Senin, 08 Oktober 2012

Aren Indonesia Workshop

Aren Indonesia

Workshop

Petani Sumut Belum Galakkan Bagot Aren

Sumber: http://media86.blogspot.com/ Medan (Lapan Anam), Jumat, 2009 Januari 16
Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan dan Penguatan Publik (LAMPIK), Mayjen Simanungkalit,mengatakan petani si Sumatera Utara (Sumut) belum menjadikan tanaman Bagot (aren/enau) sebagai komoditi unggulan.
“Tanaman Bagot masih dikelola secara tradisional dan terbatas untuk bahan baku Tuak dan Gula Sakka (Gula Aren) dengan pola tradisional”, katanya dalam Workshop Peluang Bisnis Komoditi Bagot yang digelar LAMPIK di Medan, Jumat (16/1).
Dalam workshop diikuti 30 orang peserta berasal dari petani, Pemerintah Kecamatan/Pemda serta para aktivis masyarakat lainnya itu, Mayjen Simanungkalit memaparkan peluang dan strategi pengembangan tanaman Bagot sebagai komoditi unggulan yang masih terbuka untuk dikembangkan.
Kata dia, petani di Sumut perlu menggalakkan budidaya Bagot guna memenuhi kebutuhan gula sakka (gula merah) yang terus meningkat. Juga memanfaatkan potensi lahan tidur yang masih terhampar luas di sejumlah daerah.
“Peluang mengembangkan industri hilir dari tanaman Bagot di Sumut masih terbuka lebar. Selain karena pasaran lokal masih terbuka, juga adanya pangsa pasar eksport yang menjanjikan”, ujar Mayjen Simanungkalit juga Ketua Kaukus Wartawan Peduli Petani dan Nelayan (KWPPN).
Sampai saat ini kata dia, Sumut belum mampu memenuhi kebutuhan gula aren di pasaran lokal. Demikian juga untuk minuman Tuak sebagai minuman tradisional khas sejumlah etnis di Sumut, belum mampu dipenuhi secara teratur.
Tiap tahun Sumut hanya mampu memproduksi 2.708 ton gula aren dari lahan sekitar 4.400 hektar yang tersebar secara acak di hutan-hutan tropis. Sedangkan kebutuhan pertahun, Sumut membutuhkan 20.000 ton.
Demikian juga peluang eksport, Sumut belum dapat menyanggupi permintaan gula aren sejumlah negara di kawasan Asia dan Eropa seperti Jepang. Demikian juga permintaan lidi, ijuk dan akar yang semuanya merupakan bagian tak terpisahkan dari tanaman Bagot.
Pemasok gula aren di Jepang saat ini masih didominasi Thailand yang menguasai pasar 49%, Australia 39%, dan Afrika Selatan 12%. Maka bila saja, tanaman Bagot dijadikan sebagai komoditi unggulan di Sumut, petani kita tentu bakal meraup devisa lebih besar lagi.
Mayjen Simanungkalit sendiri kini sedang mengembangkan kebun Bagot diatas lahan 10 hektare di Desa Hopong kecamatan Simangumban Taput. Selain sebagai sarana penelitian tanaman Bagot, areal tersebut juga menjadi pilot proyek bagi pengembangan Bagot di wilayah Pahae Taput.
Dia mengatakan, pohon Bagot adalah komoditi multiguna yang layak dikembangkan secara professional. Mulai dari akar sampai daun, semuanya memiliki nilai ekonomis sangat tinggi.
“Dikampung saya di Hopong, Aren (Bagot) adalah tanaman sitolong na dangol (membantu orang suah), karena memberi manfaat ganda bagi petani”, katanya. (ms)

WORKSHOP  BUDIDAYA DAN PEMANFAATAN AREN UNTUK BAHAN PANGAN DAN ENERGI, 6 DESEMBER 2007

Press Release.
Sejak akhir tahun 2004, Indonesia telah memasuki babak baru dalam kaitannya dengan penggunaan minyak bumi. Selama ini, dengan produksi 1 juta barel lebih sedikit per-hari, Indonesia menjadi salah satu anggota OPEC yang diperhitungkan. Namun demikian, keanggotaannya kini mulai dipertanyakan oleh masyarakat, karena dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang mendorong peningkatan konsumsi BBM, membuat Indonesia semakin bergantung pada impor minyak mentah dan BBM.
Ketergantungan yang berlebihan pada BBM, menipisnya ketersediaan sumber daya alam khususnya sumber daya minyak bumi (BBM) yang tidak terbarukan dan meningkatnya harga minyak bumi memaksa masyarakat dunia untuk mencari alternatif pengganti minyak bumi yang lebih ramah lingkungan dan secara natural telah mendorong tumbuhnya industri biofuel. Berbagai penelitian para ahli, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, menyimpulkan bahwa terdapat berbagai jenis tanaman di dunia sebagai bahan bakar nabati (BBN) yang terbarukan.
Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman yang dapat yang dapat dibuat (diversifikasi) sebagai sumber bahan bakar nabati, seperti tanaman singkong, jagung, tebu, dan aren. Secara hakiki, kelebihan dari bahan bakar nabati adalah bahwa struktur harganya bisa ditentukan di dalam negeri tergantung dari biaya produksinya, berbeda dengan BBM yang harus melalui suatu kesepakatan dengan negara-negara lain penghasil minyak (OPEC).
Sulawesi Utara (khususnya Kab. Minahasa Selatan, Kota Tomohon, Kab. Minahasa Utara) dikenal memiliki populasi aren yang diperkirakan berjumlah 2 juta pohon. Berdasarkan informasi media dan literatur, nira aren diproses menjadi gula merah dan diproses secara tradisional menjadi bioetanol kadar rendah hasil sulingan nira terfermentasi, yang dijual ke pabrik minuman keras Cap Tikus di Minahasa Utara. Persebaran pohon aren menunjukkan bahwa pada kebanyakan kawasan populasi, pohon aren tumbuh secara tidak merata, dengan jarak satu sama lain mulai dari 2 meter hingga ratusan meter. Di Minahasa Selatan, aren mulai dibudidayakan dengan jarak yang lebih rapat. Jarak yang memungkinkan menurut pengalaman orang setempat, yang tidak mengganggu kualitas dan kuantitas produksi nira adalah 5 meter. Dengan demikian, dimungkinkan untuk menanam aren secara rapat, 300-400 pohon per-hektar. Produktifitas nira aren sepanjang tahun rata-rata 25 liter per-hari. Kadar gula (total sugar) sekitar 12 %. Potensi hasil bioetanol murni 1,5 liter/pohon/hari. Dengan demikian, satu pohon aren dapat menghasilkan bioetanol murni (fuel grade ethanol) 547 liter/tahun.
Lampung. Tanaman aren yang dalam bahasa Lampung Barat disebut dengan Hanau, banyak tumbuh dan dibudidayakan di kebun-kebun petani. Umumnya tanaman ini dibudidayakan di antara tanaman kopi atau tanaman lainnya. Pola budidaya semacam ini dikenal dengan istilah Repong. Pengusahaan budidaya tanaman aren lebih banyak sebagai tanaman sela yang berfungsi sebagai pendapatan sampingan selain komoditi utama seperti kopi. Oleh karena itu pola budidaya seperti jarak tanam kurang teratur, karena pemeliharaan lebih banyak mengandalkan tanaman yang tumbuh secara alami. Untuk Daerah Propinsi Lampung, Lampung Bagian Barat yang banyak ditemukan pohon aren. Di daerah ini sudah dikenal sejak lama sebagai produksi gula aren. Ada sekitar 234 Ha luas areal tanaman aren dengan produktifitas yang dihasilkan rata-rata sekitar 46 ton atau 337 kg gula merah/ha/tahun. Penanganan budidaya yang dilakukan masih tradisional dan belum tersentuh teknologi secara intensif. Tidak seperti di daerah NTT dan Sulawesi Utara, di daerah Lampung Barat tidak ada yang memproses secara fermentasi nira aren menjadi produk yang menghandung alkohol. Untuk produk gula aren, rendemen rata-rata sekitar 20-30 persen tergantung dari mutu niranya. Dari 20 liter nira biasanya akan didapat gula aren sebanyak 6 keping dengan bobot 9-10 ons.
Propinsi Banten merupakan sentra utama aren di P. Jawa. Saat ini terdapat 1.500 ha tanah pegunungan di kab. Lebak dan Kab. Pandeglang yang merupakan kawasan berpopulasi aren dan menghasilkan gula merah dan gula semut dalam jumlah signifikan. Diperkirakan masih terdapat lebih dari 100 ribu ha lahan pegunungan yang dapat ditanami aren sehingga Banten berpotensi menjadi penghasil bioetanol dari nira aren. Nira aren sepenuhnya digunakan sebagai bahan baku gula merah dan gula semut. Desa Hariang, Kec. Sobang Kab. Lebak yang merupakan tipikal sentra aren, mampu menghasilkan 10 ton gula semut per minggu dan dipasarkan ke Tangerang dengan harga Rp 7.500/kg.
Nusa Tenggara Timur. Produksi etanol kadar tinggi bukan hanya dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Utara dari bahan baku nira aren. Masyarakat NTT juga mampu memproduksi kadar tinggi dengan bahan baku nira lontar (pohon siwalan). Dipandang penting untuk membandingkan teknologi yang digunakan, produktifitas dan harga jualnya. Secara tradisional, proses pembuatan minumam berakohol, yang dikenal dengan SOPI ada di daerah Kupang. Hanya saja dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena dilarang oleh pihak berwajib. Proses pembuatan minumam beralkohol tersebut menggunakan nira dari pohon lontar. Walaupun dilakukan secara tradisional, proses pembuatan SOPI merupakan dasar proses pembuatan bioetanol. Sehingga boleh dikatakan bahwa masyarakat Kupang sudah mengenal bagaimana membuat bioetanol dengan menggunakan nira sebagai bahan baku. Tinggal mengarahkan dan memberikan produk altenatif kepada masyarakat Kupang tersebut baik secara teknis, kebijakan maupun ekonomi untuk mengalihkan produk yang berupa minuman berakohol menjadi produk alkohol teknis untuk keperluan industri atau rumah sakit, maupun lebih jauh untuk produk bahan bakar transportasi (gasohol).
Kawasan Sibolangit – Brastagi (sebelah barat Medan, Kab. Deli-Serdang dan Kab. Tanah Karo), dengan ketinggian 500 – 1200 meter di atas permukaan air laut, merupakan kawasan potensial untuk pengembangan pangan (gula) dan pemanfaatan energi terbarukan (panas bumi dan biomasa) untuk biofuel, khususnya bioetanol. Pohon aren tersebar secara acak di ribuan hektar areal kiri-kanan jalan raya Medan-Brastagi dari ketinggian 400m di atas permukaan laut sebelum Sibolangit hingga ke lokasi panas bumi, Brastagi Tanah Karo. Pemanfaatan aren selama ini adalah untuk pembuatan gula merah dan minuman tuak (hasil fermentasi nira aren secara alami). Di Kec. Sibolangit terdapat beberapa sentra penyadapan nira. Satu sentra dapat menghasilkan sekitar 2.000 liter nira per-hari dengan potensi gula merah 500 kg per-hari per-sentra. Belum semua pohon aren dimanfaatkan, antara lain karena faktor distribusi populasi aren yang tidak merata mempersulit pengumpulan hasil nira yang disadap. Panas bumi di Sidebuk Kab. Tanah Karo dimanfaatkan untuk pembangunan 2 x 5 MW (sedang dalam pembangunan). Buangan dari pembangkit listrik ini masih memiliki suhu tinggi (sekitar 100oC). Berdasarkan kajian tekno-ekonomi secara kasar, produksi gula lebih menguntungkan daripada bioetanol. Namun demikian, tidak semua nira dan gula dapat digunakan untuk produksi gula semut kualitas tinggi, sehingga tetap diperlukan produksi bioetanol dalam skala kecil. Skenario yang dapat dikembangkan adalah model produksi gula semut skala agak besar (2-3 ton/hari) dan etanol 70-95 % skala kecil (200-500 liter/perhari).
Kalimantan Timur. Pemerintah pernah melakukan penanaman aren di kawasan transmigrasi Kec. Samboja Kab. Kutai Kartanegara. Kaltim. Kawasan ini hanya berjarak 10 km dari laut dan di kawasan perbukitan rendah (hanya puluhan meter di atas permukaan air laut). Hasil maksimal nira aren yang pernah dicapai adalah 15 liter/pohon/hari (lebih rendah dibanding aren pegunungan tinggi di Sulut dan Bengkulu yang dapat mencapai 40 liter/pohon/hari). Produktifitas gula merah juga rendah (2 kg/25 liter nira, bandingkan dengan gula merah nira aren pegunungan tinggi Sulut sebesar 7 kg/25 liter nira). Tidak terdapat informasi pengolahan nira menjadi bioetanol. Nampaknya, faktor agama (Islam) yang melarang minum alkohol membatasi hal ini. Meskipun produktifitas rendah, apabila dalam satu hektar ditanam 400 pohon, mampu menghasilkan minimal 100 liter bioetanol murni/ha/hari ataun 36.500 liter bioetanol murni/ha/tahun. Bandingkan dengan produktifitas bioetanol dari ubikayu dan tebu yang saat ini baru mencapai 4000-6000 liter/ha/tahun.
Propinsi Jambi memiliki dua sisi kawasan pegunungan tinggi (sebelah timur dan barat Bukit Barisan sepanjang ratusan kilometer). Di kawasan ini terdapat populasi aren yang cukup banyak, tetapi terkendali oleh lokasi bertebing dan belum memiliki jalan darat untuk kendaraan mobil. Namun demikian, Pemerintah Propinsi Jambi tetap berusaha mendorong para petani setempat untuk mengembangkan tanaman aren, baik karena alasan konservasi hutan pegunungan dan mengupayakan peremajaan aren melalui pengadaan bibit aren secara masal. Hasil nira aren rata-rata adalah 10 liter/pohon/hari (sedikit lebih rendah dibanding aren pegunungan tinggi di Sulut dan Bengkulu yang dapat mencapai 40 liter/pohon/hari). Produktifitas gula merah cukup tinggi (7,5 kg/25 liter nira) dan harganya Rp 6.000/kg. Namun demikian, karena terkendala oleh sarana transportasi, pengolahan nira menjadi gula merah semakin ditinggalkan oleh petani. Terutama hanya pada bulan puasa mereka membuat gula merah dan tidak terdapat informasi pengolahan nira menjadi bioetanol. Namun demikian, potensi ke arah sana terbuka lebar, karena terdapat hamparan luas di kaki Bukit Barisan yang dapat ditanami aren dengan tingkat populasi yang tinggi serta komitmen Pemerintah Propinsi Jambi untuk pengembangan tanaman aren.
Dalam rangka pengembangan aren sebagai bahan pangan dan energi serta mendukung 2 (dua) dari 6 (enam) fokus program 2004-2009 pencapaian IPTEK Kementerian Negara Riset dan Teknologi, yaitu teknologi ketahanan pangan dan pertanian dan teknologi energi: energi alternatif dan terbarukan, maka Kedeputian Program Riset dan IPTEK telah melakukan kegiatan kajian tekno ekonomi pemanfaatan Aren sebagai bahan pangan dan energi serta untuk mensosialisasikan hasil kegiatan tersebut, maka pada tanggal 6 Desember 2007 bertempat di Komisi Utama Gedung II BPPT diselenggarakan Workshop Budidaya dan Pemanfaatan Aren untuk Bahan Pangan dan Energi.
Workshop ini dibuka oleh Deputi Bidang Perkembangan Riptek Kementerian Negara Riset dan Teknologi Bapak Dr. Ir. Bambang Sapto Pratomosunu, yang sebelumnya disampaikan laporan oleh Asisten Deputi Program Tekno Ekonomi, Ir. Hari Purwanto, MSc.DIC, kemudian dilanjutkan keynote speech dari DR. David Allorerung serta presentasi-presentasi yang disampaikan oleh Johan Bukit (Pembina Pengrajin Gula Merah di berbagai daerah), Johan Susilo (Dirut PT. Banyu Lancar Unggul Engineering), M. Rosjidi (Peneliti Teknologi Proses BPPT), dan Johan A. Mononutu (manajer Proyek Percontohan Etanol dari Tanaman Aren, Sulawesi Utara).

1 Comment »

  1. berapa harga gula aren murni 1 kg? Kemana tempat pemasaran mudah di medan?
    Comment by M.Syahril — May 23, 2011 @ 9:54 pm

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a Reply

Follow

Get every new post delivered to your Inbox.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar