Senin, 08 Oktober 2012

Aren-aren yang Menghidupi

Aren Indonesia

Arif Rahmanulloh dan Elok Mulyoutami

Aren-aren yang Menghidupi

Cerita dari pinggiran habitat orangutan Batang Toru, Sumatera Utara

Oleh: Arif Rahmanulloh dan Elok Mulyoutami
Sumber: Kiprah Agroforestry, Volume 2, No. 1 – Februari 2009. ICRAF Indonesia.
0aren1
Pagi-pagi sebelum jam tujuh, Pak Ardi Ritonga sudah bersiap dengan seragam dan peralatannya. Baju dan celana panjang lusuh menjadi pakaian wajib. Tiga buah pisau berbeda ukuran diikat melingkar di pinggang. Kakinya
dibalut sepatu ladam, sepatu hitam yang terbuat dari karet kasar. Bersamaan dengan mentari pagi yang masih hangat, ia berangkat menembus sisa kabut yang masih lengket di kaki bukit.
Pak Ardi membutuhkan waktu kurang lebih satu jam berjalan kaki untuk menempuh jarak sekitar sekitar 3 km hingga mencapai kebunnya. Melewati pematang, semak, padang ilalang sampai punggung bukit, Pak Ardi sudah melakukannya setiap hari selama 12 tahun.
“Bargot harus di-agat tiap pagi dan sore. Kalau tidak, besoknya itu pohon tidak mau mengeluarkan air lagi,” jelas Pak Ardi, bapak lima anak. Bargot adalah pohon aren dalam Bahasa Batak. Pak Ardi bercerita tentang rutinitas seorang paragat (penyadap aren) supaya bargot tetap menghasilkan air nira. Tidak ada hari libur bagi petani bargot. Pagi-pagi benar mereka harus berangkat dan pulang menjelang sore. Kadang mereka harus menginap di gubug yang ada di kebun kalau pekerjaan masih banyak.
Pak Ardi tidak sendiri. Ada puluhan paragat di Desa Paran Julu. Paran Julu adalah salah satu desa di Kecamatan Sipirok yang sebagian masyarakatnya masih menggantungkan hidup dari menyadap nira dan memprosesnya menjadi gula aren. Butuh waktu sekitar 10 jam perjalanan darat dari Medan untuk sampai di Sipirok.
Tim peneliti World Agroforestry Centre (ICRAF) mengunjungi Desa Paran Julu awal Desember 2008 lalu. Kunjungan tersebut merupakan bagian dari uji lapangan metode cepat untuk mengidentifikasi intervensi yang diperlukan dalam pengembangan praktik-praktik agroforestri untuk peningkatan kehidupan masyarakat. Metode tersebut dikenal dengan RAFT atau Rapid appraisal of Agroforestry practices and technology.
“Dengan metode ini, para praktisi agroforest diharapkan dapat menggambarkan kelebihan, kekurangan, dan potensi pengembangan dari suatu sistem agroforestri dalam waktu 2 sampai 3 minggu,” jelas Endri Martini, Agroforestry Tree Specialist dari ICRAF. Endri bersama peneliti lainnya melakukan pengukuran di kebun aren, diskusi kelompok dengan para petani, pengumpul dan pedagang. Observasi dan wawancara langsung juga dilakukan di kebun maupun di pasar.
Para peneliti ICRAF tidak hanya melihat  pengelolaan kebun aren di Sipirok.
Mereka juga melakukan pengumpulan data di beberapa tempat lain seperti di
Desa Pagaran Tulason yang masih termasuk Tapanuli Selatan, Desa Sibulanbulan (Tapanuli Utara) dan Desa Hutagurgur di Tapanuli Tengah. Semua  desa tersebut terletak di DAS Batangtoru, salah satu kawasan hutan
paling penting di Sumatra Utara yang saat ini masih menjadi habitat
orangutan.
Di Desa Sibulan-bulan dan Pagaran Tulason yang berada pada ketinggian antara 600-800 m dpl, karet masih menjadi sumber penghidupan utama, meskipun masyarakat setempat memelihara aren.  Di kedua desa tersebut, aktifitas pembuatan gula aren hanya bersifat sampingan. Berbeda dengan di Desa Paran Julu yang berada pada ketinggian 800-1.200 m dpl, gula aren menjadi sumber penghasilan utama setelah padi sawah.
Tidak hanya gula aren
Secara administratif, DAS Batangtoru terletak di tiga kabupaten sekaligus, yakni Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Pada tahun 2007, ketiga kabupaten ini menyumbang sekitar 24% dari seluruh gula aren yang dihasilkan oleh Sumatra Utara. Menurut BPS, pada tahun itu Sumatra Utara memproduksi gula aren sebanyak 3,356 ton. Gula aren adalah salah satu produk pohon aren yang paling banyak diusahakan selain ijuk, kolang-kaling dan tuak.
Kebun aren masih dikelola dengan cara sederhana. Petani masih mengandalkan bibit dari aren yang tumbuh alami di kebunnya. Biji-biji
aren yang menjadi bibit tersebut biasanya disebarkan oleh musang ke
seantero kebun. Meskipun demikian, ada juga beberapa petani yang sudah berhasil memindahkan anakan aren ke kebun mereka, seperti di Desa Pagaran Tulason, Kecamatan Arse. Selain pengelolaan kebun, penyadapan dan pengolahan hasil juga masih dilakukan dengan cara tradisional.
Di Desa Sibulan-bulan, Pagaran Tulason dan Paran Julu, petani memelihara sekitar 10-20 pohon aren untuk memproduksi gula. Dalam sehari mereka dapat menyadap sekitar 10-15 pohon aren. Tiap pagi dan sore petani mengumpulkan nira di gubug pembuatan gula (rumah gula) yang biasanya dibangun di tengah kebun. Satu pohon nira bisa memproduksi 10-30 liter tiap hari, tergantung iklim dan kondisi pohon. Dalam 2-3 hari, kuali penampungan nira akan penuh dan petani akan memulai proses manepek (membuat gula aren). Proses manepek memakan waktu sekitar 3 jam dan membutuhkan kayu bakar yang tidak sedikit.
Dalam satu minggu, dari 30-100 liter nira yang dihasilkan, seorang paragat dapat memproduksi 10-30 kg gula aren dan menjualnya dengan harga sekitar Rp 9.000/kg. Jika dalam seminggu petani bisa menghasilkan 20 kg gula aren, maka dalam sebulan seorang petani dapat mengumpulkan uang sekitar Rp 720.000.
0aren2
Tidak semua paragat memproses nira menjadi gula. Masyarakat di Desa Hutagurgur menyadap aren untuk dijadikan tuak. Mereka menjual tuak di lapo-lapo yang bisa ditemui sepanjang jalan desa. Seribu rupiah tiap botolnya. Untuk membuat tuak, petani tidak perlu memakai peralatan canggih. Cukup menambahkan seikat raru, sejenis akar yang tumbuh di hutan. Nira akan menjadi tuak dalam tiga hari. Jika dalam seminggu pemilik kedai memproduksi dan menjual tuak sebanyak 15 liter, maka dalam sebulan
akan mendapatkan uang sebesar Rp 100.000 dari 1 pohon aren.
Berbeda dengan gula aren dan tuak yang bisa menghasilkan uang mingguan, ijuk hanya bisa dipanen 2-3 kali dalam setahun. Sekali panen, satu pohon aren biasanya menghasilkan 5 kg ijuk yang bisa dijual seharga Rp 2.000/kg. Sementara itu, kolang-kaling dipanen tiap 2 tahun sekali. Satu pohon aren dapat menghasilkan sekitar 100 kg kolang-kaling dalam sekali panen dan
dijual dengan harga Rp 3.000/kg.
Meskipun dengan cara-cara yang masih tradisional dan intervensi teknologi yang sangat minim, memelihara aren ternyata menjanjikan. Dengan memelihara 10-20 pohon aren, petani bisa memiliki penghasilan yang mendekati UMR Sumatera Utara tahun 2008 (Rp 822.205).
0aren3
”Jika dilakukan intervensi teknologi untuk meningkatkan produktifitas pohon dan kebun aren, penghidupan petani di DAS Batang Toru tentu akan menjadi lebih baik lagi. Untuk itu, lembaga seperti ICRAF memiliki peranan penting dalam menghubungkan teknologi dan pengetahuan hasil penelitian ke dalam tindakan nyata di lapangan, ” kata Endri.

Leave a Comment »

No comments yet.
RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a Reply

Follow

Get every new post delivered to your Inbox.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar