Senin, 08 Oktober 2012

Cap Tikus, Andalan Bernilai Rp3,47 T

Aren Indonesia

Robby Assah

Cap Tikus, Andalan Bernilai Rp3,47 T

Sumber: http://mdopost.com/; Jul 26, 2008
Oleh : Robby Assah, SE,Msi
PEMERINTAH Brasil mampu mengatasi krisis energi dengan mengembangkan dan mengolah energi alternatif berbasis etanol, dan Indonesia kata Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin belajar dari Brasil. Menyimak keberhasilan pemerintah Brasil itu, saya berpandangan, inilah saatnya Sulawesi Utara bangkit dengan potensi sumber energi berbasis etanol yakni cap tikus (etanol atau etil alkohol) dari nira aren.
Potensi sumber energi ini, apabila dikelola secara maksimal, ternyata nilainya cukup menggiurkan, dan belum lagi multiplier effect yang diciptakannya. Memproduksi komoditi ini pada dasarnya sudah diajarkan oleh nenenk moyang kita secara turun temurun, dan tinggal peningkatan kadar etanolnya yang perlu ada sentuhan teknologi yang sederhana.
Perkembangan harga minyak dunia saat ini menunjukkan tren yang meningkat dengan harga US$ 147 perbarel, walaupun ada penurunan harga akhir-akhir ini. Dampak yang paling terasa dari kenaikan Bahan Bakar Minyak ini adalah pada subsidi BBM yang memberi tekanan pada APBN dimana diperkirakan pada tingkat harga US $ 200 perbarel, subsidi BBM akan mencapai Rp300 triliun. Peningkatan harga BBM ini juga berdampak pada industri yang harus membeli BBM sesuai harga keekonomiannya. Biaya produksi industri yang harus membeli BBM sesuai harga keekonomiaanya.
Biaya produksi industri meningkat tajam yang diikuti naiknya harga bahan baku. Demikian pula transportasi udara dan laut yang tidak disubsidi, harga barang yang menggunakan jasa kedua modal angkutan ini juga ikut meningkat tajam. Yang terakhir yang sudah mulai dirasakan adalah tekanan pada PLN, khususnya pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar solar, dimana biaya operasionalnya semakin meningkat.
Permasalahan akibat kenaikan bahan bakar ini akan tetap menghantui dunia terutama Negara konsumen BBM. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mencari dan mengganti penggunaan energi fosil ini yang ternyata berkontribusi pada pencemaran dan pemanasan global. Ada beberapa Negara yang sudah mengembangkan sumber energi terbarukan yang berbasis etanol ini, antara lain Amerika Serikat, Brasil,Australia, India, China, Jepang, Kolombia, Swedia dan Thaiand.
Sumber etanol dapat diperoleh antara lain dari jagung, singkong, sorgum, tetes tebu dan aren. Dari sekian banyak sumber bahan bakar nabati ini, yang memiliki tingkat produktivitas paling tinggi adalah pohon aren. Pengolahan etanol dari nira aren, tidak akan menimbulkan konflik kepentingan antara bahan bakar dan pangan seperti halnya dari jagung aren mampu menghasilkan etanol sebanyak 40000 liter/ha/tahun, Jagung 6000 liter/ha/tahun, Singkong 2000 liter/ha/tahun dan Sorgum 4000 liter/ha/tahun.
Luas perkebunan aren di SUlawesi Utara adalah 5.787 Ha. Potensi perkebunan aren ini apabila dikelola secara maksimal dapat menghasilkan etanol sebanyak 634 Kl/hari atau 231.410 kl/ tahun dengan nilai Rp3,471 Triliun, atau menyamai pagu DAU Provinsi dan Kabupaten Kota Sulawesi Utara. Perkiraan kebutuhan BBM Sulawesi Utara untuk premium sebanyak kurang lebih 709 kl/hari, minyak tanah 319 kl/hari, Solar 337 kl/hari.
Melihat besaran produksi etanol Sulawesi Utara, maka kita dapat mengganti pemakaian minyak tanah yang ada di Sulawesi Utara dengan etanol dan mengoplos bahan bakar premium dengan etanol menjadi setara dengan pertamax (E 10 atau E 20), sedangkan untuk sisanya dapat dieksport. Dengan alternative ini dan tetap menghargai kebijakan pemerintah nasional, Sulawesi Utara rasanya tidak perlu mengkonvensi minyak tanah ke Gas LPG, akan tetapi mengkonversi minyak tanah ke bahan bakar etanol. Kebutuhan rumah tangga akan minyak tanah sebanyak 319 kl/ hari dapat diganti dengan etanol sebanyak 45 kl/ hari (tingkat efisiensi kompor etanol adalah 1 liter etanol = 7 liter minyak tanah). Dengan demikian Sulawesi Utara menjadi daerah “mandiri energi” khususnya tidak menggunakan minyak tanah.
Daya Saing Etanol terhadap BBM.
Subsidi BBM dari pemerintah paling besar ada pada jeni sbahan bakar minyak tanah. Standard konsumsi minyak tanah perkapita/perbulan sebanyak 3,5 liter (Bappenas, 2006). Dengan harga Rp3.000/ liter tergantung jarak dari Depo Pertamina Bitung, pengeluaran keluarga (4 orang) untuk minyak tanah sebulan sebesar Rp42.000,- Apabila menggunakan kompor berbahan bakar etanol (90%-99,5%) pengeluaran keluarga hanya memerlukan 2 liter dengan harga Rp 30.000,- dengan kelebihannya antara lain sebagai bahan bakar yang bersih, tidak berbau dan menimbulkan polusi udara atau ramah lingkungan serta tidak mudah meledak karena tidak bertekanan seperti LPG yang harus dikemas dalam tabung, dan yang terakhir tidak membebani APBN. Harga keekonomian minyak tanah per 15 Juli 2008 sebesar Rp 12.981,87. Dengan demikian subsidi pemerintah kepada setiap keluarga/ perbulan adalah Rp 136.746,2. total subsidi pemerintah untuk minyak tanah di Sulawesi Utara pertahun sebesar Rp 1,163 triliun.
Dalam upaya mendukung program langit biru, Sulawesi Utara dapat berkontribusi dengan mengoplos bahan baker premium yang digunakan di daerah ini menjadi setara pertamax (E 10 atau E 20). Untuk mendapatkan biopremium setara E 10 konsumsi premium Sulut dapat dikurangi sebesar 70,9 kl/hari, sedangkan untuk mendapatkan E20 dapat dikurangi sebesar 141,8 kl/hari. Penggunaan pertamax sebanyak 20 liter akan mengeluarkan biaya sebesar Rp 206.000,- jika menggunakan biopremium E 10 (campuran etanol 10%), biaya yang dikeluarkan hanya sebesar Rp138.000,- atau ada penghematan pengeluaran sebesar Rp 68.000,- dengan kelebihannya daya hemat BBM sebesar 20%, akselerasi mesin lebih baik dan mengurangi polusi udara atau karbon monoksida (CO). harga keekonomian premium per 15 Juli 2008 Rp 11.156,73. dengan demikian subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk premium setahun sebesar Rp 1,334 triliun. Jika Sulawesi Utara menggunakan biopremium E10, subsidi pemerintah untuk premium dapat dikurangi sebesar Rp 133,4 miliar, atau jika menggunakan E20 berkurang sebesar Rp 266,8 miliar.
Multiplier Effect Selama ini cap tikus atau etanol dari nira aren dianggap salah satu sumber permasalahan gangguan ketertiban masyarakat, sehingga perlu dikontrol peredarannya. Hal inilah yang antara lain menyebabkan petani cap tikus yang kurang lebih 15.000 orang sering mengeluh tentang pemasaran dari komoditi ini. Saat ini terbuka jalan bagi petani cap tikus untuk meningkatkan dan memasarkan produknya, karena pasar bahan bakar alternative ini terbentang luas. Permintaan etanol cukup besar karena pemerintah menargetkan pada tahun 2016-2025 kendaraan bermotor dianjurkan menggunakan bahan bakar E 15 alias campuran premium dengan etanol 15%. Diperkirakan ketika itu kebutuhan premium Indonesia mencapai 41 miliar liter dan permintaan etanol 6,28 miliar liter. Dampak positif bagi Sulawesi Utara dalam mengolah bahan bakar berbasis etanol ini adalah penciptaan lapangan kerja baru dari hulu hingga ke hilir, peningkatan pendapatan masyarakat dalam rangka mengurangi kemiskinan, mengurangi penggunaan kayu bakar dalam kaitannya dengan lingkungan, menstimulus penanaman pohon aren dalam kaitan dengan konservasi hutan, memberi kontribusi pada upaya mengurangi pencemaran udara dan pemanasan global dan terakhir mengurangi beban subsidi BBM. Dalam kaitan dengan usulan saudara Suhendro Boroma kepada Bapak Presiden beberapa waktu lalu di Cikeas Bogor tentang “Desentralisasi Penghapusan Subsidi BBM”, dan bilamana dalam konteks tersebut kebijakan pemerintah provinsi Sulawesi Utara mendorong masyarakat mengkonversi BBM di daerah ini dapat dikurangi sebesar Rp1,43 triliun.
Dalam upaya menekan subsidi BBM ini, terkait dikeluarkannya Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, dan Inpres No 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain, sewajarnya dan mungkin dapat diusulkan kepada pemerintah nasional memberikan penghargaan atau stimulus atau kompensasi bagi daerah yang mampu mengembangkan energi alternative, katakanlah 50% saja dari nilai subsidi yang berhasil dihemat, maka kebijakan energi daerah ini akan menghasilkan Rp 700 miliar atau setara dengan 700 km jalan hotmix dengan standard kwalitas Rp 1 miliar/KM.
Yang terakhir yang tidak kalah pentingnya, komoditi ini akan menjadi andalan Sulawesi Utara kini danmasa mendatang selain Kelapa dan cengkeh, karena nilai produksi sebsar Rp3,471 triliun pertahun pasti akan memberikan kontribusi yang besar dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara (sebagai pembanding, perkiraan nilai produksi kelapa Rp1,7 triliun, cengkeh Rp0,6 triliun pertahun).
Alangkah indahnya, saat penyelenggaraan WOC 2009, kita menunjukkan kepada dunia bahwa Sulawesi Utara sudah mulai menggunakan green Energy dalam rangka mengurangi global warming.

Leave a Comment »

No comments yet.
RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a Reply

Follow

Get every new post delivered to your Inbox.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar