Senin, 08 Oktober 2012

AREN TANAMAN SERBAGUNA

Aren Indonesia

David Allorerung

AREN TANAMAN SERBAGUNA

Oleh: David Allorerung,  Peneliti Pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian
(Disajikan dalam Workshop Budidaya dan Pemanfaatan Aren untuk Bahan Pangan dan Energi 6 Desember 2007)
PENDAHULUAN
p-david-allorerung
Aren (Arenga pinnata Merr) adalah salah satu keluarga palma yang serbaguna, dapat tumbuh pada ketinggian 0-1 500 meter di atas permukaan laut. Sekalipun lebih dikenal sebagai tanaman hutan, aren telah mulai dibudidayakan secara baik oleh suku Batak Toba sejak awal tahun 1900. Tanaman ini tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia pada berbagai kondisi agroekosistem. Penyebaran dan pertumbuhan aren umumnya berlangsung secara alamiah. Di beberapa tempat, terutama yang memiliki kebiasaan membuat gula atau mengonsumsi minuman beralkohol, aren sudah sering ditanam secara sengaja, meskipun umumnya sebagai tanaman pinggiran atau tanaman sela di antara tanaman pepohonan yang sudah ada. Meskipun para petani penderes mengakui bahwa gula yang dihasilkan dari nira aren sangat menolong ekonomi mereka, perhatian pemerintah terhadap upaya pengembangan tanaman ini sangat terbatas dan tidak konsisten. Hal yang sama dijumpai pada lembaga-lembaga penelitian, penelitian tanaman aren umumnya dilakukan secara insidentil.
Hampir semua bagian tanaman aren berguna bagi manusia, baik untuk pangan maupun bahan baku industry dan energy terbarukan. Di samping itu, aren memiliki kemampuan fungsi hidroorologis yang tinggi sehingga sangat sesuai untuk tanaman konservasi. Di pulau jawa, tanaman aren banyak ditebang untuk dipanen patinya sehingga memercepat penurunan populasi. Kolang kaling yang dibuat dari bunga betina yang masih muda masih merupakan makanan penyegar paforit masyarakat, terutama selama masa puasa bagi kaum muslim. Gula merah dari aren (dan juga dari sumber lainnya) yang semula hanya digunakan untuk penganan dan industry kecap, sekarang sudah mulai diminati sebagai gula sehat yang digunakan untuk minuman kopi atau pelapis roti bagi kalangan menengah ke atas.
Meskipun sudah lama disuarakan berbagai kalangan tentang pentingnya mengembangkan sumber energi terbarukan, khususnya di Indonesia, kita tidak member respons secara cepat. Krisis energi akhir 2005 yang dibarengi dengan fenomena kekacauan iklim telah berhasil memicu kesadaran semua pihak untuk mengembangkan energi terbarukan dan lebih ramah lingkungan. Dalam konteks ini, aren memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber utama bioenergi yang ramah lingkungan di samping sebagai penghasil pangan dan tanaman konservasi.
AREAL DAN PRODUKSI
Mengingat aren belum dibudidayakan secara meluas dan tidak merupakan komoditas yang diperioritaskan pengembangannya, maka akurasi data yang tersedia sangat meragukan. Kesulitan mengumpulkan data sulit dilakukan karena aren tumbuh terpencar dalam kelompok kecil atau individual. Beberapa sumber data menggunakan satuan populasi tanaman dan sumber lainnya menggunakan satuan luasan (ha). Luas areal dan produksi aren nasional (Direktorat Bina Produksi, 2006) disajikan dalam Tabel 1. Khusus luas areal, juga disertakan data tahun 2002 untuk member gambaran betapa rumitnya persoalan data statisti kita.
t1
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian
BUDIDAYA AREN
Pengetahuan dan informasi tentang budidaya aren masih sangat langka karena kegiatan penelitian untuk tanaman ini sangat terbatas dan tidak kontinu sebagai konsekuensi dari rendahnya perhatian terhadap pengembangan komoditas ini. Penelitian yang ada umumnya terbatas pada aspek pasca panen dan pengolahan produk , social ekonomi, karakterisasi, dan penyiapan bibit.
1. Sumber Benih
Aspek penemuan varietas unggul adalah salah satu aspek yang tidak disentuh oleh para peneliti. Hingga saat ini, belum ada suatu varietas unggul yang dilepas secara resmi oleh pemerintah. Menurut Novarianto dkk (1994) secara tradisional petani di beberapa daerah membedakan dua jenis aren yang memiliki potensi hasil nira berbeda yaitu hasil tinggi dan rendah. Aren yang berpotensi hasil tinggi dikenal dengan nama lokal antara lain aren TINGGI di Rejang Lebong, provinsi Bengkulu, enau GADJAH di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, dan aren BAGONG di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sedangkan aren yang berproduksi rendah dikenal sebagai jenis PENDEK (Bengkulu) atau GADING (Sumatera Barat). Hasil nira dari jenis aren unggul mencapai 15-20 liter/hari atau setara dengan 3-4 kg gula/hari/pohon (Puslitbang Perkebunan 2004). Smith (2004) melaporkan bahwa di beberapa daerah seperti Sulawesi Utara sudah diidentifikasi pohon aren yang unggul sebagai sumber benih untuk pengembangan aren. Meskipun belum ada varietas unggul yang dilepas, benih yang digunakan untuk pengembangan tanaman aren sebaiknya berasal dari pohon terpilih. Pohon induk yang baik dapat dipilih berdasarkan informasi petani dan karakter yang diamati di lapangan. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (1998) telah menerbitkan buku Petunjuk Pemilihan Pohon Induk Aren yang memuat syarat antara lain (a) produksi nira tinggi, 15 – 20 liter/hari, (b) memiliki 7-8 mayang bunga jantan, (c) umur mulai disadap 9-10 tahun, jumlah mayang disadap 15-20 mayang jantan sepanjang umur produktifnya, lama penyadapan 6-12 bulan untuk mayang jantan pertama,
2. Penyediaan bibit.
Aren diperbanyak secara generatif yaitu melalui biji dari buah yang sudah matang fisiologis. Tampaknya benih aren memiliki masa dormansi sehingga benih yang baru dipanen tidak bisa sebera berkecambah. Struktur kernel biji yang keras menyebabkan biji aren relatif lambat berkecambah. Meskipun demikian terdapat petunjuk bahwa tingkat kecepatan dan keserentakan berkecambah dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman (Maskar, dkk, 1996) Dalam salah satu seri penelitian mereka, terdapat perbedaan awal dan keserentakan berkecambah antar pohon sumber benih pada perlakuan yang sama. Dilaporkan bahwa terdapat pohon yang benihnya berkecambah hanya dalam waktu 2 bulan sudah mencapai 90 % , sedangkan pohon lain masih kurang dari 60 % dalam waktu 3 Bulan.
Mashud dkk (1989) melaporkan bahwa perlakuan skarifikasi dengan kertas pasir lalu disimpan di tempat gelap selama 20 hari sebelum dikecambahkan di media tanah-pasir-pupuk kandang, menghasilkan kecambah hingga 65 % dalam 90 hari. Mahmud dan Novarianto (2004) melaporkan bahwa pengalaman petani dengan cara buah segera dikupas dan dikering-anginkan selama 10 hari dan dideder dengan mata kea rah bawah, dapat menghasilkan kecambah hingga 70 %. Di Maluku, para penyuluh menganjurkan petani menyangrai biji yang dicampur dengan pasir kuarsa pada suhu sekitar 40o C selama 1 – 2 jam sebelum didederkan (Balai Informasi Pertanian Ambon, 1993). Benih yang sudah dikecambahkan lebih dulu, dibibitkan dalam kantong plastic ukuran 30 x 30 cm atau 25 x 30 cm dengan media campuran tanah dan pupuk kandang 1:1.
3. Penanaman
Bibit siap ditanam 6-8 bulan terhitung sejak dipindahkan ke dalam kantong plastik. Jarak tanam yang digunakan tergantung keadaan lapangan dan bentuk pertanaman. Jika monokultur dapat ditanam dengan jarak 8 x 8 m dan jika berupa pertanaman campuran, dapat menggunakan jarak tanam 6 x 12 sedangkan jika sebagai tanaman penyisipan disesuaikan dengan ketersediaan ruang. Sebelum penanaman, disiapkan lobang tanam 50x50x50 cm. Tanah bagian atas dipisahkan dengan galian tanah bagian bawah. Jika tersedia, sebaiknya tanah lapisan atas dicampur dengan pupuk organik sebelum dikembalikan kedalam lobang tanam.
Selanjutnya, bibit diletakkan dalam lobang dan plastiknya dilepaskan. Kemudian, sisa tanah bagian bawah dipakai untuk menutup lobang tanam. Pemeliharaan tanaman berupa pembersihan gulma di daerah sekitar tanaman (ring weeding) dilakukan setiap 2-3 bulan. Untuk menjamin pertumbuhan awal yang baik dan kecepatan pertumbuhan, dapat diberi pupuk buata N, P, K dengan takaran sesuai kondisi setempat. Meskipun penelitian pemupukanpada tanaman aren praktis belum dilakukan, pada prinsipnya, semua jenis tanaman akan memberikan respons positif terhadap perlakuan pemupukan, baik pupuk anorganik maupun organik. Untuk tanaman aren disarankan menggunakan pupuk organik yang dapat dibuat petani sendiri dari sisa-sisa tanaman atau bahan kompos yang mudah diperoleh dari kebun sendiri.
TANAMAN AREN DAN PANGAN
Masalah pangan, khususnya di Indonesia, tidak hanya berkaitan dengan peningkatan permintaan karena peningkatan pertumbuhan penduduk dan leveling off produktivitas lahan, tetapi juga bersumber dari kompetisi peruntukan lahan dan penggunaan bahan pangan itu sendiri. Lahan untuk padi bersaing dengan industri, pemukiman/property, tanaman hortikultura benilai ekonomi tinggi. Tanaman tebu sebagai penghasil gula utama juga bersaing sengit dengan padi, sawit, karet, singkong, dan kemungkinan besar dengan jarak pagar. Tebu sebagai sumber utama gula, oleh negara-negara penghasil utama cenderung mengonversi ke bioetanol sebagai akibat melambungnya harga bahan bakar fosil. Tanaman aren sudah lama dikenal dan dimanfaatkan sebagai penghasil gula, kolang-kaling, dan pati.
Secara teoritis potensi aren sebagai penghasil gula lebih tinggi dibandingkan tebu pewr satuan luas lahan, tetapi pengetahuan dan pemahaman mengenai tanaman aren masih jauh tertinggal. Di samping itu, perbedaan mendasar kedua komoditas ini adalah dalam hal cara panen. Pemanenan tebu dapat dilakukan oleh semua pekerja karena tidak memerlukan keterampilan khusus, tetapi pemanenan aren (penyadapan) harus dilakukan oleh tenaga terampil. Persoalan terbesar pada pemanenan aren adalah terkait masalah sosial dan masa produktif tanaman. Tanaman baru mulai berproduksi pada umur 8 – 10 tahun dengan masa produktif 2 – 4 tahun. Petani terikat setiap hari karena penyadapan harus dilakukan setiap pagi dan sore sehingga tidak punya waktu untuk bersosialisasi. Masalah ini membuat tidak banyak generasi muda yang tertarik untuk menjadi penderes, meskipun pendapatan petani gula jauh lebih tinggi dari pada buruh. Secara tentative, berdasarkan asumsi tertentu, dalam Tabel 2 disajikan perbandingan potensi antara aren dan tebu dalam menghasikan gula.
t2
Dalam kenyataanya, produktivitas ril perkebunan tebu nasional saat ini hanya sekitar 7 – 8 ton/ha/th atau memerlukan lahan sekitar 400.000 – 500.000 ha untuk memenuhi kebutuhan nasional yang saat ini sekitar 3 juta ton/tahun.. Dengan potensi seperti diungkapkan dalam Tabel 2, maka untuk memenuhi 50 % kebutuhan gula nasional, cukup dengan 40.000 – 50.000 ha pertanaman aren.
Selain disadap, aren juga mengasilkan kolang kaling dari bunga betina sebagai bahan makanan penyegar untuk campuran buah segar atau penganan (seperti kolak). Kolang kaling banyak digemari masyarakat, khususnya bagi kaum muslimin pada masa puasa.
Tanaman aren juga lazim ditebang untuk diambil patinya yang banyak digemari karena aromanya lebih disukai dibandingkan pati dari sagu. Pati dari aren terutama digunakan dalam industry makanan semacam mie yang disebut sohun (so’un) dan untuk membuat makanan ringan seperti cendol.
AREN DAN ENERGI
Lonjakan harga minyak bumi pada akhir 2005 telah memaksa kita untuk mencari bahan bakar alternatif. Sejalan dengan issu lingkungan dan kesehatan, maka upaya pemenuhan kekurangan suplai energi ke depan diarahkan ke sumber terbarukan dan ramah lingkungan, antara lain biofuel. Kebutuhan bahan bakar bensin terus meningkat sejalan dengan kemajuan di bidang ekonomi dan impor meningkat tajam dari sekitar 0.5 juta pada tahun 1998 menjadi sekitar 6 juta Kl pada tahun 2004 ketika kebutuhan bahan bakar jenis ini telah mencapai 17 juta Kl/tahun. Jika digunakan campuran alcohol sebesar 10 %, berarti kebutuhan alkohol akan mencapai 1.7 juta Kl/tahun atau sekitar 4.6 juta liter/hari. Masalahnya adalah hampir semua sumber bahan baku biofuel bersaing dengan kebutuhan pangan di samping persaingan pemanfaatan lahan untuk menghasilkan bioenergi. Dalam konteks ini, aren dapat berperan sebagai salah satu sumber bioenergi yang penting mengingat produktivitasnya yang sangat tinggi sehingga hemat pemakaian lahan. Di samping itu, adapat ditanam di antara tanaman yang sudah ada atau sebagai komponen tanaman untuk reboisasi atau penghijauan sehingga tidak bersaing dengan komoditas pangan.
Pengolahan nira aren menjadi minuman beralkohol sudah dikenal masayarakat sejak dahulu kala dan mungkin merupakan bentuk pemanfaatan yang paling awal dari aren. Di beberapa daerah, tradisi minum arak atau tuak masih merupakan bagian dari budaya komunitas setempat. Dibandingkan bahan baku lain untuk produksi etanol, proses produksi dengan bahan baku nira lebih sederhana sehingga lebih mudah dilakukan oleh petani. Dengan demikian, memungkinkan dibangun jejaring sistem produksi etanol yang sinergis antara industri pemurnian dengan industri pedesaan atau rumah tangga.
Secara teoritis, potensi etanol dari aren adalah yang paling besar di antara semua sumber yang saat ini bisa dilakukan. Sebagai gambaran, dalam Tabel 3 disajikan perbandingan potensi etanol dari berbagai komoditas pertanian.
t3
b. Sagu : Holmes & NewCombe (1980) c. Sorghum manis: Revendraan (1981) d. Sisanya: Villanueva (1981)
Dari Tabel 3 dapat dihitung bahwa jika konsumsi premium sekarang sudah mencapai 20 juta Kl dan digunakan campuran 20 % (4 juta Kl), maka untuk memenuhi kebutuhan etanol pencampur tersebut cukup dari produksi aren seluas sekitar 200.000 ha (31.2 juta pohon) atau hanya 20 % dari kebutuhan lahan jika digunakan bahan baku singkong.
AREN DAN LINGKUNGAN
Luas dan jumlah kawasan lahan kritis di Indonesia meningkat dengan laju yang makin tinggi, baik di dalam kawasan hutan maupun di kawasan pertanian dan pemukiman. Hal ini antara lain disebabkan karena eksploitasi sumberdaya alam, khususnya hutan, di masa lalu yang dilakukan secara tidak bijaksana. Seiring dengan itu, peningkatan jumlah penduduk telah mendorong perluasan areal pertanian ke kawasan hutan yang sudah dieksploitasi. Sebagian dari kawasan tersebut berada pada topografi berlereng dan telah mengalami kebakaran berulang sehingga terjadi peningkatan secara tajam areal lahan kritis, baik pada lahan yang masih termasuk kawasan hutan maupun dalam kawasan hutan yang sudah berubah menjadi kawasan pemukiman/pertanian. Kerusakan dan konversi hutan menyebabkan degradasi suberdaya lahan makin meluas sehingga kemampuan kawasan daerah aliran sungai (DAS) menyerap air hujan makin menurun, cadangan air tanah makin menurun dan aliran permukaan makin meningkat. Akibatnya, erosi makin berat serta bencana banjir dan kekeringan makin sering terjadi. Sebagai gambaran, luas lahan kritis dalam kawasan pertanian/pemukiman meningkat dari sekitar 15 juta hektar pada tahun 1980 menjadi sekitar 20 juta pada tahun 2000 dan saat ini diperkirakan sudah mencapai 25 – 30 juta ha.
Dalam prakteknya, konversi lahan bekas hutan untuk pertanian dan pemukiman, umumnya dilakukan dengan teknik pembakaran. Penggunaan cara pembakaran menyebabkan peningkatan produksi CO2 di udara. Laju pertumbuhan emisi karbon Indonesia dari Tahun 1995 hingga 2025 diperkirakan akan mencapai 3.3 %, terutama dari sektor energi. Akibat semuanya itu adalah menurunnya kemampuan Indonesia sebagai paru-paru dunia. Sebagai gambaran, pada tahun 1994 total emisi CO2 Indonesia sebesar 748.607 Gg, sedangkan penyerapannya 403.881 Gg, sehingga emisi bersih mencapai 383.881 Gg. Jumlah tersebut merupakan 1,8% dari total emisi CO2 dunia. Untuk mengatasi masalah tersebut, dapat dilakukan melalui upaya mengurangi sumber emisi CO2 dan meningkatkan penyerapan CO2 (Smith).
Selain degradasi lahan dan lingkungan yang bermula dari eksploitasi hutan, juga terjadi kerusakan secara sistematis pada lahan pertanian di sepanjang DAS atau dalam kawasan tangkapan air hujan, sebagai akibat cara-cara bertani yang tidak mengindahkan prinsip pertanian berkelanjutan. Akibatnya, produktivitas lahan makin merosot, kemampuan menyerap air hujan makin berkurang, aliran permukaan makin meningkat,dan erosi makin meningkat. Sumbangan kawasan pertanian dan pemukiman terhadap banjir dan penurunan cadangan air tanah saat ini di beberapa daerah sudah lebih besar daripada sumbangan kawasan hutan. Pada saat yang sama terjadi proses fragmentasi kepemilikan lahan karena sistem pewarisan, sehingga petani makin sulit memenuhi kebutuhannya dan makin tidak mampu menerapkan teknologi berbasis prinsip konservasi lahan. Dengan demikian , akan terjadi proses spiral degradasi lahan pertanian yang makin parah dan proses spiral peningkatan masalah banjir dan kekurangan air.
Kedua proses degradasi lahan dan lingkungan tadi secara sistematis makin meningkatkan jumlah keluarga tani miskin di kawasan tersebut, sehingga mereka makin terdorong merambah hutan yang masih tersisa. Dengan demikian, jelaslah bahwa tanpa intervensi yang memadai, proses kerusakan lingkungan dan hutan akan terus berlanjut dan pada akhirnya menjadi bencana yang dahsyat bagi umat manusia.
Penanggulangan masalah degradasi kawasan daerah tangkapan dan DAS,degradasi lahan, serta penyerapan CO2 yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan petani di sekitar hutan dan mencegah petani merambah hutan, mencakup dua sektor utama yaitu;
  1. reboisasi dan penghijauan lahan kritis dalam kawasan hutan serta
  2. penghijauan lahan di kawasan pertanian/pemukiman, khususnya di lahan-lahan kritis atau terlantar dalam bentuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan dengan tanaman perkebunan sebagai komponen utama dalam pola pertanaman campuran termasuk dengan tanaman kayu-kayuan..
Mengingat kelestarian sumberdaya alam dan keberlanjutan sistem pertanian erat kaitannya dengan penduduk atau masyarakat petani setempat, maka pengembangan sistem pertanian berkelanjutan berbasis tanaman perkebunan/tahunan merupakan pilihan yang sangat strategis. Untuk maksud tersebut, maka perlu dipilih jenis komoditas yang tepat agar di samping dapat berkembang baik pada kondisi lahan marginal, juga dapat memberikan pendapatan yang tinggi bagi petani serta pengembangan ekonomi secara regional atau kawasan.
Tanaman aren (Arenga pinnata) adalah salah satu tanaman perkebunan yang sangat cocok untuk tujuan tersebut karena memiliki daya adaptasi terhadap berbagai kondisi lahan dan agroklimat, memiliki toleransi yang tinggi dalam pola pertanaman campuran termasuk dengan tanaman kayu, tumbuh relatif cepat serta memiliki perakaran dan tajuk yang lebat sehingga sangat cocok untuk tujuan konservasi tanah dan air, merupakan tanaman serbaguna karena hampir semua bagiannya bernilai ekonomi dan, tidak membutuhkan pemeliharaan intensif sehingga cocok bagi petani miskin di lahan marginal. Di samping itu, tanaman aren menghasilkan biomas di atas tanah dan dalam tanah yang sangat besar (1 hingga 2 ton/pohon), sehingga dapat berperan penting dalam CO2 sequestration.
Setiap pohon aren rata-rata menghasilkan 15 liter nira/hari dengan rendemen gula sekitar 12 % yang dapat disadap terus-menerus selama 3 – 5 tahun. Aren juga menghasilkan ijuk rata-rata 2 kg/pohon/tahun yang di panen mulai umur 4 hingga 9 tahun dan menghasilkan buah untuk kolang-kaling 100 kg/pohon, dan tepung sagu rata-rata 40 kg/pohon (jika tidak disadap). Terakhir, setelah selesai masa produktifnya, kayunya dapat diolah menjadi mebel dan kerajinan tangan dengan tekstur yang khas (exotic), serta bahan bakar untuk pengolahan nira.
Kemampuan petani menyadap aren rata-rata 15 pohon/orang/hari sehingga setiap petani dapat menghasilkan nira rata-rata 225 liter/hari yang dapat menghasilkan alcohol berkadar 80 % sekitar 19 lietr.hari atau 570 liter/bulan. Jika harga alkohol 80 % di tingkat petani Rp 5.000/kg maka pendapatan petani dari nira saja akan mencapai Rp 2.850.000/bulan. Di samping itu, petani masih akan mendapat tambahan pendapatan dari ijuk dan kolang-kaling.
Mengingat aren baru dapat disadap setelah berumur 5-10 tahun, maka penanamannya harus dilakukan secara bertahap dalam 5 – 6 tahun dan dalam bentuk farming system dengan kombinasi tanaman yang lebih awal dipanen misalnya tanaman semusim, tanaman atsiri, tanaman obat-obatan, atau kopi (2 tahun), dan kakao (2,5 tahun) tergantung topografi lahan dan peluang pasar. Oleh karena proses pengolahan alkohol menggunakan bahan bakar kayu, maka penanaman aren ini harus dikombinasikan dengan tanaman kayu seperti sengon (legume tree crops) yang dapat berfungsi sebagai bahan bakar dan sumber bahan organik sekaligus sebagai tanaman pelindung bagi aren muda. Salah satu kelebihan dari tanaman aren adalah investasi penanaman hanya satu kali, karena setelah tanaman mati, anakan dari buahnya sudah tumbuh dalam jumlah banyak hingga dapat membentuk hutan aren.
Dengan demikian, peranan aren dalam pengelolaan lingkungan mencakup peranan langsung dan tidak langsung. Peranan langsung setidaknya melalui tiga aspek yaitu: (a) fungsi hidrologis yaitu kemampuan daun dan perakaran mengendalikan aliran permukaan, (b) fungsi penangkapan karbon yaitu produksi biomass yang sangat tinggi baik di dalam maupun di atas permukaan tanah, dan (c) pengurangan emisi yaitu penggunaan etanol sebagai energi. Peranan tidak langsungnya melalui fungsi perbaikan kesejahteraan petani yang dapat mencegah perusakan hutan.
Meskipun demikian, untuk mengoptimalkan manfaat dari potensi aren ini serta untuk menjamin keberhasilan program dalam jangka panjang, perlu didukung dengan kegiatan penelitian. Aspek-aspek yang masih perlu diteliti meliputi potensi genetik, farming system, perbaikan mutu dan pengembangan aneka produk, pengaruhnya terhadap aspek lingkungan, dan sosial ekonomi petani. Di samping itu, perlu upaya pengembangan sumber daya manusia petani dan kemampaun penelitian (research capacity building).
KESIMPULAN
  1. Aren memiliki potensi yang sangat besar sebagai alternatif sumber bioetanol sehingga dapat berperan dalam penanggulangan degradasi lingkiungan baik melalui fungsi agronomisnya maupun sebagai bahan bakar ramah lingkungan.
  2. Tanaman aren juga dapat berperan dalam mengatasi kekurangan pasokan gula akibat konversi gula ke etanol oleh Negara-negara penghasil gula utama.
  3. Kelebihan tanaman aren adalah produktivitasnya yang tinggi sehingga kebutuhan lahan lebih sedikit dibandingkan komoditas lain sebagai sumber energy atau pemanis. Meskipun demikian, aren memiliki kelemahan dalam hal teknologi pemanen yang masih tradisional sehingga kesulitan mendapatkan tenaga dalam jumlah besar.
  4. Teknologi dasar yang berkaitan dengan tanaman dan pembudidayaannya masih sangat terbatas dan hingga sekarang belum mendapat perhatian yang memadai dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Sehubungan dengan itu, penelitian tentang sumberdaya aren perlu didorong agar potensinya dapat dioptimalkan untuk mengatasi persoalan pembangunan bangsa di masa yang akan datang.
DAFTAR BACAAN
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2004. Program perbaikan lingkungan dan pengentasan kemiskinan melalui pengembangan agribisnis aren berkelanjutan. Laporan Khusus, tidak diterbitkan.
Saefudin dan Feri, M. 1994. Pengaruh perlakuan benih dan media tumbuh terhadap perkecambahan benih aren. Forum Komunikasi Penelitian Kelapa dan Palma. Sub Balai Penelitian Kelapa, Pakuwon. 96 – 100
Novarianto H., H.G. Lengkey, E.T.Tenda. 1994. Karakteristik dan kemiripan populasi aren dari Provinsi Bengkulu, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Kelapa Vol. 7 (2): 1 – 7.
Mashud, N., R. Rahman, dan R.B. Maliangkay. 1989. Jurnal Penelitian Kelapa Vol. 4 (1): 27 – 37.
Mahmud, Z. D. Allorerung, dan Amrizal. 1991. Prospek tanaman kelapa, aren, lontar, dan gewang untuk menghasilkan gula. Buletin Balitka. No 14: 90 – 105.
Smith, W. 2004. Pengembangan Aren di Indonesia. Bahan masukan untuk penyusunan proposal program perbaikan lingkungan dan pengentasan kemiskinan melalui pengembangan agribisnis aren berkelanjutan (tidak diterbitkan).
Tatang, H.S. Bioetanol dan Gasohol. 2004. Makalah disajikan pada acara sosialisasi Biosolar dan Biopremium. 27 Juli 2006, di Surabaya.

Leave a Comment »

No comments yet.
RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a Reply

Follow

Get every new post delivered to your Inbox.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar