.
Beda dengan pohon kelapa sawit yang ‘egoistik’ dalam arti tidak bisa hidup berdampingan dengan pohon lain, aren bisa bertumbuh subur di tengah pepohonan lain dan semak-semak. Jika untuk menanam sawit, pemilik lahan harus membabat semua pohoh lain, lahan untuk aren tidak perlu didahului dengan membabat hutan. Aren adalah jenis pohon yang ramah lingkungan.
Dengan akarnya sedalam enam-delapan meter, pohon aren sangat efektif menarik dan menahan air. Aren bisa tumbuh di dataran, lereng bukit, dan gunung hingga ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut. Hutan di mana ada aren biasanya subur. Di kawasan aren di Sulawesi Utara yang dibudidayakan pengusaha nasional Hashim Djojohadikusumo, sejumlah hewan yang lima tahun silam yang sempat hilang, kini kembali ada. Hutan aren menjadi habitat babi hutan dan rusa. “Jika sebelumnya tanah tandus, tidak ada air, kini di sejumlah tempat muncul mata air,” kata Hashim.
Tidak seperti singkong dan tebu yang dipanen tiga-empat bulan sekali, aren dapat dipanen sepanjang tahun. Satu pohon aren bisa menghasilkan 20 liter per hari dan 10% di antaranya bisa diproses menjadi etanol.
Usia panen aren enam-delapan tahun. Tapi, sangat produktif. Setiap satu hektare, kata Kepala Bagian Jasa Iptek Puslit kimia LIPI Dr Hery Haeruddin, bisa ditanami 75-100 pohon. Dengan demikian, setiap hektare bisa menghasilkan 1.000 liter nira dan 100 liter etanol per hari.
Sebutlah Indonesia memiliki lahan tandus sekitar 25 juta hektare, yang tersebar di berbagai wilayah. Jika satu hektare menyerap empat orang, maka untuk menggarap total lahan aren dibutuhkan 100 juta tenaga kerja. Jika perkebunan aren dikembangkan, tak akan ada lagi penganggur di Indonesia!
Lebih dari itu, tanaman aren akan menciptakan mata air baru. Indonesia yang kini krisis air akan kelimpahan air bersih. Dengan hutan yang lebat, emisi karbondioksida akan menurun drastis. Dengan penggunaan biofuel atau BBN berbahan baku aren, kita menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Mulailah menanam aren sebagai sebuah gerakan atau revolusi. Hanya dengan cara itu, kita tidak perlu menangisi migas dan batubara yang sudah menipis. Sebaliknya, dengan ‘revolusi’ aren, Indonesia menjadi eksportir biofuel dan bahan pangan. Lewat “revolusi” aren, kita bukan saja luput dari kutukan anak cucu karena tamak menggunakan kekayaan alam, melainkan menjadi berkat bagi mereka.*

Leave a Comment »

No comments yet.
RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a Reply

Follow

Get every new post delivered to your Inbox.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar