Senin, 08 Oktober 2012

BUMN Diminta Garap Perkebunan Aren

Senin, 14 November 2011 09:38 WIB

BUMN Diminta Garap Perkebunan Aren

Eben Ezer Siadari
Seorang petani hendak menyadap nila aren.
Seorang petani hendak menyadap nila aren.
JAKARTA, Jaringnews.com - Mengingat terbatasnya pasok gula aren dewasa ini, sementara terdapat sedemikian luasnya lahan kritis dan terlantar di seantero Indonesia, seorang pengusaha UKM meminta agar BUMN menggarap usaha perkebunan aren sebagai bagian dari mendukung industri aren di Indonesia.

“Perkembangan bisnis gula aren di Indonesia menunjukan tren meningkat. Disamping masih banyak digunakan dalam makanan dan minuman tradisional, orang sekarang sudah mulai menyadari bahwa untuk konsumsi sehari-hari gula ini jauh lebih sehat ketimbang gula putih,” kata Evi Indrawanto kepada Jaringnews di Jakarta, Senin (14/11).

Evi  bersama suaminya, Indrawanto, adalah wirausahawan berskala UKM yang mendirikan dan mengelola CV Diva Maju Bersama, perusahaan berbasis di Tangerang yang memproduksi dan mengemas gula aren secara modern. Perusahaan ini  memproduksi tak kurang dari 15 ton palm sugar atau gula aren dalam sebulan dengan merek dagang Arenga Palm Sugar. Mereka juga melakukan pembinaan kepada wirausahawan kecil pembuat gula aren di berbagai daerah, terutama di Banten dan Jawa Barat.

Gula aren yang secara tradisional sudah diproduksi ala rumahan oleh para wirausahawan kecil di hampir seantero Nusantara, ternyata merupakan gula yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Eropa bahkan Jepang. Di Negeri Matahari Terbit ini, gula aren bahkan dianggap gula organik paling dicari karena sangat baik bagi kesehatan, termasuk bagi penderita diabetes.

Menurut Evi Indrawanto, memang masih banyak yang belum memahami perkembangan bisnis gula aren sehingga yang dibayangkan hanya gula aren tradisional yang berbentuk bongkah dan dipajang sembarangan di pasar-pasar. Padahal dengan perkembangan tekonologi produksi dan kemasan, kini gula aren sudah dapat diperoleh dalam bentuk bubuk kristal dan cair.

Mengingat besarnya jumlah wirausahawan yang terlibat dalam bisnis gula aren, diperlukan pembinaan dari pemerintah agar wawasan mereka lebih terbuka dalam menghadapi perubahan bisnis. Di berbagai daerah, ditengarai banyak yang memproduksi gula aren sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini disebabkan karena harga produk yang rendah, karena tiadanya sentuhan kemasan dan lemahnya jalur distribusi.

Selain itu, tanaman aren yang jadi sumber bahan baku utama, masih merupakan tanaman alami yang belum banyak dibudidayakan. Usianya pun terbatas, paling lama 25 tahun. Ini menyebabkan pasok bahan baku sering menjadi kendala.

Hal ini sangat memprihatinkan Evi Indrawanto. Itu sebabnya, ia bersama suaminya kerap berkeliling ke daerah untuk melakukan pembinaan kepada para perajin gula aren. “Kami bekerjasama dengan 300 petani di wilayah Banten dan Jawa Barat untuk memasok kebutuhan kami. Banten dan Jawa Barat kami pilih karena pertimbangan jarak, sehingga saya dapat mengontrol proses produksi,” kata Evi, yang produk-produk gula arennya telah mendapat setifikasi dari The Institute Marketecology (IMO), Swiss.

Sebagai perusahaan yang berskala UKM, Evi mengakui dalam mengembangkan usahanya kendala yang dihadapi masih klasik, yakni masih terbatasnya permodalan, teknologi pengolahan SDM dan distribusi yang efisien.  Dalam hal ini, pemerintah pun masih perlu mengulurkan tangan. Ia membandingkan dengan pemerintah Thailand, yang gencar membuka pasar di luar negeri bagi pengusaha. Menurut dia, pengusaha gula aren di Indonesia membutuhkan dukungan semacam itu karena gula aren Indonesia juga mempunyai peminat di luar negeri.

Di dalam negeri,  Evi mengatakan diperlukan juga dukungan  akses untuk menembus pasar-pasar modern, seperti supermarket dan hotel-hotel. Menurut dia, dengan pembinaan dalam teknologi produk dan kemasan, gula aren yang dihasilkan oleh petani di desa-desa akan dapat naik kelas sehingga tidak hanya teronggok di pasar tradisional belaka.  Evi sendiri rajin mengikuti pameran-pameran, baik yang disponsori swasta mau pun pemerintah, termasuk di luar negeri.
(Ben / Nky)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar