Senin, 08 Oktober 2012

Seho: Bio Energi dan Pilihan Pariwisata WOC

Aren Indonesia

Steven Y Pailah

Seho: Bio Energi dan Pilihan Pariwisata WOC

Oleh: Steven Y Pailah
Sumber: http://www.sulutlink.com/berita2008/80611artikel.htm
Pohon Seho dikenal dengan nama pohon enau, aren atau literatur latin menyebutnya ‘Arenga Pinnata’. Di Manado dan Batak, hasil pohon ini dijadikan “saguer, tuak, arak” yang memiliki kandungan alkohol / ethanol melalui proses fermentasi. Sebagai minuman khas tradisional, desa-desa di bagian Minahasa Selatan sudah memproduksi secara masal, baik tiap rumah tangga dalam kemasan tradisional. ‘Cap tikus’ nama lain produk ini menjadi ‘barang ekonomi’ bagi masyarakat setempat dan pabrik pembuat minuman beralkhohol.
Hingga kini, berkat penjualan ala tradisional ‘cap tikus’ maka sebuah kampung di Minahasa dapat menyekolahkan putra-putrinya hingga sarjana. Bahkan, usaha kecil masyarakat ini dapat menembus pasar lokal dan internasional di tahun 1990an. Menjadi pertanyaan, mengapa pohon seho hanya dijadikan miras ‘captikus’? Padalah, masih banyak juga kegunaan alkohol dalam bidang medis ataupun kosmetika. Kendalanya, adalah pabrik farmasi dan kosmetika tidak beroperasi sepenuhnya di Sulawesi Utara. Oleh karena itu, produksi pohon seho hanya digunakan sebagai bahan baku utama untuk minuman beralkohol.
Di sisi lain, rencana protes para petani di Minahasa Selatan sesungguhnya adalah hal wajar, apabila pabrik minuman keras tidak melakukan pembelian atas produksi tesebut. Hal ini menunjukkan iklim usaha yang tidak kondusif. Jika proses pembelian tidak dilakukan dan terjadi penumpukan produksi maka harga ‘cap tikus’ akan turun dengan sendirinya dan petani akan gigit jari. Hal ini terjadi karena daya dukung dan daya serap pabrik juga mungkin sudah melebihi kapasitas produksi. Jadi, untuk sementara tidak melakukan pembelian yang dirasakan menutup keran hidup masyarakat petani pohon seho.
Apabila ada pabrik farmasi maupun kosmetika yang beroperasi di Sulawesi Utara, kemungkinan protes petani tidak akan sampai ke Pemprov dan DPRD Sulut.
Manfaat ‘Seho’ Sebagai Bio Energi
Selanjutnya, apa manfaat Pohon Seho sebagai pilihan alternatif mengatasi krisis energi? Uraian Hanny Sangian (sulutlink,7 Mei) merupakan jawaban ilmiah menyangkut kegunaan produksi alkohol/ethanol:“…menurut Hanny Sangian, “jika Etanol Enau menggantikan seluruh bahan bakar, maka; 1 pohon enau menghasilkan Air Nira 20-30 liter perhari. Dalam 20 liter Nira mengandung 1 liter etanol murni. Konsumsi bahan bakar sekarang 200 juta liter perhari setara dengan 200 juta pohon enau. “Untuk itu kita memerlukan 2 juta hektar lahan pohon enau. Perbandingan; Etanol dari Jagung memerlukan luas lahan sebesar 30.000.000 hektar. Etanol dari Tebu memerlukan lahan seluas 25.000.000 hektar. Minyak Sawit (biodiesel) memerlukan lahan seluas 15.000.000 hektar. Keuanggulan dari pohon Enau bisa menghasilkan multi produk seperti tepung Sagu, gula Aren dan Ijuk. Pohon enau yang tidak produktif bisa diambil kayunya. Pohon enau tahan terhadap cuaca ekstrim. Pohon enau penahan banjir. Sedangkan dalam penyerapan tenaga kerja; 1 orang dapat menghasilkan 300 liter air nira perhari dari 15-25 pohon enau, setara dengan 15 liter bahan bakar etanol perhari. “Jika produksi bahan bakar etanol 200.000.000 liter perhari, maka, jumlah tenaga kerja yang terserap itu adalah sebanyak 13.333.000 orang. Belum lagi tenaga kerja pada tingkat industri processing”.
Berdasarkan pemaparan Sdra. Hanny di atas, mari kita lihat target produksi bio-energi (bahan bakar) untuk kebutuhan skala nasional.
Target Pemerintah di Bidang Energi
Pemerintah RI melalui Departemen Sumber Daya Mineral mentargerkan diversifikasi energi tahun 2007 hingga 2010 adalah sebagai berikut:


tabel1
Sumber: Dr. Ing Evita H. Legowo, Staf Ahli Menteri Energi&Sumber Daya Mineral, Sekretaris I Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati
Jadi sesungguhnya, dalam program diversifikasi yang dilakukan pemerintah hingga dua tahun ke depan, prosentasi penggunaan produksi ethanol sebagai bahan bakar dan sumber pengganti energi masih berada pada skala minimal dan alternatif yang belum dapat menggantikan produksi kapasitas BBM maupun Solar pada kisaran 40 %.
Di samping itu, untuk bahan baku biofuel saat ini yang baru dikembangkan adalah singkong, tebu, sawit dan jarak. Sedangkan, aren (pohon seho), nipah, cantle, mikroalgae dan sampah masih dalam tahapan pengembangan. Pemerintah juga sesungguhnya memprioritaskan pengembangan bahan baku biofuel diusahakan bukan berasal non-pangan. Hal ini untuk menjaga keseimbangan lahan dan penggunaan produksi yang berlebihan sehingga tidak akan merusak sektor-sektor usaha perkebunan lainnya.
Andaikan disediakan 2 juta hektar lahan konversi untuk pohon seho, maka masih diperlukan waktu maksimal 10 tahun untuk bisa berproduksi dan dinikmati hasilnya. Di samping itu, pohon seho tumbuh pada daerah yang mengalami hujan tropis. Keadaan iklim yang tidak menentu saat ini akan sangat mudah mempengaruhi nilai produksi dan hasil pohon itu sendiri. Jika dibandingkan dengan beras 1 kilogram yang membutuhkan 1000 liter air untuk pengairan padi di sawah, maka bisa dipikirkan 1 pohon seho membutuhkan berapa puluh ribu kubik air selama 10 tahun?
Untuk itu, upaya-upaya mengubah paradigma masyarakat petani pohon seho seharusnya tidak serta-merta mengikuti perkembangan teknologi berbasis bio-energi. Apabila dilakukan maka akan berbahaya bagi kelangsungan hidup dan ekonomi petani itu sendiri. Perubahan struktur, produksi dan teknologi hendaknya diarahkan pada keuntungan manusia itu sendiri, bukan dalam hal rekayasa teknologi yang justru mendatangkan bencana.
Memang, saat ini dunia begitu panik akan kenaikan minyak mentah di pasar internasional yang telah menembus $ US 122/barel. Sementara itu di Amerika Latin, penggunaan bio energi dari tebu dan jagung sudah jauh dikembangkan. Indonesia juga melalui peneliti di bidang pertanian dan energi telah berhasil dalam teknologi pengembangan bio energi generasi satu. Akan tetapi, kebijakan tiap-tiap negara tentunya berbeda-beda. Kemungkinan pengembangan bio-energi yang berlebihan akan menyebabkan ketimpangan sektor produksi lahan perkebunan lainnya.
Hal ini juga akan menimbulkan krisis penyediaan pangan bagi Indonesia maupun bagi dunia, karena penyerapan lahan-lahan disediakan hanya untuk penyediaan energi, sedangkan produksi perkebunan dan pertanian nantinya akan terlantar.
Solusi dan Alternatif
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan 5 hal. Pertama, di samping membuka dialog antara petani, pengelola pabrik dan pemerintah Provinsi Sulut, maka dibutuhkan jembatan investasi dan penyediaan pasar domestik untuk penyaluran produksi ‘cap tikus’ di bidang medis dan kosmetika. Mungkin tidak perlu dengan membangun pabrik farmasi dan kosmetika, tetapi yang dibutuhkan adalah jalur investasi dari pabrik-pabrik di Bandung atau Surabaya seperti Kalbe Farma, PT.Unilever dan Martha Tilaar untuk membeli hasil produksi petani. Langkah dan kerelaan pemerintahlah yang menjadi jembatan emas bagi para petani di Minahasa Selatan.
Kedua, jadikan kebun-kebun di Minahasa Selatan sebagai pusat riset untuk pengembangan bio-energi khususnya ethanol/alkohol. Apabila sumber sampel riset berasal dari pohon seho di Minsel maka akan berdampak luas bagi usaha ekonomis. Di samping itu, para petani mendapat pengetahuan dan ilmu baru dalam mengolah produksi pohon seho.
Ketiga, perkebunan seho diusahakan sebagai inti program usaha masyarakat. Hal ini menimbulkan konsekuensi modal dan usaha. Apabila ingin berhasil, maka yang diperlukan adalah tiga hal yakni produksi, teknologi dan industri. Jika produksi melimpah dan teknologi riset dapat menjadikan komoditi ekspor, maka harus ada arus bisnis dan investasi dalam bentuk industri. Kenapa masyarakat hanya bergantung pada pembelian pabrik miras saja, tidak berusaha membangun industri kelompok rumah tangga atau industri khusus memenuhi produk ekspor?
Di Bali, ada contoh yang baik. Melimpahnya buah-buahan tropis menjadikan seorang peneliti (asing) yang menikah dengan gadis setempat membuat usaha minuman beralkohol rasa buah. Saat ini pasar internasional sudah menerimanya dengan paket kemasan ‘Wine of Bali’. Yaitu sejenis minuman beraroma alkohol dan rasa buah. Teknik pengolahan buah menjadi minuman beralkohol tidaklah sulit. Pada saat peneliti dari ‘ekspatriat’ Perancis datang ke Manado (2002-2003), tepatnya di Lotta telah dilakukan proses uji coba minuman beralkohol dengan rasa buah. Oleh karena itu, kenapa petani tidak mencoba mengalihkan sebagian produksi ‘cap tikus’ untuk produk ekspor?
Keempat, potensi pegunungan dan produksi masal ala petani di Minahasa sesungguhnya merupakan objek untuk pariwisata. Alih-alih berdemo meminta produksi dibeli, apakah tidak sebaiknya para petani menjadikan lahan seho-nya sebagai objek wisata. Dahulu, perkebunan kopi di Afrika dan Amerika Latin dijadikan tempat wisata dan peristarahatan para pemilik. Dengan konsep demikian, jika para petani mau membersihkan lahannya dan mendirikan dego-dego bambo untuk menikmati ‘cap tikus’, kenapa tidak meminta Pemprov untuk mensosialisasikan sebagai daerah tujuan wisata? Akan sangat menarik dan mendatangkan keuntungan jika para turis bersama-sama petani melakukan proses ba tifar, pukul pohon hingga penyulingan ‘cap tikus’ pada tahap awal. Jadi, di samping produksi lahan dan ‘cap tikus’, akan mendatangkan manfaat juga pada sektor pariwisata. Bukankah program WOC saat ini sedang mencari objek wisata alternatif selain Bunaken?
Kelima, yang perlu di ingat adalah kualitas produksi perkebunan pohon seho. Memang, struktur penanaman pohon seho ada juga yang beragam dengan tanaman lainnya seperti cengkeh, vanili, pala maupun kelapa. Produk-produk inipun tak kalah ‘harum’-nya dan pernah mengalami zaman keemasaan sebagai produk perkebunan di pasar internasional. Dengan kondisi krisis energi dan pangan dunia, seharusnya petani juga memikirkan produksi alternatif hasil kebun lainnya dengan memperhitungkan jarak tanam, olah dan produksi. Andaikan pohon seho bisa diproduksi pada tahun ke enam hingga ke sepuluh, maka harus ada tanaman penunjang lainnya di tahun pertama hingga ke lima . Tanaman-tanaman tersebut adalah alternatif penghasilan jangka pendek ketika menunggu ba tifar dan bajual saguer atau ‘cap tikus’. Jadi, sekalipun pabrik tidak menerima produksi ‘cap tikus’, masih ada ‘rica-tamate’ atau ‘kalapa muda’ yang boleh dijual ke pasar maupun disuguhkan for bule-bule yang datang sebagai wisatawan.

1 Comment »

  1. Tetap maju Putra Daerah… !!!
    Comment by Standard Smile — February 18, 2010 @ 2:36 am

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a Reply

Follow

Get every new post delivered to your Inbox.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar