Minggu, 07 Oktober 2012

Aren Indonesia

Aren Indonesia

Dian Kusumanto

MENYONGSONG BANGKITNYA INDUSTRI AREN

Oleh : Dian Kusumanto
Sumber:  http://kebunaren.blogspot.com/
Fotoku-untuk-Blog-1
Industri adalah suatu sistem yang memproses bahan baku menjadi suatu produk sehingga memiliki nilai tambah. Industri Aren berarti suatu sistem yang memproses bahan baku dari pohon Aren menjadi suatu atau berbagai produk yang bernilai tambah. Bahan baku yang berasal dari pohon Aren antara lain adalah : nira, buah kolang kaling, ijuk, lidi, daun, tepung, kayu batang, akar dan lain-lain.
Sedangkan produk yang bernilai tambah yang selama ini sudah dihasilkan dari sistem industri aren antara lain : gula aren cetak, gula semut aren, gula kristal putih aren, gula aren cair, gula lempeng, gula batu aren, saguer, tuak, legen, cap tikus, bioethanol, anggur aren (palm wine), ijuk, sapu, sikat, tali ijuk, fiber sheet, atap ijuk, kolang-kaling, sapu lidi, tusuk sate lidi aren, tepung aren, mutiara sagu aren, aneka kerajinan kayu aren, serutan kulit aren, kerajinan akar aren, dll.
Sistem atau rangkaian yang mempersiapkan dan pemproses sehingga menghasilkan bahan baku yang kemudian ditingkatkan nilai tambahnya dengan teknologi, sarana prasarana, input dari luar sistem, dengan sumber daya manusia dan pola manajemen dan permodalan kapital, modal social, modal alamiah, dan sterusnya, sehingga menghasilkan produk akhir (out put) yang bernilai tambah sesuai yang diharapkan.
Industri Aren akan bangkit karena beberapa hal sebagai berikut :
  1. Produk-produk dari Aren sangat dibutuhkan oleh pasar dunia.
  2. Produk-produk dari Aren memiliki nilai komparatif, karena mempunyai kekhasan yang sulit didapat dari yang lainnya.
  3. Produktifitas Aren yang tinggi bisa menjadi plihan investasi yang sangat menguntungkan.
  4. Dengan sentuhan teknologi yang relatif sederhana sudah memberikan nilai tambah yang sangat menjanjikan.
  5. Di beberapa daerah Aren memberikan bukti yang dapat diandalkan oleh para pelakunya.
  6. Ada peluang yang semakin besar karena trend dunia yang mengarah pada komoditi yang bisa mendukung kelestarian sumber daya alam serta ramah lingkungan.
  7. Bisa dikembangkan pada lahan-lahan dengan kondisi iklim yang luas adaptasinya.
  8. Penyerapan tenaga kerja yang besar, menjadikan komoditi Aren menjadi pilihan bagi penciptaan lapangan pekerjaan baru dan mengurangi angka pengangguran di berbagai daerah.
  9. Pengembangannya bisa disinergikan dengan berbagai komoditi yang saling mendukung.
  10. dll.
Kenapa kita harus menyongsongnya ? Kita harus menyongsongnya karena :
  1. Agar kita tidak ketinggalan dengan negara lain yang sudah dan akan mengembangannya dengan diam-diam seperti Malaysia dan Philippina, Brazil, Meksiko, dan Venezuela.
  2. Agar kita bisa menyiapkan beberapa strategi yang tepat menuju keunggulan kompetiif dimasa yang akan datang.
  3. Kalau strategi yang diterapkan kurang tepat maka di masa yang akan datang kita bisa kalah bersaing
  4. Strategi yang kurang tepat menyebabkan industri kita tidak atau kurang efisien.
  5. Kesalahan dalam memilih strategi bisa berakibat kontra produktif karena bisa memperlemah minat masyarakat dan calon-calon investor.
  6. Agar kita bisa menyiapkan simulasi-simulasi atau alternatif strategi lebih matang dan tidak menyebabkan atau mengurangi tingkat kesalahan di masa yang akan datang.
Dengan skema berpikir di atas, maka dalam menyongsong kebangkitan Industri Aren atau ”Revolsi Aren” ini maka perlu dibangun sistem Industri Aren yang terintegrasi dan yang komprehensif. Sistem Industri Aren ini harus lebih baik dari Sistem Industri Gula berbasis Tebu, dan harus lebih baik juga dari Sistem Industri Kelapa Sawit.
Makanya Sistem Industri Aren ini harus dibangun dengan visi, misi serta prinsip-prinsip yang ”rahmatan lil ’alamin”, yang memberi rahmat kepada alam, masyarakat dan negara, bisa membangun dunia lebih bak, tatanan dunia baru yang berkelanjutan dan membawa bangsa Indonesia pada era yang sejahtera, maju, mandiri dan berdaulat.
Amin yaa robbal ’alamin.

Prospek Emas Pohon Aren

Sumber: http://arengasugar.multiply.com/; 04 April 2008
Selamat Sukses bagi Ibu Evi dengan DIVA’S PALM SUGARnya.
Aren memang punya prospekyang sangat bagus. Awalnya kami juga nggak yakin, namun setelah melihat langsung di kebun petani mendengarkan cerita para petani, melihat kiprah DIVA’S PALM SUGARnya Ibu Evi keyakinan bahwa pohon Aren punya prospek emas.
Prospek emas si pohon Aren sebenarnya sudah diperkenalkan oleh Kanjeng Sunan Bonang, seorang waliulloh penyebar Agama Islam di Pulau Jawa. Konon beliau waktu itu dirampok/ dibegal oleh berandal Lokajaya yang menginginkan harta dari Kaneng Sunan Bonang.
Singkatnya menurut alkisah, beliau menunjuk pada pohon Aren dan mengatakan bahwa kalau ingin harta banyak lihatlah pohon Aren itu. Maka berandal Lokajaya itu melihat emas di pohon Aren tersebut. Buahnya laksana emas yan bergantungan.
Emas adalah lambang kemakmuran dan kesejahteraan, bahkan lambang kemewahan. Ternyata baru awal tahun 2000-an ini para ahli bangsa Indonesia baru menyadari isyarat tersembunyi ataurahasia emas si pohon Aren. Kanjeng Sunan memang tidak menjelaskan secara jelas, namun kiranya Tuhan Yang Maha Latif mengajarkannya melalui ilmunya seorang Wali yaitu Kanjeng Sunan Bonang kepada berandal Loka Jaya.
Ternyata emas itu berasal dari Nira Aren yang keluar dari hasil sadapan tangkai bunga, baik dari tangkai bunga betina maupun tangkai bunga jantan. Pohon yang sudah maksimal pertumbuhan vegetatifnya (sekitar umur 6 tahun kalau tumbuh liar atau alami) akan mengeluarkan bunga betina sampai dengan 6,8 atau 12 tandan bnga betina. Ada juga pohon Aren yang tidak pernah mengeluarkan tandan bunga betina, namun langsung dari awal masa generatifnya hanya tandan bunga jantan saja sampai akhir.
Tandan bunga pertama muncul dari bagian paling atas pohon kemudian tandan berikutnya muncul dari ketiak pelepah daun yang berada di bawahnya. Tandan bunga selanjutnya muncul terus menerus bergantian dari atas menuju ke bawah sampai pada bekas ketiak pelepah daun terbawah.
Dari seorang petani Aren yaitu Bapak Sarman di Mambunut Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur diketahui bahwa ternyata tandan bunga betina yang biasanya mengeluarkan buah kolang-kaling, bisa disadap air niranya. Bahkan hasil nira dari tandan bunga betina ini hasil sadapannya mencapai 40 liter Nira setiap hari per pohon. Setiap hari dilakukan dua kali sadap, yaitu pagi sekitar jam 7.00 dan sore sekitar jam 17.00.
Hasil sadapan pagi biasanya lebih banyak dari pada yang sore hari. Keluarnya nira yang paling deras terjadi pada waktu sekitar jam 03.00 s/d jam 04.00 dini hari. Dia mengilustrasikannya, bahwa seperti manusia kalau dia kedinginan keringatnya kurang tapi kencingnya yang banyak.
Kalau seandainya pohon Aren ini dikebunkan seperti sang pendatang dari Brazil, yaitu Kelapa Sawit, dengan bibit yang unggul, pemeliharaan yang intensif, pemupukan yang cukup, pengelolaan menejemen kebun yang memadai. Tentu hasilnya akan lebih baik dari pada yang sekarang ini dihasilkan dari pohon yang alami bahkan yang tumbuh liar dengan jarak yang tidak beraturan.
Dengan memakai asumsi produksi yang alami saja misalkan 10 liter nira/hari/pohon; jika 100 pohon yang disadap setiap harinya (dari populasi 250 pohon setiap hektar), maka akan diperoleh nira 1.000 liter/hari/ha. Rendemen gula merah dari nira sekitar 20-26,5 %, artinya dari 1.000 liter maka akan diperoleh sekitar 200-265 kg gula merah setiap hari. Kalau harga di tingkat petani Rp 5.000/kg, maka setiap hari pendapatan kotor petani aren dengan areal 1 hektar akan memperoleh sekitar Rp 1.000.000/hari/ha sampai dengan Rp 1.325.000/hari/ha.
Tentu pendapatan itu masih dikurangi dengan biaya tenaga sadap sebanyak 3-5 orang, tenaga pengolah gula 1-2 orang. Berarti setiap hektarnya kebun sudah menyerap tenaga kerja antara 4-7 orang, memberi pendapatan kepada petani pemilik yang demikian besar.
Bukankah ini yang dimaksud dengan kemakmuran, yaitu petani dengan pendapatan tinggi, tidak ada lagi pengangguran, roda ekonomi di pedesaan akan berjalan lagi …….
yaaaa… prospek emas dari pohon Aren itu akan menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk negeri, seperti isyarat sang Waliulloh Kanjeng Sunan Bonang.
Kalau berminat kembangkan Aren skala luas bisa hubungi kami di
http://kebunAren.blogspot.com/
atau menghubungi saya dengan e-mail : diankusumanto@yahoo.co.id
Matur suwun!!

Pohon Aren dan Kegeraman Menteri Kehutanan MS Kaban

Oleh : Ir. Dian Kusumanto, Sabtu, 02 Mei 2009
Pada saat acara konggres Dewan Kehutanan Daerah (DKD) Kaltim di Hotel Mesra Internasional, Menhut MS Kaban sangat geram karena hutan Kaltim yang terusik oleh sektor perkebunan, pertambangan dan pemukiman. Beliau meminta unsur Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) satu suara dan pandangan dalam memelihara hutan di Kaltim.
Kaltim Post mencatat bahwa kondisi hutan alami di Kaltim makin kritis. Dari 17 juta hektar luas lahan/ hutan di Kaltim, kawasan yang dianggap kritis mencapai 6 juta hektar, dengan laju kerusakan hutan diperkirakan 500.000 hektar per tahun. Bila dibandingkan dengan luas wilayah Jawa Barat yang mencapai 4,4 juta hektar, wilayah yang kritis melebihi wilayah Propinsi Jawa Barat.
Menteri Kehutanan juga mengajak tak hanya pemerintah, tapi juga masyarakat agar berpartisipasi dengan berbagai program, misalnya Penanaman 10.000 pohon di setiap kota, ada lagi Program Penanaman 10 juta pohon, kemudian Program One Man One Tree. Ini semua adalah strategi agar masyarakat juga terlibat.
Sebenarnya masyarakat ini mau-mau saja diajak, dihimbau bahkan digerakkan, tidak ada masalah di masyarakat. Yang sering menyebabkan laju degradasi hutan sedemikian luas itu adalah proses perijinan yang kurang selektif, program pembangunan itu sendiri yang tidak prihatin dengan keadaan hutan. Contoh, pembukaan lahan-lahan perkebunan, ijin pertambangan, pembukaan lahan untuk lahan-lahan pertanian, pemukiman, dll. Sedangkan perambahan kayu oleh masyarakat sebenarnya dipicu adanya ijin-ijin HPH itu sendiri, yang terkadang memiliki data pembukuan ganda, lain di catatan petugas lain di lapangan dan lain di laporan kehutanan. Ini semua bisa diatur-atur.
Seperti juga dalam pengelolaan hutan lindung yang cenderung malah semakin habis. Akhirnya timbul ide untuk memagari hutan lindung dengan pagar tembok yang kuat, agar tidak bisa dimasuki orang yang akan mencuri dan menebang pohon untuk diambil kayunya. Memagar hutan lindung tentu akan sangat mahal, dan siapa yang dapat menjamin bahwa pohonnya akan utuh dan tidak terjarah ? Tentu tidak ada yang berani menjamin bila masyarakat yang ada di sekitar hutan lindung itu ekonominya tergantung dengan hutan itu sendiri.
Aren dan Program PMDH
Harusnya dikembangkan program seperti dulu yaitu sejenis PMDH (Pemberdayaan Masyarakat Dekat Hutan) yang dilakukan oleh Perhutani di Jawa. Program kehutanan harusnya sudah mengadopsi tanaman Aren untuk masuk dalam program PMDH ini. PMDH berbasis Aren bisa menjadi alternatif yang sangat bagus karena beberapa alasan sebagai berikut :
  1. Aren bisa dikategorikan sebagai tanaman kehutanan.
  2. Tanaman Aren sangat kokoh perakarannya, sehingga sangat baik sebagai tanaman konservasi untuk mencegah kelongsoran di lahan-lahan yang miring.
  3. Tanaman Aren bisa berdampingan dengan tanaman lain dan masih dapat menghasilkan produk-produk yang bermanfaat untuk menunjang ekonomi pengelolanya tanpa menebang tanaman itu sendiri.
  4. Cenderung untuk berkembang biak dengan sendirinya, karena bijinya yang sangat banyak, sehingga populasinya akan semakin banyak dengan sendirinya.
  5. Tanaman Aren bisa ditanam berjajar seolah menjadi pagar hutan lindung atau taman nasional dengan biaya yang lebih murah tapi akan menghasilkan produk bagi masyarakat sekitar hutan tanpa menebang pohonnya. Kalau pagar dari beton selain mahal juga tidak dapat menghasilkan apa-apa, malah harus dipelihara dengan biaya yang cukup besar. Pagar dari beton bisa membuat masyarakat tersinggung dan bisa menjadi kontra produktif dalam tujuan pengamanan hutan itu sendiri.
  6. Dengan terjadinya kegiatan ekonomi dari hasil tanaman Aren di hutan lindung, maka masyarakat akan turut menjaganya. Kalau hasil tanaman Aren cukup maka masyarakat tidak akan lagi ada alasan untuk menjarah pohon hutan lindung yang ada di dalamnya. Dengan demikian aturan bisa dengan tegas ditegakkan, tidak ada alasan ekonomi lagi.
  7. Aren akan dikelola secara berkelompok, oleh karenanya masyarakat sekitar hutan akan sering berkumpul atau dikumpulkan karena keperluan pengelolaan tanaman Aren ini. Hal ini akan sangat memudahkan bimbingan dan penyuluhan tentang hutan lindung. Dengan demikian sangat diperlukan Petugas Pendamping bagi pengelolaan tanaman Aren dan hutan lindung itu sendiri. Petugas Pendamping ini juga berperan ganda sebagai seorang penyuluh.
Seperti juga yang terjadi di Pulau Nunukan, ada Hutan Lindung 1.000 hektar yang semakin berkurang luasnya karena pemukiman, lahan pertanian dan berbagai fasilitas umum sudah masuk ke dalamnya. Ada yang mengatakan bahwa pemukiman ada lebih dulu sebelum plotting Hutan Lindung itu sendiri. Terakhir ada rencana pembuatan pagar keliling Hutan Lindung dengan anggaran bermilyard-milyard, tetapi sepertinya ditolak oleh DPRD karena dianggap pemborosan dan secara hukum juga sulit dilakukan. DPRD juga takut, kalau-kalau Hutan Lindung akan tambah habis meskipun sudah dipagar beton. Tidak ada yang sanggup menjamin berhasilnya pemagaran Hutan Lindung.
Coba seandainya pembuatan pagar diganti dengan penanaman Aren beberapa baris di sepanjang keliling luar hutan lindung, maka biaya akan jauh lebih murah. Masyarakat bisa diajak untuk menjaga tanaman Aren sampai dewasa, karena mereka ada harapan untuk ikut menikmati hasilnya jika sudah dewasa pohonnya.
Demikian juga di Pulau Sebatik, menurut Bapak H. Abdul Rauf, seorang tokoh masyarakat Desa Liang Bunyu, ada penetapan Hutan Lindung sekitar 2.000 hektar yang masih menemui hambatan dengan masyarakat. Beliau berpendapat, seandainya Pemerintah memprogramkan penanaman Aren di Hutan Lindung 2.000 hektar tentu masyarakat akan sangat mendukung. Sebab masyarakat sudah tahu hasil yang dapat diperoleh dari Aren ini. Kalau sepanjang batas Hutan Lindung ditanami Aren, Bapak H. Abdul Rauf ini berani menjamin hutan tidak akan habis, sebab masyarakat sudah cukup ekonominya dari tanaman Aren yang sangat banyak nanti.
Bagaimana menurut Anda?

MENUJU TREND INDUSTRI GULA CAIR

Oleh : Dian Kusumanto
Ada ungkapan yang sangat menggelitik dari Bapak Dr. Tatang H. Suriawijaya pada saat beliau bertemu penulis di Nunukan beberapa bulan yang lalu. Yaitu tentang budaya industri rakyat gula Aren, Kelapa, Siwalan dan Tebu, yang selalu dikemas dalam bentuk cetakan menjadi gula batok, gula kotak, gula batu, dan lain-lain istilah lainnya. Budaya ini sebenarnya tidak efisien, sebab nanti pada saat gula sudah sampai di dapur, akan diiris-iris lagi kemudian dicairkan kembali dan baru disajikan bersama olahan panganan lainnya. Hal ini dinilai sebagai budaya yang hanya buang-buang energi dan tidak efisien bagi konsumen sekaligus bagi perajin gula tradisional kita, seandainya menggunakan atau memproduksi gula dalam benuk cair.
Seandainya disajikan, diolah, dipasarkan dalam keadaan masih cair tapi dengan kekentalan tertentu, maka bagi para perajin atau produsen akan dapat mengurangi biaya bahan bakar dan mengurangi tenaga untuk mencetak menjadi tidak ada lagi. Pengolahan untuk menjadi cair tentu memerlukan waktu memasak yang lebih pendek, dengan demikian nira tidak terlalu lama diekspose dalam kondisi panas dibandingkan bila nira akan dicetak menjadi gula padat atau gula semut.
Pendapat Bapak Slamet Sulaiman, pengasuh blog Pabrik Gula Mini demikian juga. Beliau mengatakan, “kenapa gula diproduksi dalam bentuk kristal padat, padahal setiap pemakaian gula selalu dilebur kembali apakah untuk makanan, minuman rumah tangga maupun industri, mungkin dulu pada awal awal industri gula kemasan untuk komoditi cair masih susah, yang ada hanya kemasan karung goni, sabun pun dulu sabun batangan belum ada sabun cair, shampoo juga dalam bentuk powder putih belum ada shampoo cair, bahkan obat obatan kebanyakan dalam bentuk puyer belum ada obat penurun panas dan obat batuk botolan”.
Selanjutnya beliau mengatakan, “Saat ini dunia juga mulai dengan pemanis gula dalam bentuk cair, pemikiran yang sederhana, investasi yang lebih murah, yield yang sejenis tanpa ada by produk dan sebenarnya konsumen diuntungkan karna tidak kehilangan energi untuk melebur kembali, permasalahannya hanya merubah habitat pasar. Nah kenapa kita juga tidak segera memulai ?”
Teknologi Penguapan Hampa
Kalau Pak Tatang menyarankan penulis untuk menengok perkembangan teknologi Maple Syrup di Canada dan Amerika Serikat Bagian Utara, maka Pak Slamet mempunyai pendapat agar kita bisa menerapkan teknologi penguapan dengan udara vacum atau hampa. Selanjutnya Pak Slamet Sulaiman mengatakan, ”Gula cair yang diproses dengan penguap hampa , dididihkan pada temperature max 60 celsius memberikan warna yang lebih cerah”.
Gula cair yang saat ini diproduksi dan dijual dipasaran berwarna gelap karena pengaruh penguapan dengan api langsung. Gula cair dari bahan apapun baik dari batang tebu, batang sweet sorghum, nira keluarga palma (kelapa, nipah, aren, siwalan) merupakan peluang berprospek baik dan sangat menantang. Semua yang merupakan tantangan teknologi, tantangan sosialisasi dan pemasaran, dan sebagainya sebenarnya dibaliknya terbentang peluang yang cukup besar, sisi ekonomis sisi penyerapan tenaga kerja dan sisi mensejahterakan rakyat. Aneka bahan nira ini akan menjadi prospek yang sangat menarik, sehingga produk gula cair kitananti menjadi sangat beragam dan banyak pilihan.
Ilustrasi diatas menggambarkan bagaimanapun dengan technologi tradisional gula cair akan sulit untuk berkembang dan diterima pasar, warna gelap memberikan kesan komoditas klas rendah dan tidak sehat,sementara dengan sentuhan teknologi akan didapat produk standart dan memenuhi standarisasi produk. Investasi dalam kisaran ratusan juta atau beberapa milyar tergantung dari kapasitas dan technology yang diterapkan akan mampu membangkitkan ekonomi pedesaan (tanaman palmae hanya ada di pedesaan).
Bahkan beberapa produsen gula cair biasanya membeli dari para perajin berupa gula cetak yang sudah jadi atau setengah jadi, kemudian dihancurkan kembali dan ditambah air untuk menjadi gula cair atau gula semut. Ini jelas pemborosan, karena kerja dan biaya dua kali, sedangkan hasil produknya menjadi lebih gelap dan kurang menarik.
Pabrik Gula Aren dengan teknologi masakan hampa terpasang di Minahasa Selatan menghasilkan gula organik kristal (gula semut) untuk meningkatkan kesejahteraan penderes nipah
Teknologi penguapan hampa (Vacum Evaporator) juga dilakukan pada pengelolaan nira dari Pohon Maple untuk dijadikan Maple Syrup di Canada dan America. Dengan teknologi penguapan hampa ini maka dihasilkan Maple Syrup yang sangat bening dan menarik seperti gambar di bawah ini. Berbeda dengan Gula Aren Cair kita yang masih berwarna gelap dan terasa kurang menarik.

AGAR NASIB PETANI AREN TETAP MANIS

Oleh : Dian Kusumanto
Judul diatas terinspirasi dari tulisan dinding FB dari Ibu Evi Indrawanto sang Juragan Gula Aren dari Diva Maju Bersama Serpong. Beliau bermitra dengan banyak petani Aren yang ada di daerah sekitar beliau tinggal. Beliau sangat senang sekaligus mengkhawatirkan mana kala Revolusi Aren nanti menjadi semarak seperti Tebu dan Sawit, nasib petaninya tidak seperti rasa gulanya yang manis. Sepertinya Bu Evi ini adalah seorang Pengusaha yang sangat Nasionalis, bukan penganut Kapitalisme Laissez Faire, Kapitalisme yang membiarkan petani berhadapan dengan monster-monster Kapitalis yang siap menerkamnya.
Kata Bu Evi begini, “ ……………..Kalau menyangkut revolusi aren, alhamdulillah bila Pak Prabowo mengujudkannya. Mudah2an ini bukan janji hanya selama kampanye. Tapi akhirnya perasaan saya jadi ambigu, Pak. Antara senang dan kuatir. Senang, jika aren sdh merebak saya tidak akan kekurangan bahan baku lagi. Kuatir, kalau suatu hari nasib petani aren akan seperti nasib petani tebu. Gula mereka manis tapi nasib mereka tidak seperti itu. Tidak tahu lah Pak, kita lihat saja apa yg akan terjadi. Sementara untuk usaha sendiri, dijejalin begitu banyak informasi, memiliki teman-teman yg perduli, saya tetap yakin selalu sukses…………..”.
Bagaimanapun petani adalah bagian masyarakat kita yang sangat lemah dan rentan terhadap perubahan-perubahan kebijakan, perubahan kondisi ekonomi, perubahan situasi politik. Demikian juga petani Aren, yang selama ini juga belum diperhatikan, belum diberdayakan. Namun perlu kita kembali ke belakang untuk melihat bagaimana sebenarnya yang terjadi pada petani tebu kita itu, salahnya dimana, sehingga petaninya bernasib tidak seperti rasa gulanya yang manis. Setelah itu kita melihat ke depan melalui mata kepala petani Aren kita yang akan datang.
Kebanyakan petani tebu memang banyak kelemahannya sehingga nasibnya belum manis, mungkin antara lain karena hal-hal berikut ini :
  1. Penguasaan lahan rata-rata petani yang masih sangat terbatas dan minim. Rata-rata kepemilikan lahan di Jawa hanya sekitar 0,2 – 0,4 hektar.
  2. Produktifitas Tebu yang semakin menurun, sekarang hanya sekitar 7-8 ton Gula Hablur per hektar per musim.
  3. Harga Gula tingkat petani tidak aman, tidak ada proteksi dan masih sering menjadi korban keadaan ekonomi Nasioal, Regional dan Global.
  4. Industri Gula Tebu kita yang sangat tidak efisien, baik pada penggunaan teknologi dan peralatan yang sudah usang, serta pola manajemen industri tebu yang tidak fleksibel.
  5. Kebijakan Pemerintah yan belum sepenuhnya berpihak kepada Petani.
  6. Posisi tawar dari petani tebu yang masih lemah dan sering dijadikan korban.
  7. dll.
Saya rasa untuk pengembangan Revolusi Aren kita bisa bercermin kepada 6 hal diatas, agar nasib petani Aren kita tidak seperti nasib petani Tebu. Namun kita semua akan sangat yakin bila petani Aren kita akan bisa hidup lebih baik dan tidak seperti nasib petani tebu. Beberapa hal yang membuat kita sangat optimis adalah sebagai berikut :
  1. Produktifitas dari Aren sendiri secara indogen yang sangat bagus. Tinggal bagaimana kita bisa memilihkan jenis bibit yang memang berpotensi produksi tinggi. Dengan pohon yang tidak dipelihara dan dengan jumlah pohon yang sedikit saja petani Aren sudah mendapatkan hasil yang lumayan, apalagi jika dilakukan pemeliharaan yang baik dan dengan jumlah pohon yang dipanen lebih banyak, tentu hasilnya akan sangat luar biasa. Tidaklah terlalu berlebihan seandainya setiap pohon menghasilkan nira 10 liter per hari, dan tidak berlebihan seandainya dari 200 pohon dalam setiap hektar yang rutin menghasilkan nira adalah 50% atau 100 pohon, jadi setiap hari dari setiap hektar kebun aren akan menghasilkan 1.000 liter nira.
    Kalau pohon dirawat dengan baik dan standar tentu tidak sulit untuk meningkatkan hasil nira menjadi 20 liter/hari/pohon, dan meningkatkan pohon yang bisa dipanen sekitar 80 % atau 160 pohon setiap hari, maka hasil niranya bisa meningkat menjadi 3.200 liter/hari/hektar.
  2. Pemilikan jumlah pohon dan luas lahan yang cukup. Lahan untuk Aren adalah bukan lahan sawah, tetapi kita pilihkan lahan-lahan yang miring, lahan-lahan yang kering, lahan-lahan bekas hutan yang tidak produktif. Bisa juga kita manfaatkan lahan pekarangan atau tegalan yang selama ini belum produktif ataupun bisa juga bertumpangsari dengan tanaman tahunan lainnya.
  3. Petani Aren bisa saja tidak tergantung dengan Pabrik Besar Gula, tidak seperti petani Tebu yang pasti sangat tergantung dengan Pabrik Gula. Maka petani Aren sebenarnya masih sangat bebas menentukan masuk atau tidak masuk dalam industri Gula Besar, namun memlih mengolah sendiri niranya menjadi Gula atau Alkohol atau yang lainnya. Artinya bergaining position atau posisi tawar petani Aren bisa lebih baik dari pada petani Tebu kita.
  4. Belajar dari para Perajin Industri Maple Syrup di Canada dan Amerika, yang mana mereka, masing-masing perajin sudah mempunyai merek dan patent dari produknya secara sendiri-sendiri. Petani dan sekaligus perajin bisa langsung mengakses pasar Super Market ataupun langsung bertransaksi dengan para Importir di negara lain melalui Asosiasi sesama produsen diantara mereka. Jadi bisa dikatakan mereka dalam posisi tawar yang sangat kuat dalam menentukan harga dan ketentuan dalam perdagangan lainnya.
  5. Teknologi yang diterapkan untuk industri produk-produk Aren haruslah yang efisien dan berorientasi pada industri kecil-kecil saja. Kalau indusri besar biar mereka berfikir sendiri. Akan semakin baik bila yang menghidupkan bisnis Aren ini semakin banyak, tidak dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan yang besar saja apalagi oleh kapitalis yang tidak nasionalis. Kalau bisa jangan sampai ini terjadi di Industri Aren kita yang akan datang.
  6. Oleh karena itu Penelitian dan Pengembangan Aren harus dikelola dengan baik, bisa saja Litbang ini dikelola dan dibiayai dari Pemerintah ataupun oleh pihak independen yang didukung oleh para Asosiasi Aren. Dengan Litbang yang aktif maka segala sisi Bisnis Aren ini akan bisa terus berkembang dengan sangat efisien dan unggul, kelemahan-kelemahan yang mungkin akan terjadi bisa terdeteksi sedini mungkin. Litbang bisa jadi berfungsi sebagai intelijen bisnis Aren, baik secara teknologi, rekayasa sosio-economic, dll.
  7. Kelembagaan dalam Bisnis Aren harus ditata dengan sangat baik membentuk jalinan networking yang mempunyai semangat dan ruh dalam membela kepentingan petani Aren Indonesia. Mulai dari Asosasi Petani Aren, Asosiasi Peneliti Aren Indonesia, Asosiasi Produsen Bibit Aren Indonesia, Asosiasi Produsen Gula Aren, Asosiasi Produsen Bioethanol Aren, Asosiasi Pebisnis Aren, Dewan Revolusi Aren Nasional, dll.
  8. Dengan demikian mau-tidak mau Pemerintah harus berpihak kepada kepentingan petani dan para pebisnis Aren Indonesia. Karena bisa jadi para pelaku bisnis Aren nantilah yang bisa memilih dan menentukan mana-mana pejabat yang berpihak dan yang patut memimpin negeri ini. Demikian juga di daerah, para pemimpin daerah yang berpihak petanilah yang akan dipilih, yang tidak berpihak sebaiknya tidak usah dipilih.

KEJUTAN BESAR “REVOLUSI AREN”

Oleh : Dian Kusumanto
Sungguh saya tidak percaya awalnya, pada saat Mas Roy Hendroko mengirim sebuah SMS, bahwa AREN masuk dalam Program Aksi perjuangan Pak Prabowo Subianto. Saya agak telat tahu karena dalam Bulan Maret ini sering terjadi gangguan koneksi internet Speedy di Kota Nunukan. Maklum, kota Nunukan ada di ujung utara NKRI yang berbatasan langsung dengan Sabah Malaysia.
Ledakan besar “Revolusi Aren” memang belum terjadi. Namun pada saat awal-awal saya memulai membuka blog ini (http://kebunaren.blogspot.com) yaitu pada Bulan April 2008, saya memperkirakan paling cepat akan terjadi 1 atau 2 tahun yang akan datang. Fenomena terakhir bisa jadi bagian dari awal terjadinya “revolusi Aren” itu.
Program aksi Pak Prabowo Subianto telah menyebutkan angka yang sangat jelas dan tidak ragu-ragu, yaitu 4 juta hektar Aren dan akan menampung 24 juta orang tenaga kerja. Nampak sekali jika angka-angka itu tidak main-main, angka yang sudah dihitung secara cermat dari kombinasi yang sangat pas antara seorang negarawan, seorang pengusaha dan seorang pejuang yang hidup di tengah keprihatinan multi kompleks.
Kanjeng Sunan Bonang adalah Sang Wali, bagian dari Wali Songo. Beliaulah yang pada awalnya memberikan isyarat tentang prospek emas dari pohon Aren. Ada ungkapan yang mengatakan, bahwa yang tahu wali ya wali juga, artinya yang paham isyarat wali ya wali juga, yang mampu menterjemahkan isyarat kemudian menjadi revolusi dengan ledakan yang dahsyat adalah seorang wali juga. Isyarat Kanjeng Sunan Bonang bahwa ada prospek emas di pohon Aren itu pertama kali ditunjukkan kepada si Raden Said alias si Brandal Loka Jaya, yang akhirnya menjadi Wali juga, yaitu Sunan Kalijogo. Sunan Kalijogo adalah seorang Wali yang paling inovatif dalam berdakwah.
Selama berabad-abad isyarat ini terkubur oleh masa-masa suram perjalanan bangsa Nusantara ini, penjajahan, kebodohan, keangkuhan, kesombongan, keegoan, arogansi kekuasaan, arogansi pemikiran dll. Isyarat ini ibarat harta karun yang terpendam dan terlupakan selama berabad-abad lamanya oleh hiruk pikuknya zaman “kolobendu”. Hanya seorang satriyo piningitlah, yang hakekatnya juga seorang wali, yang akan mampu mengangkat lagi harta karun kejayaan Nusantara ini. Harta karun ini akan dapat membayar seluruh hutang negara, membeli kembali harkat martabat bangsa yang telah terjual, mengatasi seluruh masalah-masalah yang membuat negara bangsa ini terpuruk.
Apakah Sang Satriyo Piningit itu telah datang? Wallohu alam bi shawwab. Bagaimana menurut Anda???

PENERAPAN CORPORATE FARMING UNTUK PETANI PERAJIN GULA RAKYAT

Oleh : Dian Kusumanto
Pada tulisan terdahulu kita menganggap bahwa suatu keharusan atau wajib hukumnya untuk merevolusi atau merevitalisasi industry gula aren rakyat. Dengan perubahan-perubahan pola usaha ini diharapkan akan dinikmati oleh para perajin atau petani gula aren. Sebenarnya hal ini juga berlaku untuk industry rakyat di luar komoditi aren, misalnya industry rakyat gula kelapa ataupun gula siwalan atau lontar, yang selama ini keadaannya masih rentan terhadap perubahan iklim usaha dan persaingan usaha masa yang akan dating.
Merevolusi artinya melakukan perubahan dengan mendasar dan menyeluruh dalam waktu yang relative singkat. Merevitalisasi artinya membuat, mengkondisikan, merubah dari yang dulunya lemah dan rentan terhadap cuaca usaha menjadi kuat dan tahan terhadap segala keadaan. Perubahan-perubahan yang kita inginkan adalah perubahan yang menjadikan industry rakyat ini menjadi lebih efisien, lebih berdaya saing, mampu menembus pasar yang lebih luas, sehingga memperoleh nilai tambah bagi tingkat pendapatan dan kesejahteraan para pelaku usaha industry gula rakyat. Apa saja perubahan yang harus dilakukan agar tujuan perubahan itu tercapai ?
Pertama adala merubah pola invidual kearah corporate, artinya para perajin atau petani jangan sendiri-sendiri lagi dalam mengelola industry gula rakyat ini. Merubah budaya saling bersaing menjadi saling bekerja sama. Budaya saling bersaing dan saling menghancurkan ini memang sengaja diciptakan oleh oknum-oknum yang memanfaatka keadaan bagi kepentingannya sendiri.
Untuk menyamakan persepsi diantara para perajin, kemudian bersepakat membentuk kelompok (korporasi) atau dalam bentuk koperasi, memerlukan keberanian, kecerdasan dan energy ekstra besar. Pemberian pemahaman tentang perlunya berkorporasi menjadi agenda yang secara konsisten harus dilakukan. Maka diperlukan ketokohan, kepeloporan dari salah satu atau beberapa orang di antara mereka.
Bila di suatu sentra ada sekitar 10 perajin, maka apabila dihitung dengan keluarganya sudah terkumpul sekitar lebih dari 20 orang. Dengan 20 orang kita sudah bisa membentuk Koperasi. Memang koperasi dibentuk dengan spirit untuk saling bekerja sama, saling bersatu menguatkan barisan, mengumpulkan modal untuk mengatasi masalah bersama dan mencapai tujuan bersama.
Contohnya begini, pada saat penulis mampir ke Pondok Nongko Desa Sobo di Banyuwangi yang merupakan salah satu sentra perajin gula kelapa. Setiap perajin gula merangkap sekalian menjadi penderes atau penyadap, yang bekerja memanjat, memungut air nira sekaligus juga memasak nira menjadi gula. Kebanyakan para perajin adalah bukan pemilik pohon, perajin melakukan kerjasama dengan pemilik pohon dengan system bagi hasil.
Untuk kerja sama ini perajin berkewajiban untuk mengelola pohon kelapa untuk produksi gula. Setiap seorang perajin biasanya bisa menyadap pohon kelapa hingga mencapai 50 – 60 pohon kelapa , tergantung kesepakatan dengan pemilik pohon. Setiap perajin mempunyai suatu tungku sendiri untuk mengolah nira menjadi gula merah. Segala kebutuhan bahan bakar, tenaga untuk pengolahan gula, tenaga untuk memasarkan gula dan lain-lain dikelola secara sendiri-sendiri oleh petani atau perajin.
Demikian juga yang terjadi pada perajin gula Aren rakyat di Bulukumba Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Setiap perajin gula adalah pemilik pohon aren itu sendiri. Setiap perajin rata-rata mengelola antara 4 sampai 10 pohon Aren dan satu tungku pemasakan gula aren. Pekerjaan ini biasanya juga melibatkan anggota keluarga yang lain. Keadaan pola usaha yang individual ini terjadi juga di daerah lain sentra-sentra produksi gula aren.
Seperti juga perajin gula kelapa, petani sekaligus perajin gula aren juga melakukan usahanya secara sendiri-sendiri. Segala kesibukan mulai memanjat pohon, memungut nira, memelihara sadapan dan pohon aren sampai kepada mengolah nira menjadi gula, mencari kayu bakar untuk tungku pemasakan bahkan melakukan pengemasan dan pemasaran produk gula aren.
Untuk menuju efisiensi usaha gula aren rakyat, usaha gula kelapa rakyat dan usaha gula berasal dari pohon lontar (gula lontar atau gula siwalan), maka kita harus meninggalkan pola usaha individual dengan skala yang kecil-kecil. Para perajin harus bersatu, saling bekerja sama, menerapkan pola korporasi, menggunakan alat pengolahan dengan teknologi yang memadai. Para perajin harus mengikis kepentingan-kepentingan individual yang saling merugikan, namun sebaliknya harus saling bersatu guna mengatasi problema atau kendala-kendala yang mungkin saja timbul dalam usaha gula rakyat ini.
Meraih keuntungan-keuntungan berkoporasi
Dengan berkoporasi banyak hal keuntungan nilai tambah yang dapat diperoleh. Nilai tambah dan keuntungan yang dapat diperoleh antara lain adalah :
  1. Kapasitas alat pengolahan menjadi lebih besar lebih modern, karena memang didesign mampu menampung dan mengelola produksi dari para anggotanya.
  2. Efesiensi bahan bakar, karena menggunakan tungku atau alat yang hemat energy.
  3. Efesiensi tenaga kerja pemasak gula, petani atau perajin mempunyai waktu luang lebih banyak untuk kepentingan-kepentingan yang lain.
  4. Mutu produk dapat dengan mudah ditingkatkan, karena tempat dan kondisi pengolahan diciptakan sedemikian rupa sehingga tingkat hieginitas, pengontrolan mutu gula bisa diatur dengan lebih baik.
  5. Variasi produk dengan ciri khas kemasan lebih bagus, tidak saja berbentuk gula cetak, tapi sudah bervariasi dengan gula serbuk atau gula cair (gula syrup).
  6. Bisa membentuk badan usaha koperasi atau yang lain, karena yang terlibat ada sekitar 20 orang.
  7. Ada peluang lebih besar untuk mengakses bantuan modal dari Bank atau sumber financial lainnya. Bank lebih percaya pada usaha yang berbentuk badan usaha dari pada perorangan.
  8. Ada peluang untuk memperoleh perhatian dan kerjasama dari pemerintah atau lembaga-lembaga yang lain. Apalagi setelah korporasi ini berjalan dengan baik dan mampu member nilai lebih kepada para anggotanya.
  9. Dengan perbaikan alat dan tungku pengolahan gula, usaha gula rakyat berpeluang menghasilkan produk tambahan berupa arang dan asap cair, yang nilai penjualannya bisa melebihi produk gula itu sendiri. Alat dan model tungku bisa didesign sendiri dibuat sendiri atau bekerja sama dengan bengkel setempat menggunakan contoh-contoh teknologi tungku yang ada. Asap cair banyak dibutuhkan untuk pengawetan produk-produk pertanian, perkebunan, perikanan dan makanan olahan. Asap cair juga diperlukan untuk para petani untuk pengganti pestisida kimia yang membahayakan kesehatan, untuk para petani ikan untuk membasmi penyakit ikan di kolam, dll.
  10. Dll.
Contoh 1 : Koperasi Gula Kelapa rakyat (saran untuk petani perajin gula kelapa di Pondok Nongko Banyuwangi)
Korporasi itu mungkin saja berbentuk koperasi Gula Rakyat, yang dibentuk atas dasar kemauan anggota yang mungkin saja terdiri dari 10 orang perajin atau penyadap, 5-10 orang pembantu perajin atau penyadap dan 5-10 orang pemilik pohon. Dengan minimal 20 orang anggota bisa dibentuk sebuah koperasi perajin gula rakyat.
Pohon kelapa yang dikelola untuk gula sekitar 500 pohon (50 pohon/penyadap x 10 penyadap), dengan produksi nira sekitar 1.500 liter per hari (500 pohon x 3 liter/hari). Maka koperasi ini akan memproduksi gula kelapa sekitar 300 kg/hari ( 1.500 liter/hari : 5 liter/kg gula), dengan harga gula kelapa Rp 5.000 /kg maka pendapatan kotor koperasi yang berasal dari penjualan gula adalah Rp 1,5 juta per hari atau Rp 45 juta per bulan.
Tungku dan alat pengolahan gula sudah diperbaiki agar memungkinkan penghematan bahan bakar berupa kayu, sekam atau limbah gergajian, dll. Biasanya setiap perajin memerlukan kayu bakar sekitar 1 truk untuk memasak selama 10 hari, berarti kalau 10 perajin diperlukan 1 truk kayu bakar per hari. Korporasi yang mengelola hasil nira dari 10 perajin ini, dengan alat dan tungku hemat energy ini hany memerlukan sekitar 50 % bahan bakar yaitu 1 truk untuk sekitar 2 hari. Kalau 1 truk beratnya sekitar 2-3 ton, maka setiap hari hanya separuhnya, yaitu sekitar 1 sampai 1,5 ton kayu bakar.
Harga kayu bakar berupa kayu limbah gergajian ini di tingkat perajin gula kelapa di Banyuwangi seharga Rp 375.000 per truk. Kalau penghematan bisa mencapai 50 % saja berarti ada penghematan sekitar Rp 187.500 per hari atau senilai Rp 5.625.000 per bulan, atau Rp 67.500.000 dalam setahun.
Penghematan tenaga kerja perajin yang dulunya diperlukan 10 orang atau lebih dalam mengelola gula secara individual, menjadi atau cukup dengan 2-3 orang saja. Berarti bisa dihemat tenaga sekitar 7-8 orang. Nilai penghematan itu sekitar Rp 200.000 per hari, atau Rp 6 juta/ bulan atau 72 juta per tahun. Jadi dari bahan bakar dan tenaga olah gula bisa dihemat sekitar Rp 140 juta per tahun. Kalau anggota koperasi ada 20 orang berarti pendapatan tambahan dari penghematan bahan bakar dan tenaga olah saja sekitar Rp 7 juta / tahun / anggota. Lumayan bukan?!
Belum lagi bila tungku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk selain memasak gula, juga menghasilkan arang (kayu, sekam, dll.) dan asap cair. Misalnya diasumsikan 1 kg arang dapat dibuat dari 4 kg kayu, dan 1 liter asap cair dapat dihasilkan dari 5 kg kayu, kalau setiap hari menghabiskan 1 ton kayu maka akan dihasilkan arang sekitar 250 kg dan asap cair sekitar 200 liter. Ini asumsi yang masih sangat kasar, angkanya bisa dikoreksi, bisa berkurang atau bertambah.
Produk samping yang dulu tidak kita pikirkan sekarang menjadi sumber pendapatan samping baru. Lalu berapa penghasilan tambahan dari arang dan asap cair ini ? Yang kita tahu sekarang ini adalah harga asap cair yang dibuat dari batok atau tempurung kelapa senilai antara Rp 7.000 – Rp 20.000 per liter, katakanlah Rp 10.000 per liter, maka nilai asap cair 200 liter itu adalah Rp 2 juta per hari. Kalau arang bisa dijual dengan harga Rp 1000 per kg, maka dari arang mendapat tambahan Rp 250.000 per hari. Berarti dari arang dan asap cair ada penghasilan sekitar Rp 2.250.000 per hari, atau Rp 67,5 juta per bulan, atau Rp 810 juta per tahun.
Nilai tambahan penghasilan dari produk arang dan asap cair ini memang sangat fantastic, maka sayang kalau tidak dimanfaatkan. Kalau dibagi kepada 20 orang anggotanya, maka rata-rata per orang akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar Rp 40,5 juta per tahun. Dengan penghematan bahan bakar dan tenaga tadi, maka dengan menerapkan pola korporasi ini ada peluang peningkatan pendapatan sekitar Rp 47,5 juta per tahun per anggota korporasi. Nilai yang fantastic!!!
Bagaimana menurut Anda?

REVOLUSI REVITALISASI INDUSTRI GULA AREN RAKYAT ADALAH WAJIB

Oleh : Dian Kusumanto, Kamis, 2009 Februari 12
Dalam fiqih syar’iyah dikenal ada 5 jenis hukum agama atas sesuatu kegiatan atau kejadian, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Bila melihat tingkatan hukum ini maka penulis menganggap bahwa revitalisasi industry gula aren rakyat hukumnya adalah wajib. Sebab kalau tidak dilakukan barangkali industry ini akan mati pelan-pelan digerus jaman.
Keadaan ini bahkan sudah terjadi. Adapun yang masih bertahan sekarang ini adalah industry rakyat yang sangat rentan. Apabila ada industry besar gula aren dengan teknologi yang efisien dan memasuki pasar gula rakyat, maka industry rakyat ibaratnya seperti diambang badai dan gelombang besar yang mungkin segera akan menenggelamkannya.
Industri gula aren rakyat banyak terdapat antara lain di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan lain sebagainya. Pada umumnya kondisinya masih sangat sederhana, dikelola dengan manajemen keluarga dengan alat-alat yang masih sangat tradisional. Hampir tidak ada inovasi teknologi yang baru dari semenjak industri rakyat ini dikenal oleh nenek moyang kita.
Bahkan sebenarnya kondisi ini dialami juga oleh industry serupa dari bahan nira kelapa yaitu gula merah atau gula kelapa, dari bahan nira siwalan atau lontar yaitu gula lontar. Industri rakyat seperti ini kondisinya sama, yaitu belum banyak memanfaatkan kemajuan teknologi, jauh dari sentuhan teknologi. Ini memang sangat meprihatinkan!! Sekaligus mengkhawatirkan!! Bahkan sangat menyedihkan!!
Kasihan memang. Ironis memang! Memang sangat kasihan, memang sangat ironi. Lalu mana peran lembaga penelitian kita ? Mana peran pemerintah daerah ? Kok semua pada tidur mendengkur, seolah lupa dan mabuk dengan urusan politik. Ekonomi rakyat ini juga perlu “dipolitiki” kok. (Marah ni yee?!). Oke biar nggak jadi “udun” atau “bisul” perjuangan ekonomi rakyat, yang bila pecah baunya nggak enak, maka kita coba cari solusi pengobatannya. Setuju khan?
Ibarat dokter, kalau mau mengobati pasiennya maka si pasien harus didiagnosa lebih dulu. Dari diagnose yang dilakukan, terkumpul data atau gambaran industry rakyat gula merah pada umumnya adalah sebagai berikut :
  1. Dikelola oleh keluarga sendiri dengan pola yang sederhana
  2. Bahan bakar kayu, sebagian besar menjadi beban biaya paling berat pada industry gula rakyat
  3. Model tungku tunggal sederhana dengan kuali satu buah, di beberapa tempat ada sedikit model tungku semi tertutup dengan kuali ganda.
  4. Pada umumnya memproduksi gula aren cetak. Bentuk cetakan biasanya sangat khas antara satu daerah dan daerah lain.
  5. Kondisi dapur terbuka dan diluar ruangan, atau di bawah rumah atau pondok tanpa dinding.
  6. Kondisi tempat produksi kurang hiegenis dan biasanya masih kotor.
  7. Mutu gula sangat beragam belum ada jaminan mutu.
  8. Produk gulanya pada umumnya belum bermerk.
Keadaan ini sangat berpeluang besar untuk dapat diperbaiki. Perubahan besar atau revolusi sangat mungkin untuk dilakukan, dan bahkan sudah menjadi tuntutan agar industry rakyat ini tetap bertahan dan bahkan dapat diandalkan dapat memperbaiki ekonomi rakyat.
Apa saja agenda wajib revolusi revitalisasi industry rakyat gula aren ini ? Yang bisa dilakukan antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Perbaikan teknologi
  2. Perbaikan manajemen,
  3. Perbaikan kelembagaan usaha,
  4. Melakukan diversifikasi produk,
  5. Memperluasan pasar.
Perbaikan teknologi pertama adalah perbaikan tungku untuk efisiensi penggunaan bahan bakan dan tenaga kerja, bahkan bisa menghasilkan produk sampingan. Barangkali kita bisa berguru pada industry Mapple Syrup yang ada di Amerika dan Canada, seperti tulisan artikel saya sebelum ini. Bahkan teknologinya bisa kita tingkatkan, maksud saya, teknologi tungku ini selain sangat efisien dalam penggunaan bahan bakar juga dapat menghasilkan Arang dan Asap Cair yang nilai jualnya juga cukup tinggi.
Ini tidak sembarang tungku, sebab dari tungku memasak gula ini kita bisa menghasilkan arang kayu yang harganya juga cukup bagus. Hasil dari arang kayu sangat tergantung dari jenis kayunya, semakin keras kayunya semakin tinggi hasil arangnya. Hampir semua jenis kayu dapat dibuat arang. Bahkan bila bahan bakarnya berupa sekam pun dapat dihasilkan arang sekam. Arang sekam bisa dicetak menjadi briket arang sekam, atau bisa digunakan sebagai media tanam pot yang harganya cukup bagus.
Asap cair juga bisa jadi menjadi komoditi tambahan dari industry gula rakyat ini. Bahkan bisa jadi hasilnya lebih tinggi dari nilai gula yang dihasilkan. Sebagai gambaran, jika bahan bakarnya berupa tempurung kelapa maka rendemen asap cair dapat mencapai 35-50 %, arang tempurung mencapai sekitar 40 % dari berat tempurung kelapa. Hal ini sebenarnya sangat dahsyat dan revolusioner. Sebab dapat merubah kondisi dari industry rakyat yang kembang kempis menjadi industry rakyat modern yang sangat menguntungkan.
Jadi, selain memproduksi gula aren industry ini juga berpeluang untuk menghasilkan arang kayu dan asap cair. Asap cair sekarang ini menjadi alternative sebagai pengawet alami yang aman, menjadi pengganti obat-obatan pestisida untuk tanaman, untuk kolam, dll. Harga asap cair ini di pasaran cukup tinggi, yaitu antara Rp 10.000 sampai dengan Rp 20.000 per liter. Kalau dalam sehari menggunakan 1 ton kayu, maka dapat juga dihasilkan arang sekitar 400 kg dan sekitar 350 liter asap cair.
Dengan teknologi yang baru ini maka akan terjadi peningkatan kapasitas alat. Oleh karena itu para perajin gula harusnya bisa disatukan dalam kelompok perajin. Banyaknya anggota kelompok tergantung dari kapasitas alat yang akan digunakan. Ini tidak mudah, karena perlu meyakinkan para perajin dari keadaan yang dulunya saling bersaing menjadi keadaan yang saling kerjasama dan saling mempercayai. Tantangannya adalah karena “permusuhan” ini memang kadang sengaja “diciptakan” untuk kepentingan bisnis segelintir orang.
Makanya upaya revitalisasi ini lebih pas kalau disebut sebuah revolusi, karena memang yang diubah adalah hampir semua aspek kebiasan dan perilaku dari mulai pemilik pohon (pekebun), perajin, pengepul, pedagang dan konsumen. Peluang ini akan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau dia tidak berpihak kepada ekonomi kerakyatan, maka tidak akan merubah nasib petani dan keluarganya yang selama ini hidup dari industry rakyat ini.
Maka diperlukan Pengusaha yang punya hati nurani dan humanism yang tinggi, tidak cukup hanya berorientasi keuntungan sesaat yang akhirnya menghancurkan sub-sub system lainnya. Namun seluruh system industry gula berbasis rakyat ini harus bisa maju bersama, sejahtera bersama agar terus berkelanjutan usahanya dan harmonis serta dirahmati Tuhan. (bersambung…. insyaAllah).
By kebun aren Nunukan; Kamis, Februari 12, 2009

SISTEM INJEKSI MIKROBA DAN OKSIGEN (SIMO), MENUJU PEMUPUKAN TANAMAN AREN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN

Oleh : Dian Kusumanto
Di hampir seluruh Pulau Kalimantan mudah ditemui lahan-lahan yang mengandung humus atau bahan organic yang tinggi sekali. Humus yang sangat tebal lapisannya dan bertumpuk-tumpuk yang kebanyakan bereaksi asam (atau pH dibawah 7) biasa disebut dengan tanah gambut. Lahan gambut ini banyak sekali terdapat di Kalimantan, bahkan banyak juga yang tertimbun dengan lapisan-lapisan tanah alluvial yang kemudian seolah menutup lapisan gambut atau humus yang tebal di bawahnya.
Humus yang tidak lain berasal dari bahan-bahan organic di kawasan hutan hujan tropic membentuk lapisan-lapisan karena terkumpul dari tahun ke tahun dari musim ke musim. Timbunan organic yang bertumpuk-tumpuk yang tidak terdekomposisi secara sempurna, tidak cukup memperoleh oksigen dalam proses dekomposisinya, maka akan menyebabkan tanah tersebut terekspose dalam keadaan yang anaerob . Keadaan yang anaerob ini menyebabkan seluruh reaksi yang terjadi di lapisan-lapisan humus yang ada jauh di bawah permukaan tanah tanpa adanya oksigen. Kalau lah air yang merembes ke lapisan bawah membawa oksigen itu pun pasti sangat minim, karena oksigennya sudah diambil oleh lapisan yang ada di atasnya.
Oleh karena itu lapisan tanah yang ada di bawah permukaan tanah semakin ke dalam semakin masam reaksinya. Microbia anaerob semakin ke dalam tanah semakin dominan, berarti semakin ke lapisan tanah yang lebih dalam semakin masam. Maka sering ditemui pohon-pohon tahunan yang gampang roboh, karena ternyata perakarannya sangat dangkal. Akar tidak mampu tumbuh dan berkembang lebih jauh ke dalam tanah karena tidak mampu menembus reaksi kemasaman dalam tanah.
Mungkin keadaan ini tidak hanya terjadi di Kalimantan tapi mungkin bisa terjadi dimana-mana. Apalagi pada saat humus atau bahan organic tertimbun, kemudian airnya tergenang seperti di rawa-rawa dalam waktu yang sangat lama, kemudian dalam perkembangan selanjutnya karena hutan habis airnya sedikit demi sedikit menurun dan akhirnya berkurang dan menjadi daratan atau dataran yang seolah dulu bukan rawa-rawa. Lapisan yang bereaksi masam yang berada di bawah permukaan tanah, sangat minim mendapat oksigen, makanya sangat dominan microbia anaerob.
Karena sebagian besar keadaan tanah perkebunan seperti itu sejarah terbentuknya, maka penulis berfikir untuk menerapkan konsep microbial & oxygen injection system. Yaitu system pemupukan dan perlakuan untuk kesuburan tanah dengan cara injeksi terutama untuk lapisan tanah yang ada di bawah permukaan, yang biasanya kekurangan oksigen dan situasi microbianya terlalu homogen, yaitu terjadi dominansi mikrobia anaerob. Injeksi mikroba dan oksigen ini dilakukan agar kesuburan tanah secara kimia, fisika dan biologi juga terjadi pada lapisan tanah yang lebih dalam. SIMO diterapkan juga agar perakaran tanaman dapat tumbuh berkembang, dapat mengakses unsure hara yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembangnya akar tanaman sehingga tanaman bisa tumbuh dan berkembang secara normal.
Keadaan microbial yang heterogen di dalam tanah akan menyebabkan reaksi yang netral dalam tanah. Terjadi keseimbangan populasi antara microbial anaerob dan microbial aerob. Keadaan demikian akan menggairahkan akar tumbuh dan berkembang, dekomposisi bahan-bahan organic terjadi secara sempurna sehingga akan membentuk unsur-unsur hara yang langsung bisa diserap oleh tanaman lewat akarnya.
Makanya kalau pada pola pertanian tanaman pangan semusim dikenal beberapa pengertian seperti lapisan tanah olah atau top soil, yang biasanya tidak lebih dari 30 cm dari permukaan tanah. Kenapa itu terjadi? Tanah yang subur itu seolah hanya yang ada di lapisan teratas saja. Apakah tanah yang ada di lapisan bawah bisa menjadi tanah yang subur? Ini menjadi masalah yang akan dijawab dengan menerapkan system diatas.
Tujuan dari system injeksi mikroba dan oksigen (SIMO) untuk tanah adalah sebagai berikut :
  1. Memasukkan oksigen pada lapisan tanah yang lebih dalam
  2. Terjadinya keseimbangan kehidupan microbia tanah antara yang anaerob dan aerob
  3. Reaksi tanah yang netral terjadi pada lapisan tanah yang lebih dalam
  4. Ketersediaan unsure hara tanah siap diserap tanaman dalam jumlah yang lebih banyak
  5. Perkembangan akar lebih dalam dan lebih banyak
  6. Perlakuan pemupukan lebih efektif dan efisien.
SIMO-pd-AREN-gbr
Salah satu pola yang dapat dilakukan dalam SIMO adalah melakukan pengeboran di sekitar tanaman. Pengeboran dapat dilakukan minimal 2 titik, semakin bayak semakin baik, namun yang optimal dan dianjurkan adalah 4 titik pengeboran . Jarak pengeboran tanah dengan tanaman disesuaikan dengan proyeksi perkembangan perakaran atau pola tanam yang diterapkan. Artinya bisa saja pengeboran dilakukan secara permanen pada titik yang ditentukan menyesuaikan jarak tanam yang diterapkan.
Untuk kebun Aren yang menerapkan jarak tanam 5 x 10 m2 (populasi 200 pohon per hektar), maka dapat dipakai alternative penerapan titik-titik pengeboran SIMO dengan jarak 2,5 meter dari tanaman Aren satu sama lainnya. Jadi pengeboran tanah berada di antara tengah tengah tanaman Aren. Adapun jarak anatar titik bor terdekat juga dipilih 2,5 m. Kalau digambar adalah sebagai berikut :
SIMO-2
Adapun kedalaman dan besarnya lubang pengeboran disesuaikan dengan peralatan yang ada dan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman selaras dengan usia dan perkembangan perakaran tanaman Aren serta sejauh mana pengeboran SIMO ini akan efektif dan efisien dalam pertanaman. Beberapa pilihan yang dianjurkan untuk diameter pengeboran adalah 3 inchi, 5 inchi atau 8 inchi, sedang kedalaman pengeboran bisa dipilih 1 meter, 1,5 meter, 2 meter sampai 4 meter. Sebenarnya semakin lebar diameter pengeboran semakin bagus untuk lebih memungkinnya injeksi oksigen dan microba efektif mempengaruhi perubahan kimia biologis dan fisika tanah. Demikian juga kedalaman pengeboran akan lebih baik kalau semakin dalam, namun perlu dihitung tingkat efisiensi pengeboran ini.
Tingkat efektifitas dan efisiensi pengeboran dihitung dengan beberapa pertimbangan antara lain :
  1. Ketersediaan peralatan pengeboran
  2. Keadaan tanah (sebaiknya ada hasil analisa tanah, perlapisan tanah, tekstur, dll.)
  3. Perkembangan tanaman.
  4. Keamanan bagi pekerja yang sehari-hari berada di kebun Aren
  5. Biaya yang tersedia untuk penerapan pengeboran SIMO.
  6. Dll.
Apakah SIMO ini bisa diterapkan untuk tanaman perkebunan atau tanaman tahunan lainnya? Sebenarnya SIMO ini memang berlaku secara umum, karena problem tidak berkembangnya perakaran dari tanaman yang disebabkan oleh keadaan tanah lapisan dalam yang tidak kondosif juga dialami oleh semua tanaman yang berakar dalam. SIMO adalah cara baru yang diperkenalkan oleh penulis di Nunukan pada tanaman-tanaman perkebunan, khususnya Aren. Jadi SIMO ini memang digagas dan diterapkan oleh penulis dan dianjurkan kepada para petani binaannya di Nunukan Kaltim.
Lebih jauh tentang SIMO, insyaAllah pada tulisan yang akan datang.

Dengan Pemupukan SIMO Aren Akan Berproduksi Maksimal

Oleh : Dian Kusumanto
Seperti sudah dipaparkan pada postingan Bulan Desember tahun lalu, maka pada awal tahun 2009 ini penulis akan melanjutkan pembahasan tentang sistem pemupukan pada Aren dengan metode SIMO (Sistem Injeksi Mikroba dan Oksigen). Sistem pemupukan ini akan berorientasi organik, murah namun sangat efektif dan berkelanjutan, yang tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan petani sebesar-besarnya.
SIMO sebenarnya sangat identik dengan BIOPORI yang diperkenalkan oleh Bapak Kamir R. Brata dari Bogor. Namun dalam teknologi BIOPORI belum banyak dijelaskan aplikasi untuk aspek budidaya tanamannya, apalagi khusus untuk Aren dan tanaman tahunan lainnya. BIOPORI sepertinya terinspirasi dari masalah banjir yang sering melanda kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, yang daerah resapan air permukaan air hujan semakin berkurang.
Sedangkan SIMO lahir karena penulis terinspirasi dari kondisi lahan yang ada di Kalimantan, dimana lapisan olah atau lapisan tanah perakaran tanaman relatif tipis. Lapisan tanah perakaran yang relatif tipis ini disebabkan oleh proses pembentukan tanah itu sendiri serta oleh keadaan yang menjejasnya secara terus menerus. Maka yang terjadi adalah semakin dalam lapisan tanah itu berada maka semakin masam reaksi tanahnya, atau pHnya semakin rendah. Bahkan, semakin ke dalam lapisan tanahnya semakin bersifat toxic bagi akar tanaman, maka akibatnya sistem perakaran tanaman kurang berkembang. Akibatnya perkembangan akar relatif dangkal dan terbatas.
Penyebaran akar yang terbatas karena cekaman keadaan tanah di perakaran tanaman yang tidak kondusif menyebabkan akar tidak berkembang, ketersediaan unsur hara yang siap pakai juga sangat terbatas. Dengan demikian jangkauan akar untuk dapat menyerap unsur hara yang sudah ada di tanah tidak luas, sehingga dengan demikian unsur-unsur yang dapat diserap tanah juga relatif sedikit.
Untuk memperbaiki keadaan tanah dan lapisan tanah di bawahnya agar keadaannya bisa seperti dengan lapisan olah permukaan, maka perlu dilakukan injeksi atau pengeboran. Ke dalam tanah dimasukkan mikroba dan oksigen hingga lapisan tanah lebih dalam sedalam daerah sebaran akar. Mikroba dan oksigen akan membuat kondisi tanah-tanah menjadi hidup kembali dengan reaksi yang sehat, sehingga tanah secara alami akan terus-menerus merilis (menghasilkan) unsur-unsur hara hasil dari dekomposisi yang relatif sempurna karena adanya mikroba dan oksigen yang cukup.
Bagaimana caranya membuat pupuk SIMO yang hebat ? Pada dasarnya pembuatan pupuk SIMO sama saja dengan pembuatan pupuk organik cair lainnya. Namun yang dikembangkan untuk Teknologi SIMO ini lebih sederhana, lebih fleksibel karena bisa disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Alat dan Bahan-bahannya bisa fleksibel dan dibuat sendiri oleh petani dengan cara yang sederhana. Mudahan nanti penulis dapat meyajikan pada tulisan yang akan datang, Insya Allah.
Apa efek atau pengaruh yang diharap dari Teknologi SIMO pada Aren?
  • Daerah perakaran Aren terdalam akan kaya mikroba dan cukup kandungan Oksigen terlarutnya.
  • Reaksi tanah bagian lapisan dalam menjadi netral, terjadi perombakan Bahan Organik tanah yang lebih sempurna.
  • KTK (kapasitas tukar kation) akan lebih baik. Unsur hara akan cukup tersedia pada daerah perakaran yang lebih dalam.
  • Akar Aren lebih berkembang, penyerapan unsur hara lebih lancar dan lebih banyak, sehingga kebutuhan nutrisi tanaman tercukupi.
  • Tanaman Aren akan tumbuh dengan normal dan lebih sehat, batangnya lebih besar, daun lebih lebat dan segar. Perkembangan dan pertumbuhan tanaman terjadi normal dan akan memunculkan seluruh potensinya secara lebih sempurna.
  • Setiap ketiak daun akan mengeluarkan tandan bunga tepat pada waktunya dan semakin minimal calon tunas tandan yang gagal muncul, karena seluruhnya bisa muncul tepat pada waktunya. Oleh karena itu potensi jumlah tandan bunga akan semakin tinggi, karena perakaran berkembang secara normal dan sehat dan tersedianya hara yang cukup di dalam tanah. Inisiasi setiap calon tandan dengan energi yang cukup pada tanaman akan meminimalkan kemungkinan kegagalan inisiasi calon tandan. Bahkan seluruh calon tandan akan bisa muncul semua sesuai dengan potensinya.
  • Pertumbuhan dan perkembangan tandan ditopang oleh fisik batang yang kokoh dan besar dan daun yang lebat dan hijau segar. Maka tangkai tandan akan memiliki ukuran diameter yang besar dan ukuran panjang yang sempurna. Tandan yang besar dan panjang adalah jaminan produksi yang sangat penting bagi tanaman Aren. Sebab penyadapan nira Aren dapat dilakukan lebih lama (bisa sampai 6 bulan).
  • Frekuensi penyadapan setiap tandan bunga akan lebih lama, penyadapan tandan akan susul menyusul pada setiap pohon dan bahkan tidak ada masa pohon istirahat produksi. Jadi hampir seluruh pohon dapat disadap sepanjang tahun setiap hari. Dengan demikian setiap pohon bisa menghasilkan nira setiap hari, dan hampir tidak ada waktu istirahat berproduksi.
  • Dengan demikian hasil nira Aren lebih banyak dan lebih lama. Produksi Nira bisa maksimal sesuai potensinya, apalagi jika dalam pengelolaan dan pemeliharaan pohon Aren dapat dilakukan dengan benar dan semakin menunjang potensinya yang hebat. Maksud saya, para pekerja penyadap tandan harus dibekali ilmu dan ketrampilan dan kedisiplinan yang cukup untuk taat pada SOP yang diterapkan. SDM para pekerja harus dibina dengan baik, karena pekerjaan yang rutin dan cukup berat ini memerlukan ketangguhan fisik dan mental yang prima dan semangat yang militan.
  • Dengan kondisi seperti ini produktifitas Nira pohon Aren bisa sangat maksimal. Masa istirahat menjadi minimal dan produktifitas nira per pohon akan tinggi. Dari populasi kebun Aren 200 pohon per hektar maka apabila hanya 10 % masa istirahat produksi, maka setiap hari akan disadap 180 pohon per hektar. Bila produktifitas per pohonnya bisa mencapai 25 liter setiap hari maka hasil nira dalam setiap hektarnya akan mencapai 4.500 liter nira.
  • Dari nira yang dihasilkan setiap hari sebesar 4.500 liter dapat diolah menjadi Bioethanol sebanyak 300 liter (4.500 liter : 15 liter/liter). Kalau diolah menjadi gula akan menjadi gula sebanyak 600 kg/hari/hektar (4.500 liter : 7,5 lter/kg). Nhah…berapa hasil uangnya? Kalau Bioethanol 99.50 % seharga Rp 10.000 per liter maka setiap hari akan menghasilkan nilai produksi sebesar Rp 3 juta (300 liter x Rp 10.000/liter). Sedangkan kalau dibuat gula dengan harga gula Rp 5.000 misalnya, maka akan menghasilkan pendapatan Rp 3 juta per hari (600 kg x Rp 5.000/kg).
  • Kalau pendapatan kotor dari setiap hektar bisa mencapai Rp 3 juta setiap hari atau setiap bulan akan mencapai Rp 90 juta/hektar, atau setiap tahun akan mencapai Rp 1.080.000.000,-/hektar (Satu milyard delapan puluh juta rupiah per hektar pe tahun). Inilah potensi Aren yang seperti emas, seperti isyarat Kanjeng Sunan Bonang. Kita yang cucu-cucunya ini baru mengetahuinya setelah ratusan tahun kemudian.
Kalau isyarat Kanjeng Sunan Bonang dapat diterjemahkan dengan teknologi seperti sekarang ini, maka mngkn sejarah bangsa ini tidak seperti sekarang ini. Namun apabila pada era sekarang ini kita juga tidak memanfaatkan peluang emasnya pohon Aren ini, maka kita akan ketinggalan dengan negeri tetangga Malaysia yang sekarang sudah sangat serius mengembangkan Aren. Mereka secara diam-diam mengembangkan Aren secara besar-besaran bahkan sudah memulainya pada era tahun 90-an yang lalu.
Mereka juga mengalihkan perhatian kita pada komoditi lain seperti Jarak dan Sawit. Malaysia sengaja mengalihkan Indonesia pada komoditas lainnya selain Aren, sebab Malaysia mempunyai ambisi yang sangat besar sebagai Pemain Bisnis Aren terbesar dan terkemuka di dunia. Sebab pesaing yang sangat berat bagi mereka adalah Indonesia, hanya Indonesialah yang mempunyai potensi sangat besar untuk bisnis Aren ini.
Akankah Indonesia menjadi pengekor lagi di bisnis Aren ini?

MENCARI INDUK POHON AREN YANG UNGGUL

Oleh Dian Kusumanto
Ada kriteria unggul yang diinginkan oleh para penyadap nira Aren. Mungkin bisa agak berbeda dengan kriteria unggul yang diinginkan oleh perusahaan perkebunan Aren. Lalu kriteria mana yang akan kita pergunakan. Ya semuanya lah biar unggulnya bisa diakui oleh para penyadap sekaligus oleh perusahaan perkebunan. Oke, kalau begitu kita mulai saja dengan kriteria keunggulan yang diingini oleh para petani pemilik sekaligus sebagai penyadapnya yang memang menginginkan produksi air niranya yang unggul.
Mungkin Pak Sarman untuk sementara kita anggap bisa mewakili para petani pekebun Aren. Karena pengalamannya yang cukup panjang yang digelutinya setiap hari, maka pendapatnya bisa dijadikan referensi yang rasanya lebih alami dan apa adanya.
Pertama. Tanaman Aren yang unggul syaratnya yang pertama adalah yang mudah disadap. Kalau susah disadap berarti pekerjaan yang rutin ini terasa akan menjengkelkan dan menyusahkan. Pohon Aren yang mudah disadap biasanya ditandai dengan tangkai tandan buahnya terasa agak lunak atau tidak terlalu keras, sehingga akan lebih mudah disayat.
Tanda yang lain biasanya adalah kalau pokok batangnya disayat atau dilubangi sedikit saja sudah dapat mengeluarkan air nira. Itu berarti pohon Aren itu mudah disadap dan mudah mengeluarkan nira. Nantinya, kegiatan rutin penyayatan atau pengirisan ini dilakukan 2 (dua) kali sehari pagi dan sore, maka kalau tandannya keras dan sulit disayat akan sangat berpengaruh pada kenyamanan pekerjaan harian ini.
Kerasnya tangkai tandan bunga bisa jadi disebabkan karena faktor genetis, artinya ada faktor keturunan dari nenek moyangnya. Namun mungkin juga karena faktor fisiologis biologis yang dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Kandungan unsur hara dan tingkat kemasaman tanah bisa sangat berpengaruh pada tingkat kekerasan tangkai tandan. Kelunakan jaringan tanaman biasanya sangat dipengaruhi oleh tersedianya secara cukup unsur N dan P tanah, yang mana ketersediaan dan tingkat absorsi oleh tanaman juga dipengaruhi oleh faktor fisik dan kemis tanah.
Kedua. Biasanya pokok batangnya besar dan tinggi dengan daunnya yang hijau lebat meskipun dia agak terlindung oleh pepohonan yang lain. Barangkali sifat ini dipengaruhi oleh tingkat respon tanaman terhadap hara disekitarnya. Kalau tanah tempat tumbuhnya subur dengan keadaan fisik dan kimia tanah yang normal, maka tanaman yang memang unggul juga akan tumbuh dengan batang yang besar dan pohon yang tinggi menjulang. Ada juga pohon yang meninggi karena pengaruh kurang cahaya matahari pada saat pertumbuhannya atau sering disebut sebagai etiolasi. Namun biasanya pohon yang mengalami etiolasi pokok batangnya agak kecil dengan ruas-ruas buku batangnya yang agak memanjang.
Respon tanaman yang baik terhadap pemupukan akan menjadi kriteria bagi perusahaan perkebunan, karena nanti akan dilakukan pemupukan dan pemeliharaan yang intensif, sebagaimana sistem budidaya pada tanaman perkebunan yang lain. Berbeda dengan kondisi kebiasaan petani Aren kita sekarang ini yang tidak pernah melakukan pemupukan. Yang biasa dilakukan petani biasanya hanya membersihkan lingkungan di sekitar pohon Aren dari pohon-pohon lain yang melindunginya.
Ketiga. Tandannya berukuran besar dan panjang. Sebab ini berpengaruh pada banyaknya dan lamanya frekuensi penyadapan serta banyaknya nira yang bisa dikumpulkan. Tangkai yang panjang bisa disadap sampai dengan 7 bulan, tergantung dari keahlian dan kesabaran cara mengiris tangkai tandan dari penyadapnya. Tangkai tandan yang besar mempengaruhi banyaknya nira yang mengalir. Sehingga kalau tangkai tandan bunga ini selain besar juga panjang, maka hasil nira yang dihasilkan juga akan banyak volumenya dan periode penyadapannya akan lama. Oleh karena itu pohon yang unggul adalah pohon yang produksi niranya juga tinggi.
Semakin tipis sayatan atau irisan akan semakin lama pula tangkai tandan bisa mengeluarkan air nira. “Kalau bisa sayatannya setipis kertas”, kata Pak Sarman. Sayatan tipis sebenarnya hanya untuk menghilangkan jaringan pembuluh tapis tanaman yang tersumbat akibat dari pengaruh oksidasi atau bersentuhan dengan udara luar.
Oksidasi yang terjadi menyebabkan browning (pencoklatan) pada jaringan terluar pembuluh yang teriris dan berhubungan dengan udara bebas.
Apakah ada cara untuk menghambat proses tertutupnya pembuluh atau saluran kapiler nira ini? Barangkali dengan cara membuat vacum pada permukaan jaringan yang terbuka karena disayat atau diiris, tapi bagaimana caranya? Atau membuat alat pengiris yang dapat mengiris tangkai tandan itu setipis mungkin. Atau kombinasi antara alat vacum sekaligus dengan pisau pengirisan yang tipis. Mungkin nanti akan dibahas pada tulisan yang lain. InsyaAllah!
Keempat. Masa produksi panjang dan masa istirahat berproduksi pendek. Menurut beberapa petani yang ditemui penulis, sepertinya ada hubungan antara besarnya diameter batang pohon Aren dengan masa produksi dan masa istirahatnya. Pohon yang berbatang kecil biasanya tangkai tandan bunganya juga kecil dan pendek. Kalau tandannya pendek berarti masa produksi atau panen pendek, sedang masa istirahatnya lebih panjang.
Kalau pohonnya besar biasanya akan mengeluarkan tangkai tandan bunga yang lebih besar dan panjang, sehingga masa sadapnya menjadi lebih lama dan masa istirahat atau masa menunggu munculnya tangkai tandan bunga yang siap disadap lebih pendek. Hal ini sebenarnya juga dipengaruhi oleh tingkat keahlian cara mengiris dari para penyadapnya serta tingkat kemudahan atau kelunakan tangkai tandan yang diiris.
Kelima. Perlakuan pemukulan untuk merangsang keluarnya nira tidak terlalu lama. Sebab ada pohon yang agak susah dan lama mengeluarkan air nira meskipun sudah dilakukan perlakuan pemukulan, dan perlakuan lainnya. Namun ada jenis pohon Aren yang gampang sekali mengeluarkan meskipun perlakuan pemukulannya belum terlalu lama. Respon terhadap perlakuan pemukulan perangsangan keluarnya air nira memang bisa tidak sama di berbagai tempat, sehingga ada kemungkinan di daerah yang pohon Arennya berkembang dan dimanfaatkan adalah yang gampang merespon perangsangan.
Ada juga daerah yang banyak pohon Arennya namun penyadapnya kurang, mungkin disebabkan juga karena pohon sulit dirangsang dan sulit mengeluarkan nira. Namun ada juga yang sebaliknya, yaitu ada daerah yang banyak pohonnya banyak juga yang menyadap, hampir semua pohon dimanfaatkan.
Perlakuan pemukulan ini sebenarnya bertujuan untuk merangsang terbukanya saluran kapiler, saluran menjadi longgar dan mampu di lewati air nira mulai dari pangkal tangkai tandan bunganya sampai ke ujungnya. Pemukulan dilakukan dengan bantuan alat pemukul dengan bentuk yang khas dan terbuat dari bahan kayu-kayuan tertentu. Alat pemukul ini cukup untuk memberi getaran-getaran tetapi tidak melukai atau membuat kulit tangkai tandan bunga menjadi seperti memar-memar.
Ada juga petani yang selain melakukan pemukulan-pemukulan juga melakukan gerakan-gerakan pada tangkai tandan dengan arah ke kanan dan kekiri, ke atas dan ke bawah dengan berulang-ulang. Namun cara menggerakkan tangkai tandan tadi dilakukan agak lembut dan pelan dengan segenap perasaan dan pengharapan.
Pada perkebunan besar bisa saja pekerjaan pemukulan dan perlakuan lain untuk merangsang keluarnya nira ini akan digantikan dengan alat khusus. Barangkali alat itu seperti alat getar untuk pemijatan yang dipasang pada tangkai tandan, yang secara periodik digetarkan sehingga seperti melakukan pemukulan ringan yang berulang-ulang. Alat ini juga bisa menggerakkan tangkai tandan ini atau meliukkan ke kanan dan ke kiri ke atas dan ke bawah. Bagaimana dengan listriknya? Mungkin menggunakan baterai saja.
Perangsangan memang selalu dilakukan untuk setiap tangkai tandan bunga baru yang akan dipungut air niranya. Jadi frequensi perangsangan tangkai tandan ini mengikuti jumlah tandan yang keluar. Kalau dalam setahun rata-rata setiap pohon akan mengeluarkan tangkai tandan sebanyak 2-5 tandan. Jadi dalam setiap hektarnya dengan populasi tanaman 200 pohon, maka akan dilakukan perangsangan tangkai tandan pohon sebanyak 400 sampai 1000 kali/tahun/hektar. Angka yang besar sekali, apalagi kalau luasan kebunnya mencapai puluhan, ratusan bahkan ribuan hektar. Maka penciptaan alat untuk merangsang tangkai tandan bunga menjadi suatu yang strategis dalam pengembangan Aren skala luas.
Keunggulan pertama sampai dengan kelima adalah untuk pohon Aren yang diharapkan dalam produksi air niranya. Namun sebenarnya tanaman Aren juga bisa diharapkan dari hasil lainnya seperti ijuknya, kolang-kalingnya, sagunya, lidinya, dan lain-lainnya.
Mungkin ada lagi kriteria unggul yang lainnya, bagaimana menurut Anda?

MENUJU SISTEM AGRIBISNIS AREN INDONESIA (SAAI) YANG EFEKTIF

Oleh : Dian Kusumanto
Di dunia agribisnis kelapa sawit dikenal Sistem Agribisnis Kelapa Sawit Indonesia (SAKSI) dengan Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) sebagai lokomotifnya. SAKSI idealnya adalah sebagai suatu sistem besar yang mengontrol arah pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia saat ini. DMSI dengan mekanisme SAKSI idealnya dapat mengarahkan bisnis kelapa sawit Indonesia menjadi bisnis yang mampu menyejahterakan bangsa secara berkelanjutan (sustainable).
Belajar dari skema pengembangan komoditi kelapa sawit maka untuk pengembangan Aren adalah dengan skema Sistem Agribisnis Aren Indonesia (SAAI) yang dilokomotifi oleh Dewan Aren Indonesia (DAI) atau dengan nama Dewan Aren Nasional Indonesia (DANI). Tulisan terdahulu yang diusulkan adalah Dewan Aren Nasional (DAN), tapi apalah arti sebuah nama apakah DAN, DAI atau DANI, boleh-boleh saja, yang penting nanti adalah aksi-aksinya dalam membangun sistem agribisnis Aren berkembang dengan baik yang mampu menyejahterakan seluruh yang terlibat di dalamnya maupun dapat menyejahterakan bangsa Indonesia secara berkelanjutan.
Bagaimana model dari SAAI sebagai organisasi yang mampu mengarahkan agribisnis Aren menuju keunggulannya, maka pembentukan Dewan komoditas seperti DANI, DAI atau DAN sebagaimana amanat Undang-undang Perkebunan, perlu dibentuk lebih dulu. Perumusan SAAI mengarahkan agribisnis Aren mampu berkembang menghadapi dinamika perubahan lingkungan bisnis nasional, regional dan global yang berkelanjutan (sustainble), selanjutnya dapat mengentaskan kemiskinan dan permasalahan ekonomi lainnya di Indonesia, sehingga agribisnis Aren dapat menjadi penghela ekonomi nasional yang menyejahterakan para pelakunya.
Siapa saja yang seharusnya terlibat dalam Dewan Aren Nasional Indonesia (DANI)? (Sepertinya nama DANI lebih keren ya?! Oke selanjutnya kita pakai DANI saja). Idealnya seluruh stake holder dapat dilibatkan secara proporsional. Untuk efektivitas organisasi diperlukan tintervensi pada tingkat organisasi dengan melibatkan tiga pilar utama yang dinamakan ABG (academician, businessman dan government). ABG ini akan melaksanakan berbagai skema aksi yang masing-masing terpadu sehingga secara simultan mengarahkan pembangunan dan pengembangan agribisnis Aren ke GOAL atau tujuan yang diharapkan bersama.
Menyitir paparan Bapak Iyung Pahan dalam bukunya Kelapa Sawit, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir, berbagai program yang dilaksanakan oleh triparted ABG itu ada 8 (delapan) skema aksi yang disebut sebagai 8P. Yang dimaksud 8 P itu adalah Program, Politik, People, Planet, Profit, Pengelolaan, Pemasaran dan Penelitian.
Government (pemerintah) berperan dalam skema aksi antara lain : Politik, People, Planet dan Profit yang dikemas dengan berbagai Program. Academician (akademisi atau Perguruan Tinggi) memfokuskan diri pada skema aksi Penelitian Aren. Sedangkan Businessman (Pengusaha, Pekebun, Petani, Pedagang, Koperasi) melaksanakan skema aksi Pengelolaan dan Pemasaran. Semua pelaku (ABG) ini akan bersama-sama patuh dalam skema aksi masing-masing dalam suatu Sistem Agribisnis Aren Indonesia (SAAI).
Ibarat suatu permainan musik dalam orkestra, maka simfoni suara alat musik yang dimainkan oleh para pemain musik mengalun mengikuti aransemen yang diciptakan oleh aranger yang sangat piawi dan profesional. Aranger dalam orkestra agribisnis Aren ini adalah DANI sedangkan aransemennya adalah SAAI. Pemain-pemain musiknya adalah para stake holder yang terlibat dalam komposisi ABG tadi, yang memainkan aransemen dengan pimpinan Sang Aranger.
Simfoni indah itu adalah agribisnis Aren yang mandiri, berdaya saing dan maju. Untuk dapat mandiri, berdaya saing dan maju, maka sistem yang dikembangkan harus dapat mengelola berbagai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dari Agribisnis Aren ini. Bagaimana mengelola keunggulan-keunggulan Aren ini? Maka, ibarat intan maka untuk mencapai keindahan dan nilainya yang tinggi perlu diasah, dipoles, digosok sampai gemerlap.
Bagaimana menurut Anda, wahai Aren mania?
By kebun aren Nunukan; Senin, November 03, 2008
0 komentar

PROSPEK AREN DI TENGAH GONJANG GANJING KELAPA SAWIT

Oleh : Dian Kusumanto
Gejolak ekonomi global sedang terjadi. Mulanya adalah dari krisis keuangan lembaga bisnis perumahan di Amerika Serikat. Krisis yang sebenarnya hanya terjadi lokal di Amerika tersebut rupanya semacam fenomena gunung es. Yang sebenarnya terjadi adalah telah menurunnya ekonomi di Amerika Serikat paska era arogansinya sebagai polisi dunia, sehingga mempengaruhi kemampuan pembayaran kredit perumahan. Perusahaan perumahan adalah salah satu dari sekian banyak ‘gunung es’ yang muncul dahulu pada saat es atau salju penutupnya mulai mencair.
Kenapa efek tersebut sampai kepada bisnis kelapa sawit? Sebenarnya tidak hanya kelapa sawit yang terkena dampaknya tapi sangat luas, hanya di Indonesia kelapa sawit termasuk komoditi perkebunan yang paling menonjol, sehingga bisnis kelapa sawit menjadi korban imbas krisis yang paling besar.
Gonjang ganjing harga kelapa sawit ibarat kejadian atau fenomena tsunami yang terjadi pada Desember 2006 yang lalu. Pada awal gejala tsunami, air laut di pantai mengalami surut yang sangat jauh namun kemudian air laut itu kembali lagi tidak hanya ke bibir pantai tapi sampai jauh ke daratan. Semula keadaan harga sawit berangsur naik-naik terus sampai sangat tinggi dalam beberapa bulan, namun kemudian pada saat terjadinya krisis global sekarang ini harganya menurun. Menurunnya harga ini melampaui harga semula ‘bibir pantai’ , bahkan jatuh sampai sangat rendah seperti sekarang ini.
Pada saat semua orang tercengang dengan keadaan bisnis kelapa sawit banyak orang latah untuk ikut menanam atau berinvestasi. Jadi sifat emosional para pebisnis kita terpancing nalurinya untuk berbondong-bondong “berkelapa sawit ria”. Sayang naluri yang didasari sifat emosional dan ‘latah’ ini kemudian dikecewakan oleh tsunami harga kelapa sawit. Harusnya para investor bisa berhitung dan menghitung prospek, arah trend bisnis, dan potensi suatu komoditi berdasarkan perhitungan dan asumsi yang teruji dan akurat. Kalau berhitung dengan prospek, arah trend dan potensi suatu komoditi barangkali sikap emosional dan latah itu tidak banyak mengecewakan.
Kalau diperbandingkan antara kelapa sawit dengan Aren, maka sebenarnya Aren juga memiliki kelebihan-kelebihan dan keunggulan yang bisa mengalahkan kelapa sawit. Untuk menjadi komoditi utama program pengembangan komoditi perkebunan oleh swasta dan pemerintah di Indonesia, Aren mempunyai peluang yang sangat besar. Namun kenapa itu belum terjadi, beberapa alasannya sudah pernah diulas pada tulisan-tulisan yang lalu. Kelebihan dan keunggulan antara komoditi Aren dan kelapa sawit dalam hitungan bisnis masa depan disajikan berikut ini.
Persaingan komoditi dunia
Kelapa sawit termasuk komoditi bahan industri minyak nabati dan biofuel (biodiesel) yang dapat menyaingi peran kedele dan kacang tanah di Amerika, bunga matahari dan canola di Eropa, kelapa di Amerika Latin, Afrika dan beberapa negara Asia Selatan. Industri kelapa sawit pernah diserang oleh berbagai isu bahaya kesehatan tubuh (kanker) dari minyak sawit, isu lingkungan hidup, penebangan hutan atau gerakan eco labeling, dsb. Penyerangan dengan berbagai isu itu layaknya black campaign dari para pesaingnya seperti industri minyak kedelai, kacang tanah, minyak kelapa.
Kelapa sawit memang tidak salah menjadi pilihan pengembangan komoditi penghasil minyak yang diandalkan, sebab produktifitasnya yang sangat tinggi dibanding dengan komoditas penghasil minyak lainnya. Kelapa sawit ternyata memiliki berbagai keunggulan ekonomi yang cukup tinggi dan dengan dampak ekonomi yang sangat luas. Tabel di bawah ini membandingkan potensi produktivitas minyak nabati dari beberapa jenis tanaman dengan kelapa sawit.
Jenis tanaman ————-Produktifitas (kg/hektar/tahun)
Kelapa Sawit (+ inti) ——-2.500 – 5.000 (sampai 6.000)
Kelapa ——————— 600 – 1.500
Zaitun ——————— 500 – 1.000
Jarak Pagar —————1.000 – 3.000
Bijan/ Wijen ————— 340 – 1.000
Kacang tanah ————– 340 – 440
Kedelai ——————– 230 – 400
Rape ———————- 300 – 600
Safflower —————— 550 – 800
Bunga matahari ———– 280 – 700
Dari tabel di atas terlihat kelapa sawit memiliki produktifitas paling tinggi diantara tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Oleh karena itu pantas kalau dulu menjadi andalan pilihan komoditas perkebunan yang mengalahkan jenis tanaman lainnya. Demikian juga dalam era bioenergi sekarang ini, kelapa sawit memiliki potensi untuk bahan baku biodiesel yang cukup besar. Bahkan pilihan kepada kelapa sawit ini juga didasari karena indutri hulunya yang sangat luas yaitu industri oleo pangan, oleo kimia, industri barang jadi sampai dengan industri bioenergi.
Sebenarnya produk kelapa sawit sangat fleksibel pada industri hilirnya. Namun sayang, di Indonesia industri hilir kelapa sawit masih belum sehebat hasil CPOnya, sehingga nilai tambahnya belum sehebat yang dirasakan oleh negeri tetangga kita, meskipun jumlah produksi CPOnya sama atau bahkan sudah lebih besar. Inilah yang mungkin menyebabkan gonjang-ganjing harga terjadi. CPO adalah barang ekspor untuk bahan mentah untuk berbagai industri hilir di luar negeri. Indonesia sangat terpengaruh oleh keadaan industri pengolahan CPO di luar negeri, krisis ekonomi menyebabkan permintaan CPO menurun drastis, maka berakibat pada harga CPO yang merosot tajam.
Barangkali kondisi gejolak harga tidak akan terlalu parah seandainya CPO itu lebih banyak diolah di dalam negeri. Tumbuhnya industri besar dan industri menengah dan kecil di bidang pengolahan TBS dan CPO (industri Oleo pangan, Oleo Industri, Industri berbahan baku oleo kelapa sawit sampai dengan industri bio energi), akan mengungkit produktifitas dan aktifitas ekonomi riil yang berdampak sangat luas. Namun sayang keadaan itu belum seluruhnya terjadi di daerah-daerah penghasil minyak kelapa sawit di Indonesia. Harusnya palm oil cluster industry muncul di mana-mana sentra perkebunan kelapa sawit itu berada.
Belajar dari kekurangan-kekurangan pada program pengembangan komoditi kelapa sawit di atas, menjadi pelajaran untuk program pengembangan Aren di berbagai daerah se Indonesia. Artinya Aren cluster industry harus menyatu dalam pengembangan perkebunan Aren. Dalam sekala kecil pun seharusnya kita juga mengarahkan perkebunan Aren berkembang diiringi dengan industri pengolahan Aren terpadu. Harus ada alur proses dan alur kemitraan dari perkebunan yang dikelola masyarakat, pekebun kecil dan menengah dengan industri pengolahan yang berskala kecil, menengah sampai besar.
Justru disinilah peran pemerintah di Pusat sampai di daerah-daerah, yaitu memayungi seluruh stake holder dalam skema kebersamaa dalam menghadapi situasi pasar global. Jangan sampai terjadi, bahwa pemerintah daerah sampai pusat malah yang membuat kesalahan-kesalahan yang menyebabkan iklim investasi komoditas dengan regulasi-regulasi yang kontra produktif.
Bagaimana peran dan potensi Aren?
Di beberapa tulisan terdahulu potensi ekonomi Aren sudah banyak ditulis, bahkan potensinya dapat mengungguli berbagai komoditi sejenis lainnya, bahkan mengungguli komoditi kelapa sawit. Kelapa sawit bisa jadi paling unggul dibandingkan komoditi sejenisnya (seperti tabel di atas). Namun bagaimana kalau dibandingkan dengan Aren? Mari kita hitung dimana keunggulan-keunggulan potensial dari Aren dibandingkan kelapa sawit.
Tabel jenis komoditi, hasil olahan, produktifitas (per hektar per tahun) dan nilai devisa yang dihasilkan.
Komoditi ———Hasil Olahan –Provitas (/ha/th) –Harga (Rp/kg) –Nilai (Rp/ha/th)
Kelapa Sawit —–TBS ————15 – 25 ton ————1.000 ————-15 – 25 juta
—————————————————————– 750 ————–11,25 – 18,75 juta
——————————————————————500 ————–7,5 – 12,5 juta
———————-CPO ————3 – 5 ton ————–6.000 ————-18 – 30 juta
—————————————————————-4.000 ————-12 – 20 juta
—————————————————————-3.000 ————–9 – 15 juta
—————————————————————-2.000 ————–6 – 10 juta
——————–Biodiesel ——–3 – 5 ton ————-4.000 ————-12 – 20 juta
—————————————————————-5.000 ————-15 – 25 juta
—————————————————————-6.000 ————-18 – 30 juta
Aren ————-Gula Aren ——-36 – 72 ton ———-4.000 ————-124 – 248 juta
——————(Gula Putih) —————————– 5.000 ————-180 – 360 juta
—————————————————————- 8.000 ————248 – 496 juta
—————————————————————10.000 ————360 – 720 juta
——————Bioethanol ——-21,6 – 43,2 ton ——- 6.000 ————129,6 – 259,2 juta
—————————————————————- 8.000 ————172,8 – 345,6 juta
————————————————————— 10.000 ———– 216 – 432 juta
————————————————————— 12.000 ———– 259,2 – 518,4 juta
Di lihat dari estimasi potensi hasil devisa dari tabel di atas, maka pada hitungan yang paling rendah di Aren dibandingkan yang paling tinggi di kelapa sawit, keunggulan Aren masih jauh lebih besar. Potensi hasil nilai rupiah kelapa sawit tertinggi adalah Rp 30 juta/ha/tahun, sedangkan Aren pada nilai terendah Rp 124 juta/ha/tahun. Bisa dikatakan perbandingan nilainya adalah 1 berbanding 4, kelapa sawit 1 dan Aren 4. Jadi Aren punya potensi ekonomi paling rendah adalah 4 kali lipatnya kelapa sawit. Kalau dibandingkan dengan nilai tertinggi Aren yang mencapai Rp 518 juta, maka angka perbandingannya menjadi 1 : 17, artinya keunggulan Aren adalah 17 kali lipatnya kelapa sawit.
Angka-angka di atas masih bisa disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi sebenarnya, artinya fluktuasi nilai kelipatan itu bisa sangat bervariasi. Silakan disesuaikan dengan angka-angka asumsi yang berlaku pada keadaan lainnya. Namun yang jelas prospek Aren terbukti masih lebih unggul dinilai dari potensi hasil dengan asumsi-asumsi sementara yang terjadi sekarang ini. Tetapi bagaimana kalau kondisinya sudah berubah.
Pada saat Aren sudah berkembang dengan pesatnya nanti, mungkin pada hitungan 10 sampai 15 tahun lagi, pada saat perkebunan Aren sudah mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu hektar. Nanti komoditi Aren akan bersaing dengan komoditi lain di pasar dunia. Industri gula dunia akan mengalami pergolakan dan dinamika yang cukup hebat. Aren sebagai komoditi penghasil gula paling potensial akan bersaing dengan komoditi tebu, jagung, bit, ubi-ubian, sorgum, dll.
Gula dari Aren akan bersaing dengan gula dari tebu, gula dari jagung, dari bit, gula dari ubi-ubian dan sorgum. Dalam kancah persaingan yang ketat, maka faktor efesiensi dan komparasi nilai lebih suatu produk akan membantu kekuatan dalam persaingan. Campur tangan politik global juga akan mewarnai kompetisi ini, namun pemenangnya pasti yang mempunyai keunggulan komparatif di berbagai hal. Oleh karena itu skema pengembangan Aren harus juga memberi trend kepada arah keunggulan komparatif itu. Artinya semua pihak yang terlibat (seluruh stake holder) pada komoditi Aren ini harus bersatu padu untuk membangun keunggulan komparatif ini.
Artinya pengembangan Aren dari awalnya haruslah dikontrol sedemikian rupa agar tetap dalam skema kerja pengembangan dan pembangunan yang mengarah pada keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif secara global. Seandainya nanti akan terjadi tsunami ekonomi global, dengan berbagai keunggulannya bisnis Aren tidak akan terpuruk seperti keadaan bisnis kelapa sawit sekarang ini. Oleh karenanya Dewan Aren Nasional diharapkan bisa menjadi lokomotif penggerak pengembangan Aren menuju keunggulannya.
Bagaimana menurut Anda?
By kebun aren Nunukan; Senin, November 03, 2008

PRODUKTIVITAS NIRA DAN FREQUENSI SADAPAN POHON AREN

Oleh : Dian Kusumanto
Lama tidak mengunjungi kebun Aren rasanya memang merindukan. Minggu pagi tadi akhirnya kesempatan itu menjadi takdirNya. Ada pelajaran yang menarik dari Sang Guru Aren saya, yaitu Bapak Sarman, seorang petani, penyadap nira Aren yang setiap hari selama puluhan tahun berakrab dengan pohon Aren. Sulitnya medan menuju kebun tidak menyurutkan langkah saya. Biasa, seperti di daerah lain juga, populasi pohon Aren selalu tumbuh berkembang di tempat yang jauh dari pemukiman.
Beliau masih seperti beberapa bulan yang lalu, masih energik dan selalu bersemangat kalau penulis datang. Saya mengabarkan kalau di Majalah Tani Merdeka ada publikasi tentang Aren, yang gambarnya dulu diambil di kebun itu. Waktu itu sang wartawan yaitu Mas Ardi Winangun dan sang fotografernya Mas Mustafa Kemal cukup lama mewancarai dan membuat foto di kebunnya.
Pagi tadi saya sengaja bertemu untuk menanyakan beberapa hal yang sebenarnya adalah pertanyaan yang belum bisa saya jawab. Pertanyaan yang datangnya dari beberapa pembaca atau pengunjung blog ini melalui alamat email saya. Ternyata jawaban dari Sang Guru Aren ini menjadi pengetahuan yang baru bagi penulis, dan kami ingin memaparkan disini mudahan juga bermanfaat bagi para Aren mania. (memangnya fans sepakbola apa?!)
Gambar : Pak Sarman didampingi anaknya sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis.
Pertanyaan 1 : Untuk suatu keperluan, bisakah penyadapan Aren dihentikan selama 36 jam, atau baru 36 jam kemudian disadap lagi ?
Jawaban Pak Sarman : Tidak bisa. Kalau 24 jam masih memungkinkan, artinya jika awalnya disadap jam 06 pagi maka bila sore tidak disadap dan baru besok yaitu jam 06 pagi hari berikutnya baru disadap, masih bisa. Sebenarnya yang ideal itu 12 jam sekali atau 2 kali dalam sehari, yaitu pagi hari antara jam 06 pagi sampai jam 08 pagi, kemudian sore antara jam 05 sore sampai jam 06 sore.
Kalau kita terlambat mengiris batang tangkai bunga sadapan, maka biasanya air nira akan menjadi lambat keluarnya. Air nira yang semula mengalir deras lama-kelamaan berkurang alirannya dan kemudian menetes-netes saja. Apabila terlalu lama kemudian berhenti menetes.
Kenapa berhenti menetes ? Pada ujung batang tangkai bunga sadapan itu ada semacam saluran-saluran air nira yang sangat kecil yang kemudian tertutup, tersumbat oleh air nira yang kemudian seperti mengental. Air nira yang seperti mengental inilah yang menyebabkan nira hanya menetes-netes atau bahkan berhenti menetes karena tidak sanggup melewati saluran kapiler (pembuluh tapis atau phloem-red) yang ada di batang tangkai bunga sadapan.
Seperti apa rupa air nira yang mengental itu?
Air nira yang mengental itu sepertinya ia membawa partikel tepung dari dalam batang aren. Seolah-olah, karena aliran air nira terhambat, maka tekanan air nira menguat sehingga dapat membawa tepung pati batang aren seolah mengaduk dan terlarut di aliran air nira. Partikel tepung yang bercampur dengan air nira menyebabkan massa air nira menjadi mengental dan alirannya melambat. Lama kelamaan seperti menumpuk dan menyumbat sehingga aliran air nira menjadi terhenti.
Apa akibatnya kalau ini berlangsung lama?
Kalau berlangsung terlalu lama akan dapat merusak saluran kapiler air nira, ibarat bagian tubuh manusia yang terpotong yang akhirnya membusuk sedikit-demi sedikit. Kalau terlalu lama akhirnya batang tangkai bunga tersebut tidak bisa lagi mengeluarkan air nira, karena saluran kapilernya sudah rusak dipenuhi oleh partikel air nira aren yang mengental dan sulit dikeluarkan dari saluran kapiler itu.
(Sebenarnya saya sedang membayangkan, kalau suatu saat nanti perkebunan aren sudah mulai produksi, saya ingin meliburkan tenaga kerja (karyawan) penyadapan libur selama 36 jam, begitu lho?!)
Kalau begitu ya diatur saja dari pergantian tenaga kerjanya, jangan mengorbankan pohon nira arennya. Karena kalau produksinya terhenti kita mesti menunggu lagi munculnya tandan bunga selanjutnya atau di bawahnya. Itu pun kita masih khawatir, kalau-kalau macetnya aliran air nira pada batang tangkai bunga di atasnya berpengaruh pada tangkai yang di bawahnya seterusnya. Jadi pohon bisa tidak berproduksi nira lagi.
Kok akibatnya bisa begitu?
Bisa saja terjadi pengaruh yang melebar akibat tidak kita sadapnya air nira yang macet tadi, tangkai-tangkai tandan yang di bawahnya tidak mau mengeluarkan niranya. Kalau sudah begitu kerugiannya menjadi sangat banyak, sebab yang semestinya setiap tangkai bisa disadap sampai 3 bulan, kadang bisa sampai 7 bulan itu macet berproduksi.
(Sayang sekali memang! Kalau sehari 10 liter saja berapa ruginya, 10 liter kali 3 sampai 7 bulan kali 30 hari, berarti kerugiannya sekitar antara 900 sampai 2100 liter nira. Wah.. banyak sekali ! Iya memang sayang sekali, kalau di Nunukan ini 1 bolol Aqua besar (isi 1,5 liter) nira dihargai Rp 4.000,- per botol. Kalau 900 liter berarti ada 600 botol, kalau 2100 liter berarti ada 1400 botol dikalikan Rp 4000,-, berarti kerugiannya antara Rp 2,4 juta sampai dengan Rp 5,6 juta setiap tangkai bunga yang tidak disadap).
Memang setiap tangkai bisa disadap sampai lama begitu ?
Bisa, tergantung keahlian para penyadap, selain itu tergantung juga dengan pisaunya. Pisau sadap harus tajam sekali dan mengirisnya harus ahli dan sabar, sehingga mengirisnya sangat tipis sekali. Kalau bisa setipis kertas. Kalau begitu bisa sampai 7 bulan, seperti orang tua saya dulu. (Rupanya dulu orang tua Pak Sarman sering membantu menyadap pada saat Pak Sarman ada keperluan yang lain).
(Ternyata orang tua Pak Sarman pada waktu di kampungnya dulu, yaitu di Enrekang Sulsel, adalah penyadap nira pohon Aren. Karena memang daerah Enrekang itu banyak sekali pohon Aren).
Sebenarnya apa saja yang membuat penyadapan tangkai bunga berlangsung lama?
Ya tergantung dari panjangnya tangkai bunganya itu sendiri serta keahlian orang yang menyadap. Jadi, pohon yang subur yang berbatang besar dan tinggi dengan daun yang hijau segar dan banyak, akan mengeluarkan tangkai bunga dengan ukuan besar dan panjang. Semakin panjang dan besar tangkai bunga, akan semakin banyak pula nira yang dikeluarkan. Pohon yang berbatang kecil biasanya tangkai tandan bunganya juga akan kecil dan pendek, seandainya tangkainya besar dia akan pendek juga. Artinya batang yang kokoh besar dengan daun yang hijau segar berpengaruh terhadap produksi air niranya nanti.
Bagaimana dengan pohon Aren yang pendek atau pohon Aren genjah?
Memang ada pohon Aren yang pendek, yang umurnya juga agak cepat. Barangkali sekitar 5 tahun sudah bisa diambil hasilnya. Pohon genjah demikian biasanya juga umur produktifnya juga tidak terlalu lama, tidak seperti yang pohonnya tinggi. Jumlah ruas-ruas daunnya juga lebih sedikit, berarti jumlah calon tandan bunganya juga sedikit. Selain itu biasanya tandan bunganya juga tidak terlalu panjang, sehingga penyadapannya juga tidak akan lama.
(Berarti pohon Aren Genjah potensi produksinya juga akan lebih sedikit dibandingkan dengan yang berumur panjang).
Kembali kepada kasus air nira yang mengental. Bagaimana cara untuk memperbaiki keadaan ini?
Air nira mengental memang bisa saja terjadi pada saat awal penyadapan. Setelah perlakuan pemukulan yang berturut-turut (periodik) dilakukan, kemudian tangkai bunga Aren menunjukan tanda-tanda sudah bisa mengeluarkan air nira. Maka mulailah kita mengiris tandan bunga pada tangkai paling ujung. Adakalanya air nira mengalir langsung dengan keadaan encer dan bagus, namun adakalanya juga air nira agak mengental. Kalau begitu kita harus melakukan beberapa perlakuan agar niranya kembali encer dan lancar mengalirnya.
Ada cara yang biasa dilakukan Pak Sarman dan para penyadap Aren di Nunukan, yang merupakan ilmu pengetahuan yang diturunkan dari orang tuanya terdahulu di kampungnya di Enrekang Sulsel. Caranya cukup sederhana, yaitu :
Cara yang pertama dengan menggunakan kunyit. Kunyit dipotong kemudian pada bekas potongannya itu digosok-gosokkan pada bekas luka sayatan sadap pada tangkai bunga Aren. Menggosok bekas luka sayatan ini dilakukan dengan cara mengiris sayatan baru dan kemudian menggosoknya dengan kunyit. Ini dilakukan berulang-ulang pagi dan sore sebagaimana jadwal penyadapan. Untuk penyembuhannya kadang memerlukan waktu sampai 4 (empat) hari. Namun sebelunya perlu dilakukan juga upaya pembersihan atau pencucian wadah penampung nira Aren. Kalau perlu dicuci dengan pasir agar bersih sekali dan tidak meninggalkan bekas dan dibilas dengan air panas. (Kalau bahasa ilmiahnya disterilisasi).
Cara kedua, bisa dengan menggunakan daun sirih yang dilumatkan kemudian digosok-gosokkan pada bekas sayatan sadap di tangkai bunga Aren tadi. Dua cara ini bisa dipilih salah satunya, tergantung bahan mana yang lebih mudah diperoleh. Sama caranya dengan yang menggunakan kunyit tadi, yaitu dilakukan penggosokan dengan daun sirih pada bekas luka irisan sadap pada setiap pagi dan sore. Upaya ini dilakukan sampai sembuh, yang ditandai bahwa nira kembali mengalir lancar dan encer. Hal ini biasanya memerlukan waktu sekitar 4 (empat) hari.
Cara yang ketiga adalah dengan mencari rumput alang-alang, kemudian dipilin-pilin menjadi agak panjang dan diikatkan di batang pohon. Cara ketiga ini menurut Pak Sarman biasa dilakukan bersamaan dengan cara penggosokan di atas. Alang-alang yang sudah dipilin memanjang tadi biasanya diikatkan pada batang pohon tidak jauh dari tangkai bunga yang mengalami masalah tadi. Bisa pada sisi atas, bisa juga pada sisi bawah dari tangkai bunganya.
Cara yang keempat. Ada juga petani lain yang menyarankan untuk melakukan melubangi batang pohon di bagian bawahnya. Alasannya agar pati sagu tidak ikut keluar bersama nira, yang akhirnya menyebabkan nira menjadi mengental. Menurut Pak Sarman, air nira yang terkumpul biasanya agak pekat dan menyisakan endapan yang terasa seperti tepung sagu yang licin kalau diremas dengan jari. Lubang yang dibuat tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dalam, cukup untuk bisa memberi jalan keluar bagi ‘sagu’ yang berlebih. Ini merupakan cara terakhir yang sebenarnya Pak Sarman belum pernah melakukannya.
Apakah “penyakit” air nira mengental ini dialami oleh setiap pohon?
Tidak. Tidak setiap pohon mengalami gangguan ini. Yang sering terjadi, adalah karena wadah penampungan itu kotor (terkontaminasi-red). Wadah air nira yang kotor bisa menyebabkan air nira mengental. Cara mengatasinya yang dengan menggunakan cara-cara di atas, sekaligus dengan membersihakan wadah penampung nira, dengan cara dicuci yang bersih bahkan dengan menggunakan pasir atau serbuk abu dapur dan dibilas dengan air panas. Jangan lupa menggosok-gosok luka bekas irisan sadap itu dengan kunyit atau daun sirih serta mengikatkan alang-alang sebagai tanda pohon yang sedang bermasalah.
(Bersambung)
By kebun aren Nunukan; Senin, November 03, 2008
2 komentar
Sabtu, 2008 Oktober 25

MEMILIH AREN SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETHANOL

Oleh : Dian Kusumanto
Pada pertengahan Bulan Agustus 2008 yang lalu penulis mengikuti Pelatihan Produksi Bioethanol yang diselenggarakan oleh Majalah TRUBUS di Cimanggis Depok. Penulis bertemu dengan para ahli di bidang Bioethanol Indonesia, antara lain : Bapak Arief Yudiarto, Bapak Roy Hendroko, Bapak Ronny Purwadi, Bapak Cecep Sudirman dan Bapak Bambang Purnomo. Beliau semua adalah para ahli yang bertindak sebagai nara sumber dan instruktur pelatihan tersebut.
Bapak Arief Yudiarto dan Bapak Roy Hendroko mengakui bahwa Aren adalah salah satu bahan baku bioethanol yang paling produktif. Dalam catatannya disebutkan bahwa Aren yang diolah dari niranya dapat menghasilkan bioethanol sekitar 25.000 dan 40.000 liter/hektar/tahun. Sedangkan komoditi lain jauh lebih rendah. Nipah, Kelapa dan Lontar yang diambil dari niranya potensi bioethanolnya antara 15.000, 10.000 dan 8.000 liter/hektar/tahun. Ubijalar, Tebu, Jagung, Sorgum manis, dan Ubikayu memiliki produktivitas bioethanol lebih rendah lagi yaitu antara 7.800, 6.000, dan 4.500 liter/hektar/tahun.
Antara Tebu dan Aren
Selama ini bahan baku yang paling banyak digunakan untuk bioethanol adalah Tebu, terutama memanfaatkan Molases (tetes tebu) yang merupakan ‘limbah’ (atau lebih tepat produk samping) dari pabrik gula tebu. Tebu dari batang segarnya mempunyai produktivitas bioethanol mencapai 6.000 liter/hektar/tahun, sedangkan dari molasesnya mencapai 1.000 liter/hektar/tahun, kalau dijumlah menjadi sekitar 7.000 liter/hektar/tahun.
Menurut Bapak Bambang Purnomo dari 100 kg tebu segar akan dihasilkan 85 kg nira tebu (press dua kali). Dari nira 85 kg tersebut diperoleh 6,6 liter bioethanol 95%(v/v). Kalau 1 hektar tebu, yang menurut Dr. Sunyoto (dari P3GI) Pasuruan, potensi produktivitas Tebu tahun 2007 sebesar 82 ton/hektar, maka akan diperoleh nira sebanyak 69.700 kg dan akan menjadi bioethanol sebanyak 82.000/100 x 6,6 = 5.412 liter/hektar. Jadi angka 6.000 liter di atas masih agak dekat dengan 5.412 liter.
Sekarang masalahnya adalah apakah sama kandungan gula antara nira dari Tebu dan dengan dari Aren. Karena yang akan diubah menjadi bioethanol dari kedua nira tersebut adalah gulanya, makanya kandungan gulanya perlu dibandingkan. Namun kita bisa saja mengambil hitungan di atas, maksud saya berapa kandungan bioethanol dari nira. 85 kg Nira Tebu dapat menghasilkan 6,6 liter bioethanol 95% (BE 95), berarti sekitar 7,7 %.
Pengalaman di Minahasa Selatan Nira Aren dapat mengasilkan BE 95 antara 6 sampai 7 %, tetapi ada yang mengatakan sampai 7,5 %. Kalau dibandingkan dengan Nira Tebu hampir sama. Misalnya kita ambil angka terendah yaitu 6 % saja. Jadi berapa hasil BE 95 jika kita berkebun Aren seluas 1 hektar dalam satu tahunnya? Asumsi kita setiap hari dalam satu hektar dari 200 pohon yang menghasilkan ada 100 pohon saja, dengan rata-rata produksi nira 15 liter/hari/pohon. Jadi hasil nira dalam satu hari setiap hektar adalah sekitar 1.500 liter/ha/hari, maka akan menghasilkan BE sebanyak 1.500 liter x 6 % = 90 liter/hari. Kalau dihitung sebulan menjadi 30 hari/bulan x 90 liter/hari = 2.700 liter/bulan, dan menjadi dalam setahun menjadi 12 x 2.700 liter = 32.400 liter BE 95 /hektar/tahun.
Produktifitas BE dari kebun Aren yang mencapai 32.400 liter itu dihitung dengan asumsi hasil nira 15 liter/pohon/hari. Kalau menggunakan angka produksi nira Aren 10 liter/pohon/hari angka produksi BE-nya menjadi 21.600 liter/ha/tahun. Sedangkan kalau asumsinya produksi nira Aren 20 liter/pohon/hari, maka angka produksi BE dari kebun Aren seluas 1 hektar dalam setahunnya adalah 43.200 liter BE/hektar/tahun. Kita bisa hitung-hitung sendiri berapa banyak produksi nira dari kebun Aren kita seandainya akan diolah menjadi BE semua. Dari pengalaman lah yang nanti dapat menetapkan angka-angka pastinya produksi BE.
Jadi hasil BE antara sehektar lahan Tebu dan sehektar kebun Aren berbanding antara 5.412 : 32.400 = 1 : 5,98 atau 1 : 6 (satu dibanding enam). Jadi kalau kita menanam 6 hektar Tebu baru lah sebanding dengan 1 hektar kebun Aren. Atau sebaliknya kalau kita memiliki 1 hektar kebun Aren maka akan menghasilkan Bioethanol yang setara dengan menanam Tebu seluas 6 hektar.
Aren vs Nipah dan Kelapa
Bagaimana dengan Nipah dan Kelapa yang juga sebagai sumber bahan pemanis yang bisa diolah niranya menjadi Bioethanol? Nipah adalah tanaman yang merupakan anugerah alam di sekitar pantai atau perairan yang payau. Nipah tumbuh sendiri secara liar di kanan kiri sungai yang berair payau, pertemuan antara air tawar dan air laut. Namun yang menjadi kendala pengelolaan nira Nipah adalah sulitnya menjangkau pokok-pokok Nipah karena tumbuhnya secara liar di pinggir sungai. Untuk mengumpulkan nira dari pohon ke pohon tingkat kesulitannya sangat tinggi, karena tanah berlumpur, populasi Nipah yang rapat, banyak nyamuk, banyak buaya, dll. Produksi nira per pohon per harinya juga sangat kecil, sehingga pekerjaan pengambilannira dirasa sangat ribet, rumit, dan kurang praktis.
Kalau Kelapa masih banyak gunanya untuk keperluan pangan yang lain, sehingga meskipun produktivitasnya cukup tinggi dengan kemudahan pemungutannya hampir seperti Aren, belum menjadi pilihan untuk diolah menjadi bioethanol. Kadang yang sering menjadi pertimbangan adalah faktor pasar serta kemudahannya dalam memprosesnya. Kalau pasarnya untuk Kelapa segar sudah bagus, mengapa harus bersusah-susah diolah menjadi bioethanol. Kalau harga Kopra untuk bahan minyak goreng saja sudah bagus menapa harus diolah menjadi Bioethanol. Jadi begitulah mungkin cara berpikir yang pragmatis, realistis dan mungkin ekonomis. Dengan demikian Aren memang lebih unggul dan lebih efisien jika dibandingkan dengan sumber bahan yang lain untuk Bioethanol.
Aspek Teknologi Pengolahan Bioethanol
Dari aspek teknologi prossesing-nya mengolah nira Aren menjadi Bioethanol ternyata yang paling sederhana dengan peralatan yang paling minimum. Bahkan nira bila dibiarkan saja akan mengalami fermentasi dan menjadi alkohol, yang disebut sebagai bioethanol itu. Saking sederhananya masyarakat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dll. sudah membudayakan cara mengolah Nira Aren menjadi Tuak atau Cap Tikus untuk dimurnikan menjadi Bioethanol bagi keperluan industri dan bahan bakar nabati.
Di Minahasa Selatan sudah dari dulu kala, secara turun menurun masyarakat memanfaatkan Nira Aren mengelolanya menjadi Bioethanol. Caranya sebagai berikut, pertama nira Aren disadap selama 24 jam, kemudian dibiarkan selama 12-24 jam lagi sehingga terbentuklah ethanol berkadar 6-7 %. Kemudian nira yang telah terfermentasi tersebut dimasak dalam Drum dan uapnya diembunkan lewat Bambu. Dari uap air yang merambat di bambu tersebutlah diperoleh bioethanol berkadar antara 18 – 70%.
Omset pendapatan petani Aren dari bioethanol dengan kebun sehektar
Kalau angka produksi yang digunakan adalah 32.400 liter/hektar/tahun, sedangkan tingkat harga Bioethanol seharga Rp 8.000,-/liter BE, maka omset pendapatan petani setiap hektar/tahun mencapai Rp 259.200.000,- (dua ratus limapuluh sembilan juta rupiah) per hektar/tahun. Kalau harga Bioethanol mencapai Rp 10.000,-/liter, maka omset pendapatannya akan mencapai Rp 324 juta/ha/tahun. Tentu saja angka ini masih dikurangi segala jenis biaya-biaya yang diperlukan dari pengelolaan kebun, pengelolaan nira sampai menjadi bioethanol, dll. Tapi barangkali proporsinya sekitar 30-45% saja, jadi masih ada hasil bersihnya sekitar 55-70% dari omset pendapatan tadi. Kalau toh hasil bersih yang diperoleh petani 50 % saja juga masih sangat bagus.
Oleh karena itu para pekebun Aren tidak hanya boleh KAYA tapi harusnya menjadi KAYA RAYA. Nah… kalau sudah KAYA atau KAYA RAYA jangan lupa mengeluarkan hak para fakir, miskin, kaum lemah, dan siapa saja yang membutuhkan pertolongan, yang jumlahnya masih sangat banyak di negeri kita ini. Makanya dengan membuka KEBUN AREN sekarang , sekitar delapan sampai sepuluh tahun kemudian kita akan bisa berbagi dengan hak-hak mereka, karena kita akan KAYA dan KAYA RAYA. Kita tidak perlu lagi merompak seperti Raden Said, … karena kita sudah menemukan emasnya Kanjeng Sunan Bonang pada KEBUN AREN kita. InsyaAllah!
Bagaimana menurut Anda?
By kebun aren Nunukan; Sabtu, Oktober 25, 2008

DEWAN AREN NASIONAL, APAKAH PERLU?

Oleh : Dian Kusumanto
Adalah Bapak Drs. H. Rusfian, MM. Wakil Sekjen HKTI Pusat di Jakarta yang melalui SMSnya beliau mempunyai tekad untuk menghidupkan dan menggerakkan Dewan Aren nasional. Beliau juga sangat optimis karena Aren sudah selayaknya mendapat perhatian yang sedemikian besar dan utama karena berbagai keunggulannya. Beliau juga setuju dengan ungkapan bahwa Aren punya prospek emas yang PRO JOB, PRO POOR, PRO GROWTH & PRO PLANET, beliau malah menambahkan dengan PRO HEALTH.
Apresiasi demikian besar terhadap pengembangan Aren ini sering sekali penulis terima semenjak lahirnya blog kebunaren.blogspot.com ini. Meskipun jauh sebelumnya penulis sudah berusaha mengangkat wacana Aren ini di lingkungan penulis yang tentu saja masih sangat terbatas. Tidak bisa dipungkiri bahwa Majalah TRUBUS termasuk sebagai media yang sering menggugah penulis agar lebih intensif lagi memperhatikan dan mengelola informasi seputar Aren ini. Beberapa lembaga swasta seperti Yayasan Masarang, DIVA’S Maju Bersama, Koperasi Serba Usaha Suka Jaya, dan banyak juga lembaga-lembaga lainnya turut menyemarakkan Dunia Aren Nasional.
Tentang perlu segera dibentuknya Dewan Aren Nasional memang didasari oleh beberapa pertimbangan, antara lain :
  1. Prospek Agribisnis Aren menjanjikan potensi yang paling unggul dibandingkan dengan komoditi-komoditi lainnya.
  2. Komoditi Aren sangat selaras dengan berbagai isu nasional yang menyangkut Pangan dan Energi, karena Aren bisa mendukung Swa Sembada Pangan melalui substitusinya terhadap kebutuhan gula, mengurangi tekanan penggunaan lahan tanaman pangan dari industri gula berbasis tebu, potensi besar dari niranya yang dapat diolah menjadi BIOFUEL alias BIOETHANOL dengan produktifitas paling tinggi.
  3. Komoditi Aren dikenal sebagai komoditi yang sudah diandalkan dalam membangun ekonomi kerakyatan pada masa lalu di beberapa daerah, sekarang pun masih diandalkan di beberapa daerah. Produk utama maupun produk lainnya dari Aren sangat dekat dengan pembangunan ekonomi rakyat, industri bisa dikelola oleh rakyat, kerajinan dari seluruh produknya dapat menyerap tenaga kerja sedemikian banyaknya.
  4. Pada era dimana kelestarian lingkungan hidup dan keseimbangan alam semakin mengancam kehidupan planet ini, maka dipandang perlu segera ada restrukturisasi pola pilihan komoditas agribisnis selaras lingkungan. Dimana aspek ekonomi (agribisnis) tercapai sekaligus faktor lingkungan tetap bisa terjaga secara berkesinambungan. Sebab Aren dikenal sebagai tanaman yang tidak ’egois’, bisa ber’kolaborasi’ dengan jenis tanaman lainnya, terutama pada saat awal pertumbuhannya. Pembungaannya yang terus menerus sepanjang tahun banyak dimanfaatkan untuk memelihara lebah madu, makanya masyarakat sekitar hutan bisa cukup ekonominya dengan memanfaatkan Aren yang tumbuh di situ.
  5. Pada saat di beberapa daerah sangat bersemangat mengembangkan komoditi industri non pangan dengan perkebunan sekala besar (seperti Kelapa Sawit, Karet, dll.) maka sebenarnya daerah tersebut sedang membangun ketidak seimbangan. Sebab pada saat komoditi non pangan merajalela sedangkan komoditi pangannya tersisihkan, maka pangan daerah tersebut sangat bergantung dari daerah lain. Pada saat ada keadaan dimana daerah lain protektif juga dengan stok pangannya maka hal tersebut akan menjadi ancaman bagi daerah yang tidak mandiri pangannya. Belum lagi pada saat komoditi ekspor berupa bahan non pangan menurun harganya atau permintaannya, maka kondisi ekonomi daerah tersebut bisa mengalami penurunan yang drastis, terjadi krisis ekonomi lokal. Dengan pertimbangan ini maka keragaman komoditi antara yang berbasis pangan dan non pangan menjadi pertimbangan. Aren dalam hal ini bisa menjadi komoditi penyeimbang, karena Aren bisa diarahkan pada industri pangan maupun non pangan.
  6. Pengembangan Aren sekarang ini masih diprakarsai oleh lembaga-lembaga non pemerintah, bahkan hanya oleh personal-personal secara mandiri, perhatian pemerintah dirasa masih sangat kurang. Badan Litbang Pertanian juga masih belum mengagendakan penelitian dan pengembangan Aren, Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi juga belum melirik Aren. Oleh karena itu Dewan Aren Nasional inilah nanti yang diharapkan dapat mendorong Pemerintah, Departemen Pertanian, Badan Litbang, Perguruan Tinggi, Lembaga Swasta untuk meneliti, mengembangkan Aren dan segala produknya menjadi produk andalan baru yang sangat menguntungkan.
  7. Manajemen pengembangan Aren ini menjadi sangat penting karena adanya ancaman klaim dari Malaysia yang sekarang sangat getol namun sembunyi-sembunyi mengembangkan Aren ini. Klaim itu bisa saja berupa patent akan produk-produk olahannya seperti gula kristal, gula semut, gula sirup aren, gula instant dengan campuran aneka rasa, kecap yang berbasis gula aren, sampai dengan produk-produk olahan fiber yang berbasis ijuk dari Aren. Demikian bahan-bahan industri dan kerajinan yang terbuat dari lidi Aren. Dengan adanya Dewan Aren Nasional, maka diharapkan dapat membagi peran dan tugas untuk siapa mengerjakan apa, dan kapan harus dimulai serta kapan hasilnya dapat diperoleh. Dewan Aren nasional bersama stake holder yang ada juga akan menyusun Road Map Pengembangan Aren Nasional.
  8. dll.
Wah…. kalau begitu adanya Dewan Aren Nasional patut ditunggu agar lahir tidak terlalu lama lagi. Setelah lahir agar cepat memahami peran dan tugasnya, cepat bergerak namun tetap sistematis dan strategis. Dewan Aren Nasional juga diharapkan mampu meyakinkan Pemerintah dan seluruh Stake Holder di bidang pengembangan Aren agar bisa saling bekerja sama mengembangkan Aren. Dalam SMSnya Pak Rusfian juga mengusulkan agar Dewan Aren Nasional diketuai oleh orang-orang yang ‘kuat’ dalam usaha pengembangan Aren secara nasional. Beliau tak lupa menyebut satu nama yaitu Bapak Hasyim Djojohadikusumo, seorang tokoh nasional, pengusaha besar nasional yang banyak bergerak membangkitkan Aren nasional.
Bagaimana menurut Anda ?
By kebun aren Nunukan; Jumat, Oktober 24, 2008

PENGEMBANGAN AREN DAN KEKHAWATIRAN MARAKNYA MINUMAN KERAS

Penulis : Ir. Dian Kusumanto 29 September  2008
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kalau Aren nanti berkembang dikhawatirkan akan marak juga minuman keras (miras) berupa tuak atau cap tikus dan lain-lain. Apalagi kalau penyadap juga tidak sanggup mengolah sendiri niranya untuk dijadikan gula, maka paling gampang yaa.. melepasnya kepada para penampung nira untuk dijadikan tuak atau miras cap tikus.
Kekhawatiran seperti ini akan mempengaruhi kebijakan pengembangan Aren di suatu daerah. Bisa saja para anggota DPRD enggan untuk menyetujui rencana pengembangan Aren di wilayahnya karena sebab kekhawatiran tersebut. Demikian juga para pimpinan wilayah tidak mau menanggung resiko manakala makin maraknya miras tindak kriminal akan semakin meningkat, dan itu adalah akibat dari kebijakannya. Tentu tidak akan ada artinya seandainya pembangunan fisik dan ekonomi dilaksanakan namun pembangunan di bidang moral tidak mengimbanginya.
Kekhawatiran semacam itu akan tetap menjadi benang kusut manakala kita tidak mencoba mengurai kenapa kita mesti khawatir. Kekhawatiran adalah sejenis ketakutan manakala akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ketakutan adalah termasuk penyakit kelemahan jiwa manusia karena tidak mengetahui atau memahami keadaan yang sedang dan akan terjadi. Seandaianya manusia mengetahui semakin banyak apa yang sedang dan akan terjadi dan memahami cara-cara untuk mengatasinya, maka ketakutan tersebut akan semakin berkurang atau hilang. Berkurang dan hilangnya ketakutan menimbulkan keberanian dan keyakinan dalam menghadapi kejadian yang akan datang.
Jadi…. untuk mengikis kekhawatiran dan ketakutan akan maraknya miras nanti seandainya Aren sudah berkembang, maka kita perlu mempelajari dan mencarikan jalan keluar dari sebab-sebab yang menimbulkan kekhawatiran terjadi. Kita akan mencoba mengurai benang kusut itu dari permasalahan yang terjadi dari petani Aren tradisional kita sekarang ini.
Menjual Nira segar lebih pratis dari pada harus mengolah lagi menjadi Gula Aren.
Repotnya mengelola Nira menjadi Gula
Para petani dan penyadap Aren ini kadang sudah bekerja cukup keras di kebun dan tidak mampu lagi tenaganya untuk mengolah nira menjadi gula. Belum lagi mencari kayu bakar untuk memasak gula, kemudian perlu tenaga mengolah gula secara tradisional yang mencapai 4-5 jam setiap proses, selanjutnya pengemasan gula dan mengirimkannya ke pedagang gula, dan seterusnya. Rentetan pekerjaan seperti itu yang menyebabkan petani (yang sebenarnya cukup rasional) akhirnya memilih jalan pintas mejualnya dalam bentuk Nira Aren Segar, atau Nira Aren yang terah terfermentasi, tanpa mengolah dan bahkan dijemput langsung oleh pedagang di kebun.
Namun sebenarnya di relung hati nurani para petani dan penyadap nira Aren ini, merasa ikut bersalah juga seandainya berakibat semakin maraknya miras di tempatnya. Seperti yang dialami oleh Bapak Sarman di Nunukan, beliau sebenarnya juga seorang imam musholla di tempatnya. Untuk mengurangi rasa bersalahnya, Pak Sarman menjual nira dalam keadaan masih manis, atau dia menyebutnya sebagai tuak manis. Namun apa boleh dikata, sebab kayu bakar semakin susah dicari, tenaga yang membantu memasak juga tidak ada, anak-anak sudah sekolah/kuliah di luar daerah, apalagi harga pembelian Nira Aren Segar juga cukup tinggi.
Teknologi yang sangat sederhana menjadi sebab masih susahhnya cara kerja dalam proses pengolahan gula. Ditambah lagi karena belum adanya persatuan diantara para perajin Nira Aren, maka proses menjadi terpencar-pencar dalam skala yang kecil-kecil dan tidak efisien. Kayu bakar sebagai bahan bakar sistem pengolahan tradisional semakin sulit dicari, semakin lama semakin jauh dan mahal. Ini semakin menciutkan nyali bagi pengolahan nia Aren menjadi gula.
Diversifikasi produk, kelembagaan petani Aren, citra produk dari Nira Aren dan upaya penegakan hukum
Ada beberapa skema atau upaya untuk mengurangi atau meniadakan kekhawatian tadi, antara lain upaya diversifikasi produk olahan yang bernilai tinggi dan memiliki pangsa pasar yang luas. Tentu saja upaya diversifikasi produk ini perlu kerja keras dari semua pihak, karena in butuh waktu yang sangat panjang. Kalau perlu kita iklankan di TV nasional, produk yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi berbeda dengan sesamanya karena seringnya dicitrakan melalui iklan TV. Contoh seperti produk gula putih merek GULAKU, tepung beras ROSE BRAND, permen RELAXA, Sirup ABC, Sirup COCO PANDAN, dll.
Pencitraan produk dari Nira Aren sebenarnya harus dimulai dari hulu sampai dengan hilirnya dan terakhir diiklan TV. Dari mulai membuat SOP (standard operasional prosedur) di dalam kegiatan budidaya dan pemeliharaan kebun Aren, SOP pengelolaan nira sampai dengan pengemasan produknya dan pemasarannya. Semua harus dikelola tidak secara tradisional lagi, sudah harus profesional. Oleh karena itu petani harusnya dihimpun atau terhimpun dalam suatu korporasi seperti kelompok tani, koperasi, atau ada pengusaha yang menghimpunnya baik secara kelompok ataupun terpisah-pisah.
Pada skala yang lebih luas misalnya tingkat kabupaten, dibentuk Asosiasi Petani Aren tingkat kabupaten. Selanjutnya akan dibentuk Asosiasi Aren Tingkat Nasional, yang antara lain bertugas untuk membangun citra produk-produk dari Aren Indonesia pada tingkat nasional dan dunia. Selain itu Asosiasi ini juga bisa mendorong Pemerintah untuk lebih memperhatikan pengembangan Aren di masa yang akan datang.
Selain itu juga dengan upaya penegakan hukum, karena sebenarnya minuman beralkohol harus dibatasi dan diawasi peredarannya. Penegakan aturan ini dimulai dengan pembentukan peraturan-peraturan yang dituangkan dalam suatu Perda di setiap daerah beserta implementasinya di lapangan, termasuk kepada produk-produk minuman beralkohol yang dihasilkan dari Nira Aren ini. Sesekali dilakukan sweeping oleh petugas pengawas PERDA, biasanya SATPOL PP, bagi mereka yang melanggar ketentuan akan perdagangan miras termasuk tuak pahit ini.
Perda ini bisa berbeda nuansanya antara daerah satu dengan yang lain. Contoh seperti di SULUT, dimana minum Cap Tikus sudah menjadi hal biasa dan membudaya, bahkan mungkin tuntutan dari iklimnya yang memang dingin. Demikian juga di daerah SUMUT yang mana nira Aren biasa dikonsumsi menjadi TUAK atau BALOK. Akan berbeda dengan daerah yang mana komunitas muslimnya kuat menjalankan syari’ah seperti di SULSEL atau di ACEH. Akan berbeda juga dengan daerah BANTEN atau bahkan dengan Kalimantan Timur. Nah… inilah Indonesia!!!
Nira sebenarnya bisa dikembangkan atau didiversifikasikan menjadi aneka produk yang sangat beragam, antara lain :
  1. Nira Aren Segar
  2. Nira Aren Segar aneka rasa & aroma
  3. Syrup Aren Murni
  4. Syrup Aren aneka rasa & aroma
  5. Gula Aren Cetak Murni (aneka bentuk dan ukuran)
  6. Gula Aren Cetak dengan aneka rasa & aroma
  7. Gula Aren Serbuk (gula Aren semut)
  8. Gula Aren Serbuk (gula Aren semut) dengan aneka rasa & aroma
  9. Aneka minuman instan berkhasiat (kombinasi dengan beragam ramuan minuman berkhasiat obat)
  10. dan lain-lain.
Kalau toh di suatu daerah Nira Aren hanya dijual dalam bentuk Tuak atau Cap Tikus, sebenarnya menunjukkan bahwa di daerah tersebut belum tergarap dengan baik target pasar di luar penggemar Tuak atau Cap Tikus ini. Sebenarnya akan lebih banyak penggemar Nira Aren Segar kalau para produsen Nira ini bisa menciptakan pencitraan yang baik akan produknya. Kalau dipikirkan sebenarnya nggak susah susah amat sih, tapi kalau nggak ada yang memulai yang berinisiatif mencoba-coba, yang berani rugi dulu, yang beresiko sebagai Sang Pencetus, Sang Pelopor, Sang Pemula.
Jangan khawatir karena nanti juga sejarah yang akan mencatat jasa-jasa bagi para Pelopor tadi. Kalau toh kita ikhlas dengan upaya-upaya kita dan hanya karena ingin bermanfaat bagi sesama itu saja sudah cukup. Tuhan saja Yang Maha Mengetahui. Tapi bagi sang pelopor yang sukses maka brand image akan melekat selamanya. Contoh kalau kita ingat air dalam kemasan kita menyebutnya dengan air AQUA, plaster penutup luka maka yang disebut pasti HANDYPLAST, pompa air orang menyebut dengan SANYO, dll. Artinya nama produk itu sudah melekat dengan merk sang pelopornya.
Pasar produk minuman seperti Nira Aren Segar atau tuak manis (atau legen, bhs. Jawa) sebenarnya bisa dijajagi, kalau seandainya teknologi pengawetan dan pengemasannya sudah paten. Di daerah Jawa Timur seperti di sekitar Surabaya, Gresik, Lamongan dan Tuban dikenal legen sebagai minuman segar yang dijajakan kepada para pengguna jalan. Legen yang dijajakan disini berasal dari tanaman Lontar atau Siwalan, masih se keluarga dengan tanaman Aren, yaitu dari keluarga Palma.
Nira segar Siwalan dengan jerigen-jerigen plastik 20 literan dengan kendaraan mobil pick up setiap pagi didistribusikan kepada penjaja langganannya di warung-warung, penjual legen dipinggir jalan, di tempat-tempat keramaian seperti pabrik, terminal, pasar, sekolah dan lain-lain. Namun minuman ini harus habis hari itu juga, kalau tidak habis biasanya dimasak atau direbus agar tidak masam atau mengalami fermentasi, dan besuknya bisa dijual kembali. Sang penjual biasanya juga menyiapkan ES BATU, sebab Legen akan lebih nikmat kalau diminum dalam keadaan dingin, segar sekali. Di terminal-terminal bus juga dijajakan legen manis dalam kemasan botol aqua tanggung, atau botol aqua besar untuk oleh-oleh.
Tentu saja pengemar minuman yang menyegarkan, yang berkhasiat obat, dan bisa menyembuhkan penyakit tertentu ada dimana-mana, dan jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dari penggemar tuak. Karena konsumen minuman segara itu dari semua kalangan tidak memandang anak-anak maupun orang dewasa, tidak memandang yang ekonominya biasa-biasa sampai orang-orang yang kaya. Oleh karena perlu digali dan dikembangkan produk Nira Aren Segar ini sehingga menjadi komoditi yang bisa menjadi kebutuhan banyak orang dan dapat diandalkan oleh para perajin nira.
Kalau nira dari Siwalan bisa dijual dalam bentuk segar dan manis, bukan sebagai minuman yang memabukkan atau minuman keras (miras), maka nira Aren pasti bisa juga dijual dalam bentuk nira yang manis, segar dan tidak memabukkan, yaitu Legen Aren. Legen Aren sebenarnya adalah Nira Aren yang kondisinya tetap tidak berubah, tetap segar dan belum mengalami fermentasi atau perubahan kimia dan fisiknya. Oleh karena itu perlu dicari teknologi pengawetan Nira Segar atau Legen Aren ini perlu dicari dan terus menerus diperbaiki, demikian juga bentuk-bentuk pengemasannya yang menarik. Karena Nira Aren yang masih segar sebenarnya memiliki banyak khasiat obat dan sering untuk upaya penyembuhan penyakit tertentu.
Oleh karena itu harus dibuat brand image yang bagus tentang Legen Aren ini, sebagai Nira Aren Segar, atau apa namanya, namun dengan menyebut nama itu akan tercitra suatu produk minuman yang semua orang merasa senang, aman dan tidak khawatir. Ini sudah dimulai oleh Ibu Evi dan Bapak Indrawanto dengan DIVA’S Maju Bersamanya, kemudian Bapak Suparno Jumar dengan Kedai Halimunnya, dan lain-lain. Selamat bagi yang sudah memulainya semoga selalu tetap berjaya.
Gula Cair Kental dan Gula Semut Aren dari Kedai Halimun Bogor
Gula Aren Kristal, Syrup Kalamansi dan Syrup Gula Aren dari DIVA’s Maju Bersama Serpong
Perkembangan di negeri tetangga Malaysia juga sudah cukup baik, seperti yang dilakukan oleh Datuk Harris Mohd. Salleh sang pemilik Balung River Plantation. Selain sebagai perkebunan yang tertata rapi yang juga dijadikan Eco Resort yang dilengkapi dengan fasilitas Agrowisata yang menarik, juga pabrik industri pengolahannya. Balung River Plantation ini berada di Negara Bagian Sabah (tetangga berbatasan dengan Kabupaten Nunukan) selain Aren dan pabrik pengolahannya, juga ditanami Kelapa Sawit, Pohon Jati, Buah Naga dan kebun Misai Kucing (Kumis Kucing), Mengkudu (Noni) dan pengolahannya. Kebun aneka komoditi dengan pabrik pengolahannya yang ditata rapi dan menarik menjadi obyek pariwisata (Agrowisata) akan menjadi nilai lebih yang dapat mendatangkan tambahan pendapatan. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah terciptanya pencitraan terhadap produk yang dihasilkan. Brand Image akan tercipta dan terjaga dengan konsep keterpaduan seperti di Balung River Plantation ini.
Balung Arenga Pinnata Syrup is all natural – no chemicals or preservatives are added. In conclusion, arenga pinnata consumption is a traditional and homeopathic remedy and shall ultimately revitalize the body. “We are having our own plantation over 5, 000 acres at Balung, Tawau, Sabah, Malaysia” kata Datuk Harris Mohd Salleh, pemilik Balung River Plantation atau juga dikenal dengan Kebun Rimau Sdn BHD.
http://www.borneoquest.com/BalungEco.htm
Apa yang sudah dilakukan oleh beberapa usahawan di atas bisa menjadi pelajaran bagi kita, seandainya kita ingin membina para petani Aren kita. Bagaimana kita menciptakan antar petani dalam suatu kawasan itu bersatu membentuk kelompok tani. Ini permulaan pembinaan yang sangat penting. Karena dengan membentuk kelompok kita bias mengatur kawasan hamparan ini lebih menarik, selain itu dalam mengelola hasil Nira dan yang lain dari Aren bias lebih efisien. Kalau produk dari kelompok ini dikelola dengan bagus, bisa berdaya saing, mempunyai nilai lebih, maka sebenarnya kita telah membangun citra produk.
Apalagi bila kita bisa mengelola kawasan perkebunan Aren milik kelompok tani ini menjadi suatu obyek yang memiliki citra baik yang pantas untuk dikunjungi sebagai tempat wisata alternatif. Kebun Aren dengan barisan tanaman yang tertata, para penyadap yang bekerja secara unik dengan keteraturan rutintasnya, dan para perajin gula Aren dengan kesibukannya di unit-unit pengolahan gula dengan tempat yang teratur rapi bersih dan baik penataannya. Ini bisa jadi tambahan pendapatan serta pencitraan akan merk dari produk yang dihasilkan bagi para pengelolanya.
Bagaimana menurut Anda, Bapak/ Ibu/ Saudara sekalian para pemerhati dan praktisi Aren?

MENUJU EFISIENSI BAHAN BAKAR INDUSTRI GULA AREN RAKYAT

Penulis : Ir. Dian Kusumanto, Minggu, 2008 September 21
Sudah agak lama saya mengendapkan pemikiran tentang kenapa industri gula Aren rakyat tidak begitu berkembang, bahkan terkesan semakin menurun dan ditinggalkan. Begitu juga pada saat mengulang kajian tentang kenapa Aren tidak berkembang seperti Kelapa Sawit. Rupanya hal ini barangkali saling berkaitan, saling berjalin berkelindan, seperti benang kusut.
Prospek produktifitas yang sangat potensial belum tercerahkan dengan benar, mungkin belum banyak yang terpanggil untuk turut mengurai benang kusut tadi. Beberapa hal yang cukup mengganggu sebenarnya secara teknologi relatif sangat gampang diatasi bahkan sudah ada solusinya. Yang saya maksud adalah banyaknya penggunaan bahan bakar untuk mengolah nira menjadi gula Aren.
Mari menghitung kebutuhan kayu bakar
Di beberapa daerah seperti di Sulawesi Selatan, misalnya rata-rata setiap keluarga mengelola antara 20-40 liter nira setiap hari. Nira sebanyak itu dimasak dalam suatu kuwali atau wajan besar yang dipanaskan di atas tungku dari tanah atau semen. Setiap kali pemasakan nira sampai menjadi gula memakan waktu sekitar 4-5 jam per proses. Dalam memasak nira menjadi gula para perajin ini terus menerus melakukan pengadukan, dengan maksud agar panasnya merata dan cairan panas cepat mengental.
Para perajin Gula Aren tradisional ini dalam setiap prosesnya bisa menghabiskan kayu bakar yang cukup banyak bisa mencapai antara 20-40 kg kayu bakar. Atau katakanlah antara nira yang dimasak dengan kayu bakar yang diperlukan berbanding 1 : 1, artinya untuk memasak setiap 1 liter nira sehingga menjadi gula memerlukan 1 kg kayu bakar. Rasio nira : kayu bakar dalam pemasakan gula ini tentu sangat bervariasi antara perajin satu dengan lainnya. Angka di atas untuk memudahkan cara kita menghitung atau membayangkan kebutuhan kayu bakarnya.
Maka bisa dibayangkan kalau setiap petani harus menyediakan kayu bakar 20-40 kg setiap hari, berarti sekitar 600-1.200 kg kayu bakar per bulan. Dalam satu tahun kebutuhan kayu bakar akan mencapai 7.200-14.400 kg kayu bakar per tahun per orang perajin.
Kalau dihitung dengan rasio nira : kayu bakar bisa lebih mudah untuk menghitung produksi dari suatu areal perkebunan aren. Jika setiap hektar dari kebun Aren dapat disadap nira 1000-2000 liter per hari, maka akan diperlukan kayu bakar antara 1-2 ton katu bakar per harinya atau 360 – 720 ton kayu bakar per tahun per hektar kebun Aren. Kalau satu truk dapat memuat kayu bakar sekitar 5 ton berarti diperlukan 72-144 truk kayu bakar per hektar per tahun. Nah…. itu baru 1 hektar, kalau 10 hektar, 100 hektar, 1000 hektar dan seterusnya. Waah……mungkin hutan kita akan menjadi gundul dalam waktu yang sangat cepat hanya untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar guna mengolah nira aren menjadi gula.
Dari gambaran tadi kita dapat menyimpulkan betapa beratnya beban lingkungan dan beban masyarakat petani dalam mengumpulkan kayu bakar, jika teknologi yang digunakan tidak hemat bahan bakar. Pola tradisional dalam memasak nira menjadi gula ini bisa menjadi faktor negatif dalam pengembangan Aren di tingkat masyarakat petani, ditingkat penyusun kebijakan dan di tingkat praktisi pembina di lapangan.
Inilah barangkali yang menjadi penghambat akan pengembangan Aren oleh petani tradisional kita. Petani menjadi agak sulit jika mengembangkan melebihi kemampuannya dalam mengadakan tenaga penyadap dan tenaga untuk memasak gula. Kalau sekiranya seluruh anggota keluarga sudah dikerahkan petani enggan atau masih belum berani memanggil tenaga dari luar sistem keluarganya. Oleh karena itulah kepemilikan pohon Aren masing-masing keluarga petani kita masih sangat rendah. Belum ada penelitian tentang berapa rata-rata kepemilikan pohon Aren masing-masing petani kita.
Di Nunukan Kalimantan Timur, di tempat penulis ini tinggal para petani sebenarnya memiliki lahan yang rata-rata sangat luas. Namun pohon Aren yang ditanam tidak terlalu banyak rata-ratanya sekitar 10-20 pohon per keluarga. Seperti juga yang diungkapkan oleh Pak Pawisa seorang mantan petani Aren dari Sulawesi Selatan yang sekarang menjadi petani sawah di Sei Jepun, Nunukan Selatan, dia mengatakan kalau petani memiliki 10 pohon Aren yang produktif saja sudah lumayan penghasilannya, sudah bisa mencukupi keluarganya. Kalau misalnya rata-rata mengeluarkan nira 10 liter per pohon berarti sudah ada 100 liter setiap harinya, berapa tenaga dari keluarganya yang dikerahkan untuk menyadap pohon sekaligus, memasak nira, mencari kayu bakar, dan seterusnya.
Oleh karena itu petani akan memilih alternatif yang paling gampang, tanpa harus repot mengolah atau memasak menjadi gula, yaitu menjualnya menjadi tuak manis. Sebenarnya di hati kecilnya petani tidak ingin menjadi sebab maraknya minuman keras tradisional ini. Apa boleh buat, karena tingkat kesulitannya yang tinggi untuk mencari kayu, memasak nira menjadi gula juga butuh tenaga yang cukup berat, maka terpaksa nira dijual saja karena toh sudah ada yang datang membelinya di kebun. Belum lagi keadaan sekarang mencari kayu sudah semakin sulit, semakin lama juga akan semakin jauh. Mengandalkan dari kebun sendiri juga tidak mungkin karena kebutuhan kayu bakarnya juga setiap hari, nanti lama kelamaan akan habis juga.
Petani Aren kita kebanyakan belum melembagakan diri dalam suatu kelompok tani Aren, hampir semuanya masih sangat tradisional dalam mengembangkan usaha tani Aren. Hal ini memang tidak pernah dirancang sebelumnya, sebab pohon Aren yang dikelolanya adalah warisan dari alam, tidak pernah terpikir menanam dengan pola perkebunan yang teratur dan dalam jumlah banyak. Syukur sekali kalau ada koperasi yang menghimpun petani Aren menampung Gulanya. Mungkin bisa dihitung dengan jari adanya koperasi yang menghimpun nira dari para petani, kemudian koperasi dengan kilangnya mengolah menjadi gula. Kalau ada yang demikian kesulitan-kesulitan petani dapat diatasi, yaaa.. meskipun petani hanya menerima pembayaran dari hasil nira saja.
Teknologi tungku hemat energi
Yang menjadi kendala besar bagi para petani Aren adalah teknologi yang masih sangat sederhana dalam mengolah nira menjadi Gula, sehingga berakibat pada :
  • kebutuhan bahan bakarnya tinggi
  • butuh tenaga yang banyak dan kuat
  • menyita waktu untuk mengerjakan yang lain
  • sumber bahan bakar semakin lama semakin sulit dan mahal
Dari sebab-sebab di atas menjadikan Aren sulit berkembang menjadi komoditi andalan keluarga tani, maka kemudian menyebabkan :
  • karena dikelola kebanyakan jauh dari rumah
  • produk hasil olahan mutunya, penampilannya belum standard
  • belum banyak kreasi produk olahan dari Aren
  • pasar produk gula Aren agak sulit berkembang pasarnya.
Teknologi tungku yang hemat energi, hemat kayu bakar diyakini akan dapat mengurangi tingkat kesulitan petani dalam mengolah nira menjadi gula. Pada industri gula kelapa rakyat di Banyuwangi Jawa Timur sudah dikenal model tungku koloni yang hemat energi kayu bakar. Satu tungku yang sangat panjang terdapat wajan atau kuwali sekitar antara 4,6,8 bahkan 10 sampai dengan 12 buah, tergantung dari berapa banyak jumlah nira kelapa yang disadap.
Penulis bersyukur sempat menjadi pedagang gula kelapa, sehingga masih ingat betul model tungkunya. Ingin rasanya mengulang nostalgia mengelilingi kebun-kebun kelapa rakyat untuk berburu gula kelapa. Kenapa berburu karena hampir tidak ada perajin gula kelapa yang terbebas dari para tengkulak atau juragan. Semuanya sudah punya hutang, sudah terikat kontrak menjual gula hanya kepada para tengkulak tersebut, berapapun harga pasaran ketika itu. Sehingga kalau pedagang baru ingin mendapatkan gula kelapa, yaa….. mesti bergerilya mencari perajin yang mau menjual gulanya kepada kita, meski dinaikkan sedikit dari harga yang diambil oleh tengkulak. Eh.. ngelantur…..
Adapun bentuk tungku yang diyakini dapat menghemat bahan bakar adalah sebagai berikut :
Model THE DK1
Keterangan gambar :
1. Tungku ini terdiri dari 4 kuwali atau 4 wajan yang disusun rapat sehingga tidak ada celah atau lubang sehingga api atau panas tungku keluar.
2. Cerobong asap ada di bagian paling belakang tungku dibuat meninggi dan bertutup di atas lubangnya namun masih ada celah bagi udara untuk keluar.
3. Di bagian depan tungku ada dua lubang, yang di bagian atas menjadi tempat masuknya bahan bakar yang dibuat dari susunan plat-plat besi baja atau besi beton supaya ada jalan bagi abu jika kayu sudah terbakar untuk turun ke bagian bawah. Lubang tungku bagian bawah digunakan untuk mengambil abu sisa pembakaran kayu, sehingga tidak menutupi perapian.
4. Tungku model ini sudah ada sejak dulu pada perajin-perajin gula kelapa di Kabupaten Banyuwangi, Blitar Jawa Timur. Bahkan jumlah kuwali dari setiap tungku bisa mencapai 10-12 buah, sehingga tungku ni kelihatan sangat panjang.
Dengan model tungku semacam ini energi panas menjadi sangat efisien tidak terbuang, karena memang tidak ada celah api atau panas keluar dari tungku, kecuali energi panas itu sudah melewati kuwali-kuwali yang berderet-deret, baru terbuang melewati cerobong yang berada di belakang tungku. Semakin lama api menyala di tungku, maka ruang udara di cerobong juga akan semakin panas, sehingga berat jenis udara mengembang mengakibatkan daya hisap yang semakin kuat agar udara (O2) yang segar masuk lewat lubang di bagian depan tungku. Karena kencangnya daya hisap udara panas ini bahkan menimbulkan suara yang bergemuruh, sehingga kita tidak perlu lagi untuk mengipasi api. Mengipasi api hanya pada saat pertama kali tungku akan dinyalakan, setelah tungku panas tidak diperlukan lagi, bahkan kita perlu mengurangi daya hisap udara panas itu dengan sedikit menutup celah lubang dengan bahan bakar yang ada.
Pemasakan nira yang utama adalah pada kuwali atau wajan yang pertama, karena panasnya yang langsung dari api bahan bakar, sedang kuwali yang nomor dua dan seterusnya memanfaatkan panas yang berlebih dari perapian pada kuwali petama. Kalau jumlah niranya masih banyak maka akan diisikan pada kuwali-kuwali selanjutnya, dengan harapan akan mendapat pemanasan yang lumayan sebelum mencapai pengadukan di kuwali pertama. Pengadukan dilakukan bisanya hanya dilakukan pada kuwali yang pertama tapi adakalanya kalau cukup panas pengadukan juga dilakukan sampai kuwali yang kedua.
Proses pembuatan gula dengan tungku model ini bisa menghemat waktu yang sangat banyak, apalagi kalau nira yang disadap cukup banyak. Kalau setiap kuwali itu bisa menampung sampai 20-40 liter, maka tinggal disesuaikan saja berapa hasil nira harian terbesar dengan berapa kuwali yang harus dipasang dalam tungku itu, atau bahkan berapa tungku yang harus dibuat.
Penghematan pemakaian kayu bakar juga akan sangat dirasakan, karena tungku ini sangat fleksibel dengan hasil produksi nira dari kebun. Atau bahkan kalau kurang kita bisa menampung atau membeli nira dari petani yang lain. Hampir tidak ada lagi kekhawatiran, kecemasan kelebihan produksi nira akan merepotkan kita. Sedikit atau banyaknya nira tidak menyebabkan perajin khawatir tidak sempat mengolahnya. Bahan bakar tungku ini tidak hanya kayu bakar, namun bisa juga menggunakan limbah gergajian kayu, tahi gergaji, sekam padi, limbah cangkang kelapa sawit, dan lain-lain.
Model dari THE (Tungku Hemat Energi) di atas dapat dikembangkan dengan beberapa pola, beberapa alternatif pola pengembangan tungku itu adalah sebagai berikut :
Model THE DK2
Keterangan gambar :
1. Tungku ini terdiri dari 1 kuwali utama dan 1 penampung nira berupa kuwali yang memanjang berbentuk separuh silinder.
2. Cerobong asap sama.
3. Di bagian depan tungku ada dua lubang, sama seperti model tungku terdahulu.
4. Model tungku kedua ini menggabungkan kuwali-kuwali nomor 2 dan seterusnya menjadi satu kuwali yang panjang, untuk meniadakan proses memindahkan nira dari kuwali satu menuju kuwali yang ada di depannya. Agar tenaga hanya terfokus pada kuwali yang pertama, sebab tingkat kekentalan yang tepat harus dikontrol dengan cermat supaya mutu gula yang dicetak nanti pas sesuai standard yang ditetapkan. Besarnya kapasitas kuwali kedua yang panjang ini tergantung dari kira-kira produksi nira maksimal yang dihasilkan oleh petani tersebut.
5. Yang agak sulit adalah mencari bentuk kuwali yang memanjang ini, kecuali jika memesannya pada bengkel. Kuwali panjang ini dapat juga dibuat dari drum yang dibelah separuh kemudian disambung-sambungkan sampai panjang yang dikehendaki. Kalau tinggi suatu drum sekitar 90 cm maka kalau 3 drum utuh yang dibelah menjadi enam bagian kuwali, maka jika disambung akan menjadi sekitar 5 meteran, yang bisa menampung sampai 500 liter nira.
Teknologi mempercepat olah nira menjadi gula
Mempercepat proses pengolahan nira ke gula adalah langkah taktis yang bisa mengurangi kebutuhan bahan bakar yang semakin langka dan semakin mahal. Kalau ingin industri rakyat gula Aren bisa bersaing dan tumbuh sebagai industri yang efisien maka langkah perbaikan teknologi dan manajemen pengolahan nira ke gula menjadi upaya utama yang sangat strategis.
Memahami bahan dasar yang berupa Nira yang rasanya manis tersebut menjadi penting. Nira sebenarnya air tanaman yang mengandung gula atau bahan yang manis. Untuk memperoleh gulanya kita harus mengurangi kandungan airnya dengan cara dipanaskan. Kenapa dipanaskan? Karena air akan menguap menjadi uap air yang melayang ke udara jika sudah mencapai suhu minimal 100 derajat Celcius. Semakin banyak air yang menguap semakin cepat juga cairan nira mengental, karena kandungan airnya semakin sedikit.
Sebenarnya selain panas yang mencapai diatas 100 derajat Celcius penguapan air menjadi uap air akan sangat dipengaruhi oleh luas permukaan penguapan. Jadi pada pengembangan teknologi mempercepat olah nira ke gula selain panas yang cukup juga didalam prosesnya dilakukan tidak sekedar mengaduk, tapi selain meratakan suhunya ke bahan nira, proses juga memperluas permukaan penguapan.
Upaya memperluas permukaan penguapan sambil terus dipanaskan secara merata ini merupakan dasar pengembangan tungku yang kedua. Ada beberapa alternatif model tungku, yaitu :
a. Model THE DK 3
Keterangan gambar :
1. Di bagian depan tungku ada dua lubang, sama seperti model tungku terdahulu
2. Cerobong asap sama.
3. Tungku ini terdiri dari 1 kuwali utama dan 1 penampung nira berupa kuwali yang memanjang berbentuk separuh silinder, ditambah unit yang mensirkulasi nira panas kemudian mengalirkan dari tangga-tangga nira dengan maksud agar luas permukaan penguapan bertambah. Dengan luas permukaan penguapan yang semakin luas air yang menguap semakin cepat, sehingga nira dapat semakin cepat mengental karena kandungan airnya cepat menguap ke udara. Kalau sudah cukup kental nira segera dipindah ke kuwali yang pertama untuk dilakukan pengadukan dan kemudian kalau sudah cukup derajat kekentalannya kemudian diambil untuk pencetakan menjadi gula cetak atau gula semut.
4. Yang agak sulit adalah mencari unit yang bisa mensirkulasi air nira panas, selain memerlukan bantuan pompa juga mengatur tangga-tangga penipisan aliran untuk memperluas permukaan air nira panas sehingga uap air yang panas terpisah dari nira. Kapasitas kuwali sirkulasi ini mampu menampung sampai 500 liter nira atau dapat disesuaikan tergantung dari kebutuhannya.
b. Model THE DK4
Keterangan gambar :
1. Di bagian depan tungku ada dua lubang, sama seperti model tungku terdahulu
2. Cerobong asap sama.
3. Tungku ini terdiri dari 1 kuwali besar, ditambah unit yang mensirkulasi nira panas kemudian mengalirkan dari tangga-tangga nira yang berbentuk lingkaran-lingkaran yang kecil di bagian atas kemudian semakin besar di bagian bawahnya, dengan maksud agar luas permukaan penguapan bertambah. Dengan luas permukaan penguapan yang semakin luas uap air panas yang menguap semakin cepat, sehingga nira dapat semakin cepat mengental karena kandungan airnya cepat menguap ke udara. Kalau sudah cukup kental nira segera dipindah untuk dilakukan pengadukan dan kemudian kalau sudah cukup derajat kekentalannya kemudian diambil untuk pencetakan menjadi gula cetak atau gula semut.
4. Yang agak sulit adalah mencari unit yang bisa mensirkulasi air nira panas, selain memerlukan bantuan pompa juga mengatur tangga-tangga penipisan aliran untuk memperluas permukaan air nira panas sehingga uap air yang panas terpisah dari nira. Kapasitas kuwali sirkulasi ini mampu menampung sampai 500 liter nira atau dapat disesuaikan tergantung dari kebutuhannya.
Teknologi prosesing gula sistem kontinyu
Teknologi ini adalah perbaikan dari model pengolahan yang berbasis tungku seperti di atas. Sebenarnya prinsip yang digunakan adalah sama yaitu pemanasan, sirkulasi dan permukaan penguapan yang diperluas. Namun pada teknologi THE di atas sistem pengolahan nira menjadi gula adalah sistem terputus atau batch. Kelemahan sistem terputus ini energi yang diperlukan untuk satu siklus pengolahan relatif sama meskipun bahan baku yang diolah hanya separuhnya. Padahal pada masa-masa tertentu kdang terjadi lonjakan produksi nira yang kadang berflukuasi. Sistem terputus menjadi kurang fleksibel dan dianggap masih relatif kurang efisien, meskipun sudah sangat efisien jika dibanding dengan sistem tradisional yang selama ini dianut oleh para perajin gula Aren tradisional.
Teknologi ini mengadopsi sistem spray dryer pada pembuatan susu bubuk atau pembuatan tepung santan. Semula nira ditampung dalam wadah penampungan yang cukup besar, dalam penampungan ini nira sudah mendapatkan perlakuan pemanasan awal. Oleh karenanya penampung nira ini dibuat dari plat logam dengan bahan yang anti karat, juga sudah dilengkai dengan sistem pemanasan.
Selanjutnya dengan bantuan pompa, nira dialirkan melalui pipa stainless still berbentuk spiral. Pipa spiral yang sangat panjang ini dipanaskan di dalam ruang pemanasan yang tinggi, dengan maksud agar nira yang mengalir di dalam pipa spiral ini terekspose oleh panas yang sangat tinggi sehingga begitu keluar suhu nira ini sudah mampu meguapkan air yang dikandung dalam pipa spiral ini. Dengan bantuan pompa maka air yang sudah cukup panas keluar dari pipa spiral kemudian disemprotkan dengan semprotan yang sangat halus yang diatur dengan suatu nozel di ujung pipa spiral, dan disemprotkan mengarah ke bawah dari posisi di atas wadah penampung.
Penyemprotan halus ini dimaksud agar semakin memperluas permukaan penguapan dari air yang terkandung dalam nira. Dengan kondisi yang panas dan partikel nira yang halus air akan menguap meninggalkan nira, sehingga kandungan air pada nira dengan drastis dapat berkurang. Dengan demikian semprotan nira tinggal menyisakan nira yang sudah hampir menjadi serbuk gula.
Proses ini dapat disesuaikan dengan produk yang dikehendaki, maksudnya jika hanya berupa sirup gula maka tingkat kekentalannya diatur dengan pengaturan pada kecepatan semprot atau nozel. Demikian juga jika dikehendaki untuk pembentukan serbuk gula yang cukup halus pengaturan-pengaturan tingkat panas, kecepatan semprot, ukuran nozel semprot, dan lainnya akan ditentukan sesuai pengalaman dan uji coba.
Gambar skema sistem prosesing gula dengan sistem kontinyu dengan pemanasan tekanan dan penyemprotan halus (spray dryer) ini sebagai berikut :
Dengan penerapan teknologi seperti di atas maka diharapkan gairah untuk pengembangan industri gula aren rakyat dapat kembali marak. Dengan demikian penanaman pohon aren secara besar-besanan dengan pola perkebunan pun tidak akan khawatir lagi dengan kesulitan-kesulitan pengolahan niranya. Usaha penampungan kemudian pemrosesan nira dengan menggunakan teknologi semacam di atas tadi akan semakin menggairahkan petani. Dengan demikian semakin dekatlah kita dengan cita-cita berjaya kembalinya Aren di Indonesia. Bravo Aren Indonesia !!
(Oleh : Dian Kusumanto)

MERANCANG PERKEBUNAN AREN YANG HEMAT TENAGA KERJA PENYADAPAN NIRA

Oleh : Dian Kusumanto
Pada tulisan terdahulu penulis pernah menghitung proyeksi kebutuhan tenaga kebun yang akan diperlukan pada saat tanaman sudah menghasilkan. Tenaga yang paling banyak diperlukan adalah tenaga penyadap, yang setiap hari harus naik turun pohon untuk memukuli pohon, untuk mengiris tandan yang mulai mengeluarkan nira, untuk memperbaiki irisan sadapan, memasang pipa dan tempat penampungan nira, dll.
Pengalaman KSU Sukajaya di Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Jawa Barat, setiap petani penyadap rata-rata mampu menangani 20 pohon per orang per hari. Jadi kalau ada 100 pohon yang sedang menghasilkan atau sedang diperlakukan dalam setiap hektarnya, maka diperlukan sekitar 5 orang per hektar. Bisa dibayangkan berapa kebutuhan tenaga penyadap kalau luas lahan perkebunannya berpuluh-puluh, beratus-ratus bahkan ribuan hektar. Kalau 10 hektar akan diperlukan sekitar 50 orang penyadap, kalau 100 hektar kebun Aren akan memerlukan 500 orang penyadap dan seterusnya kalau 1000 hektar akan memerlukan sekitar 5000 orang tenaga penyadap.
Pekerjaan yang paling banyak memerlukan tenaga adalah penyadapan, dimana pekerja sadap ini harus memanjat pohon setiap pagi dan sore, naik dan turun. Kalau digambarkan dengan sketsa sebagai berikut :
Dengan pola pemanjatan seperti ini berarti penyadap harus melakukan pemanjatan naik sebanyak 2 kali dan turun sebanyak 2 kali, jadi jumlahnya naik atau turun sebanyak 4 kali untuk setiap pohon yang disadap setiap harinya. Kalau dalam satu pekerja memanjat 20 pohon berarti setiap ada 80 kali naik atau turun pohon. Oleh karena itu para penyadap disyaratkan mempunyai keterampilan memanjat, oleh karenanya perlu dilatih teknik memanjat pohon yang cepat, yang aman dan nyaman.
Hitungan frekuensi pemanjatan akan terlihat sangat banyak bila dihitung pada skala luas lahan yang berkektar-hektar. Jika dalam setiap hektar ada rata-rata 100 pohon yang dipanjat berarti ada 400 kali panjat per hektarnya (naik dan turun). Kalau kebun yang dimiliki ada 10 pohon berarti dalam setiap hari akan ada 4000 kali panjatan. Kalau 100 hektar ada 40.000 kali panjatan setiap harinya. Ini pekerjaan yang rutin yang bisa saja sangat membosankan jika tidak ada motivasi yang tinggi bagi para pekerja panjat ini. Anggaplah ini sistem panjat ’Pola Pertama’.
Maka perlu dirancang untuk mengurangi frekuensi pemanjatan dengan cara membuat tangga atau jembatan antar pohon yang berdekatan (Pola Kedua). Sehingga sekali pemanjat naik kemudian setelah dia menyelesaikan pekerjaan di pohon pertama, tanpa turun lagi menyeberang dengan melalui tangga atau jembatan menuju ke pohon di sebelahnya. Dengan demikian frekuensi pemanjatan dapat dikurangi sangat banyak. Frekuensi pemanjatan naik dan turun sedikit sekali namun frekuensi menyeberang dari pohon satu ke yang lain lebih banyak. Gambarannya sebagai berikut :
Kalau pada pola pertama setiap pohon setiap harinya pagi dan sore memerlukan 4 kali panjat naik-turun, kalau 100 pohon pemanjat akan melakukan 400 kali panjatan naik turun. Sedangkan dengan pola kedua dari seratus pohon pemanjat akan melakukan 2 kali panjat naik, 2×99 kali menyeberang dan 2 kali panjat turun, atau totalnya ada 202 kali panjat naik-menyeberang-turun.
Pola Pertama : (2 kali panjat naik + 2 kali panjat turun) x jumlah pohon
Pola Kedua : 2 kali panjat naik + (1 menyeberang x jumlah pohon -1) + 2 kali panjat turun
Dengan perhitungan jumlah pohon 100 pohon saja, pola pertama perlu 400 kali panjat naik-turun sedangkan pola kedua hanya 202 kali panjat naik-menyeberag-turun. Ada selisih sebesar 400 – 202 = 198, atau hampir separuhnya. Kalau dihitung efesiensi kerjanya dengan frekuensi panjatan tinggal separuhnya, maka akan terjadi penghematan tenaga yang luar biasa. Belum lagi kalau dihitung perbandingan kecepatan panjat antara naik : menyeberang : turun, perhitungan tadi akan berubah.
Kalau dihitung dari energi yang dibutuhkan, tingkat kesulitan dan waktunya, maka panjat naik memerlukan energi, waktu dan tingkat kesulitan yang paling tinggi. Sedangkan panjat turun memerlukan energi dan waktu yang lebih sedikit. Dibandingkan panjat naik dan panjat turun maka ’menyeberang’ memerlukan energi dan waktu yang lebih sedikit atau yang paling sedikit, dengan tingkat kesulitan yang relatif lebih kecil. Dengan pertimbangan tadi maka pola kedua diperkirakan akan memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih hemat, bahkan lebih dari 50 %. Angka kisaran penghematan tenaga diperkirakan sekitar 65-70% bila menggunakan pola yang kedua.
Perlu diketahui, bahwa hitungan di atas belum memperhitungkan waktu dan tingkat kesulitan ’Pola Pertama’ pada saat para penyadap melakukan pekerjaan rutin pada saat di atas pohon. Pekerjaan-pekerjaan di atas pohon antara lain mengambil nira dari wadah pertama, mengatur wadah tempat nira yang baru, mengiris sadapan baru dan membersihkannya, kemudian memasang kembali agar lubang wadah yang baru pas dengan tandan yang mengeluarkan nira kemudian menutupnya dengan plastik atau penutup lainnya, selanjutnya mengatur dan membawa turun wadah yang berisi nira hasil sadapan itu turun sampai di tempat yang aman. Ini kita sebut penampungan nira di atas atau menempel dengan tandan sadap.
Untuk tanaman yang sementara masih disiapkan menjelang produksi pekerjaan yang rutin dilakukan antara lain adalah : membersihkan penutup-penutup yang menyelimuti batang dan tandan bunga. Kalau sudah waktunya memberi perlakuan pada tandan untukmerangsang keluarnya nira, seperti pukulan-pukulan ringan yang bertubi-tubi secara teratur dan lembut. Pekerjaan ini perlu kesabaran dan perasaan yang ’halus’, sebab kalau irama pukulannya tidak tepat malah menyebabkan tandan tidak bisa mengeluarkan nira. Pekerjaan-pekerjaan ini memerlukan waktu yang cukup banyak dengan ketrampilan yang memadai.
Di beberapa tempat ada upaya penyadap yang lebih kreatif, yaitu meletakkan penampung nira itu di bawah, jauh dengan tandan yang disadap. Caranya adalah dengan memasang selang plastik atau plastik roll yang panjang mulai dari tandan yang mengeluarkan nira hingga ke mulut wadah penampung yang berada di bawah. Dengan cara ini penyadap tidak lagi susah-susah membawa wadah yang berisi nira dari atas turun ke bawah, sehingga resiko tumpah pun bisa dihindari.
Dengan cara terakhir ini penyadap hanya terfokus pada pekerjaan di atas pohon, sedang wadah yang ada di bawah tadi diurusi oleh pekerja lain yang khusus melakukan pemungutan nira dari pohon satu ke pohon lainnya, tapi dilakukan di bawah saja dan tidak perlu memanjat. Cara ini akan jauh lebih cepat, lebih efisien, lebih dapat mengontrol kebersihan hasil sadapan nira, lebih mengurangi resiko tumpah, dan lebih aman bagi para pekerja panjat.
Dengan kombinasi cara pengumpulan wadah nira cukup di bawah dan dengan pola panjat kedua yang menggunakan tangga atau jembatan di atas pohon, maka jumlah tenaga kerja penyadap dan pengumpul hasil sadap dapat diminimalkan. Kalau proyeksi pertama di perlukan sekitar 5 orang per hektar, maka dengan kombinasi cara tersebut dapat diminimalkan menjadi hanya 2 orang per hektar, bahkan bisa berkurang lagi. Semakin lama tentunya pekerja kebun tersebut semakin trampil, dengan demikian akan semakin menghemat jumlah tenaga kerjanya.
Macam-macam model tangga dan jembatan dari bambu
Keterangan Gambar :
(1) Tangga Cuplak Ros, untuk panjat naik dan turun,
(2) Tangga Tusuk Tunggal, untuk panjat naik dan turun,
(3) Tangga Tusuk Dua, untuk panjat naik turun dan jembatan menyeberang,
(4) Tangga Ikat Dua, untuk panjat naik turun dan jembatan menyeberang.
By kebun aren Nunukan; Sabtu, Agustus 23, 2008

SIFAT AREN DAN KIAT KEBUN PRODUKTIF

MEMAHAMI SIFAT-SIFAT BIOLOGIS DAN AGRONOMIS TANAMAN AREN DALAM MEMBANGUN PERKEBUNAN AREN AGAR BERPRODUKSI TINGGI
Oleh : Dian Kusumanto
Untuk memulai membahas apa saja yang perlu kita perhatikan dalam membangun perkebunan Aren, sengaja saya bahas secara tidak sistematis. Saya hanya akan pilih beberapa aspek saja secara terpisah namun dalam pembahasannya bisa saja saling terkait. Maklum ini bukan thesis atau skripsi ilmiah. Namun tulisan ini bersifat refleksi pemikiran atau ide pinggir jalan dari seorang praktisi, bukan akademisi apalagi seorang peneliti.
Tulisan ini barangkali muncul sebagai jawaban atau tanggapan atas beberapa pertanyaan yang muncul dari para pemerhati Aren yang kerap menyapa lewat email atau telpon penulis. Mudahan bisa jadi bahan pemikiran kita lebih lanjut lagi, karena pada situasi yang berbeda pada era awal pengembangan Aren ini segala sesuatunya belumlah established, masih masa premordia atau bahkan tahap deferensiasial.
Aren adalah tanaman tahunan yang mana masa perkembangannya masih belum terlalu jelas. Berapa lama bibit harus disiapkan, kemudian masa bibit ditanam sampai masa awal berproduksi, seterusnya berapa lama masa panen atau produksinya. Selama ini belum ada angka-angka pasti, masih sangat relatif. Berbagai pengalaman petani dan ’pekebun’ masih sangat bervariasi. Inilah yang menjadi hambatan bagi para investor atau para penyusun feasibility study atau proposal untuk membangun perkebunan atau program Aren baik bagi perusahaan besar atau program pemerintah.
Hal tersebut diatas sepertinya disebabkan karena penelitian-penelitian tentang Aren belum terstruktur secara sistematis, apa yang hendak dicapai atau diinginkan dari sang Aren ini. Pada masa yang lalu kemanfaatannya saja belum banyak diketahui, prospeknya juga belum banyak disingkap. Akhirnya kita semua masih belum menghiraukan Aren ini untuk menjadi bahan kajian, bahan penelitian dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah bangsa ini.
Setelah prospeknya kita ketahui, kemudian kita berencana untuk mengembangkannya, maka kemudian ada pertanyaan yang muncul, dari mana kita mulai ? Saya kemudian memulainya dari pertanyaan seputar Aren yang paling sering muncul, yaitu tentang umur masa-masa perkembangan Aren.
Umur bibit Aren siap tanam
Berapa umur bibit Aren sehingga siap ditanam? Selama ini para ’pekebun’ Aren menanam dari bibit yang tumbuh secara alami di bawah pohon yang sudah tua. Bibit anakan liar kemudian diangkat dan ditanam langsung pada lahan yang dikehendaki, atau ditanam dulu di polibag sehingga hidup dan agak besar, kemudian baru ditanam. Kriteria besarnya bibit yang siap ditanam juga masih variatif. Dari beberapa pengalaman yang ada dan pertimbangan secara agronomis, bibit dikatakan siap jika : memiliki daun asli minimal 3-4 helai, tinggi bibit mencapai minimal sekitar 40-60 cm, perakaran bibit sudah cukup banyak.
Keadaan bibit seperti ini diharapkan sudah memiliki bekal untuk tumbuh dan berkembang di tempat yang baru, artinya akar siap untuk menyesuaikan dengan kondisi tanah yang baru, daun sudah mencukupi untuk menangkap energi matahari, atau bahkan sudah cukup tinggi sebagai petunjuk atau penanda ada kehidupan baru pada lahan baru tersebut, sehingga tidak terganggu keberadaannya oleh kegiatan yang lain.
Pada kondisi yang standard untuk tumbuh dan berkebangnya bibit tanaman Aren, penyiapan bibit ini memerlukan waktu sekitar 8-10 bulan dari masa perkecambahannya. Sedang masa perkecambahan dari biji pada perlakuan yang standard memerlukan waktu sekitar 2-4 minggu. Yang menjadi pertanyaan kita adalah apa dan bagaimana perlakuan standard dari biji hingga berkecambah dan bibit siap tanam. Petunjuk atau SOP (Standar Operasional Prosedur) ini masih belum baku, masih bervariasi tergantung dari pengalaman masing-masing praktisi, yang sebagiannya mungkin masih dirahasiakan. Rahasia perusahaan ini dapat dimaklumi karena biaya yang dikeluarkan pada masa penelitian dan uji coba cukup tinggi.
Oleh karena hal-hal di atas tadi maka pada langkah awal pengembangan Aren untuk berbagai tujuan pengembangannya harus dimulai dari aspek pembibitan dan pencarian bibit unggul. Aspek keunggulan yang diinginkan tentu sangat bervariasi, apakah dari pertimbangan produksi niranya yang unggul atau produknya yang lain. Keunggulan yang lain bisa jadi dari kecepatan masa produksi awalnya, yaitu sifat genjah atau umur mulai produksinya yang pendek sehingga pekebun lebih cepat dapat menikmati hasilnya sekaligus mengurangi biaya-biaya investasi dan operasional pemeliharaan jika umur mulai produksinya terlalu lama.
Jenis atau varietas dan umur produktif Aren
Sebenarnya yang kita inginkan adalah umur produksi yang pendek atau genjah namun produktifitas yang tinggi dan lama. Namun keinginan itu agak sulit dipenuhi, sebab pola kehidupan Aren yang ’basipetal’ itu. Aren akan tumbuh secara vegetatif dulu secara maksimal, baru kemudian tumbuh untuk seterusnya secara generatf. Masa vegetatif terpisah dengan masa generatif, artinya masa generatif baru akan berlangsung setelah masa vegetatifnya maksimal. Tidak seperti tanaman yang lain, yang berselang seling antara masa pertumbuhan vegetatif, kemudian masa generatif, kembali fegetatif lagi kemudian generatif lagi, yang berselang seling dan berulang-ulang. Pada tanaman Aren ini tidak terjadi, yaitu tidak ada masa dimana setelah masa generatif kemudian berulang lagi pertumbuhan vegetatifnya, mulai membentuk tunas daun baru lagi, itu tidak terjadi lagi.
Jadi pada saat pohon Aren mengeluarkan bunga betina atau bunga jantan, berarti pertumbuhan vegetati sudah selesai atau maksimal. Tidak ada lagi pertumbuhan daun baru, perkembangan dan pembesaran batang tidak ada lagi, secara vegetatif semua sudah final atau maksimal. Jumlah daun tidak akan bertambah lagi, malah semakin menurun atau berkurang sesuai umurnya atau berkurang karena dipotong untuk memudahkan panen dan pengambilan hasil dari pohon Aren.
Oleh karena itu dengan sifat yang demikian, kalau Aren itu berumur genjah maka masa produksi juga tidak akan lama karena postur vegetatifnya. Produksi nira Aren dapat dihitung dari jumlah tandan bunga yang muncul. Munculnya tandan bunga ini adalah proses pertumbuhan generatif. Tandan bunga akan muncul dari ketiak atas dari pelepah daun. Setiap ketiak pelepah daun ada bakal calon tandan bunga yang akan muncul, namun tidak semua bakal calon tandan ini tumbuh, sebagian akan ’dorman’ karena kondisi tertentu. Ini artinya adalah banyaknya tandan yang akan diproduksi pohon Aren itu sebanding dengan jumlah daun yang dibentuk dan sebanding juga dengan kondisi pohon Aren tersebut.
Ini adalah pohon Aren Genjah yang sudah mengeluarkan tandan bunga (atau mulai fase generatif dan mengakhiri masa vegetatif) pada umur yang masih muda sekitar 4 tahun dengan ketinggian batang sekitar 3-4 meter. Ketinggian batang adalah ujung batang tertinggi dimana daun paling muda tumbuh, diukur dari permukaan tanah.
Kalau pohon Aren genjah pada umur tanaman sekitar 4 tahun dengan ketinggian sekitar 3-4 meter sudah mulai mengeluarkan tandan bunga. Artinya fase generatif dimulai dan mengakhiri masa vegetatifnya. Dengan umur yang genjah atau pendek, jumlah daun yang dibentuk juga lebih sedikit, jumlah tandan yang akan muncul juga lebih sedikit, umur atau lamanya masa berproduksi juga pendek. Namun mengenai jumlah produksi dari setiap pohon setiap harinya bisa sama dengan pohon yang tidak genjah.
Umur tanaman sebenarnya bisa dihitung dari jumlah daun yang muncul dibagi dengan berapa ’frekuensi” kemunculan daun dalam periode waktu tertentu. Daun Aren yang tumbuh dari pohon Aren muncul sekitar 4-6 daun per tahun, namun bisa saja ini bervariasi tergantung dari varietas genetis pohon, tingkat kesehatan pohon dan kondisi tanah serta agroklimatnya. Sedang frekuensi kemunculan daun bervariasi tergantung dari laju pertumbuhan tanaman yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah dan agroklimat setempat.
Oleh karena itu banyak para calon pekebun Aren ini yang sangat optimis dengan komoditi Aren di masa yang akan datang. Sebab dengan kondisi pertanaman yang ada sekarang yang tanpa pemeliharaan yang memadai dan hanya dieksploitasi saja hasilnya sudah sangat membantu para pekebun. Pemeliharaan yang memadai dan terprogram tentu akan sangat mampu mendongkrak lebih tinggi lagi produktifitas tanaman Aren ini. Perencanaan kebun, pengelolaan yang cukup serta pemeliharaan yang memadai dipastikan akan dapat mengangkat produktifitas yang lebih besar.
Jumlah daun dan produktifitas nira
Ada perilaku petani Aren yang termasuk kontra produktif dengan produktifitas nira, antara lain, petani seolah tidak ada beban untuk memotong daun dengan alasan kemudahannya untuk menyadap atau untuk keperluan memudahkan pemanjatan agar tidak terhalang. Padahal dengan berkurangnya daun berarti berkurang juga aktifitas fotosintesa, maka sebenarnya akan berakibat berkurang juga hasil asimilatnya yang antara lain berupa nira. Maka memotong atau mengurangi daun yang masih hijau dan segar berakibat dapat mengurangi produktifitas nira. Hal ini yaitu mengurangi daun yang produktif haruslah dihindari.
Dari pengamatan di lapangan memang terbukti, bahwa semakin banyak jumlah daun yang ada pada pohon Aren maka semakin banyak juga nira yang bisa disadap. Semakin sedikit jumlah daun yang produktif pada pohon Aren, maka makin sedikit juga perolehan niranya. Maka jumlah daun yang produktif sangat berkorelasi dengan hasil sadapan nira yang diperoleh. Di bawah ini ada dua gambaran, yaitu pohon dengan jumlah daun yang masih banyak dan pohon yang jumlah daunnya sedikit.
Foto sebelah atas adalah pohon Aren yang berdaun lebat dan mengahasilkan nira setiap hari rata-rata antara 20-40 liter per pohon. Sedangkan foto di bawahnya adalah pohon Aren yang jumlah daunnya tinggal sedikit karena telah banyak dipotong untuk memudahkan pemanjatan dan penyadapan, pohon ini hanya menghasilan nira antara 7-10 liter per hari per pohonnya.
Daun yang masih produktif dan sehat adalah daun yang mampu berfotosintesis dengan baik, sehingga mampu memanfaatkan sinar matahari dan zat hara tanaman untuk menghasilkan asimilat hasil fotosintesa. Daun yang sehat dan produktif biasanya terlihat berwarna hijau segar bersih dan mengkilat, tidak terhalang oleh dedaunan atau vegetasi lainnya, tidak terlihat kotor dan berdebu, tidak terlihat kering dan kusam serta berjamur. Dengan kondisi dedaunan Aren yang bersih, sehat, mengkilat, hijau segar, dalam jumlah cukup banyak akan dapat diharapkan hasil nira yang memuaskan bagi para pekebun. Oleh karena itu pemeliharaan dengan memperhatikan aspek kesehatan dan kecukupan daun ini akan menjadi perhatian utama dalam manajemen pemeliharaan kebun Aren.
Apa saja perlakuan yang harus diberikan agar kondisi kesehatan dedaunan Aren ini seperti yang diharapkan? Bagaimana pola budidaya yang memngkinkan kondisi pertanaman akan menghasilkan nira yang memuaskan? Mudah-mudahan pada uraian yang akan datang penulis dapat memaparkan lebih rinci lagi.
By kebun aren Nunukan; Kamis, Agustus 14, 2008
0 komentar
Selasa, 2008 Juli 08

Membangun Kebun Aren Skala Usaha Ekonomis (1)

Ini keadaan kebun Aren yang lama tidak diurus oleh pemiliknya. Kebun ini luasnya ada sekitar 2 hektar, ditanam Aren sejak tahun 1984 s/d 1996. Keadaan sekarang sudah ada beberapa pohon yang mati, sebagian besar masih bisa produksi lagi. Rehabilitasi kebun memang harus dilakukan agar bisa diambil manfaatnya. Rehabilitasi kebun yang dilakukan antara lain, pembersihan kebun dari rumput-rumput, semak-semak, perdu-perdu atau pohon-pohon yang tidak dikendaki. Selanjutnya pembersihan secukupnya pada pohon-pohon Aren yang ditumbuhi tanaman sejenis pakis-pakisan yang menempel di sekujur batangnya. Selain itu batang pohon Aren yang lama tidak diurus ini kesulitan mengeluarkan calon-calon tandan bunganya sebab terhalang oleh serabut ijuk dan pelepah yang masih menyelimutinya.
Ini adalah pewaris kebun Aren 2 ha, namanya Pak Ir. Supriyanto HP, beliau sekarang menjabat Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nunukan. Beliau ini mengajak penulis untuk menjenguk kebun Aren yang lama tidak diurus. Beliau berencana merehabilitasi kebun tersebut. Setelah dihitung ada sekitar 30-40 pohon yang bisa dikelola dan diambil niranya. Melihat postur pohonnya diperkirakan masih bisa diusahakan dengan hasil yang cukup bagus. Kalau setiap pohon bisa disadap sekitar 10 liter setiap hari maka akan terkumpul 300-400 liter setiap hari. Kalau niranya diolah menjadi gula merah akan dihasilkan setiap harinya sekitar 30-45 kg gula merah. Wah… lumayan juga. Maka paling tidak harus dijaga atau dipelihara 2-3 orang yang terampil dalam mengelola kebun, memperlakukan pohon Aren hingga menghasilkan nira dan mengolahnya menjadi gula.
Membangun Kebun Aren Skala Usaha Ekonomis
Aren memang sangat berprospek untuk diusahakan. Namun berapa pohon yang harus ditanam? Bagaimana pengelolaannya bila berskala ekonomis? Hal ini perlu dikaji lebih jauh. Referensi yang ada masih sangat terbatas, oleh karena itu asumsi-asumsi yang dipakai adalah sepotong-sepotong dari beberapa pengalaman petani dan keadaan yang ada di lapangan yang masih sangat variatif dari berbagai daerah di Indonesia.
Usaha dengan komoditi apa saja biasanya diukur dari harapan pangsa pasar yang akan dibidik. Jenis produk yang dihasilkan juga disesuaikan dengan kebutuhan yang sedang diperlukan atau yang akan diperlukan pada masa yang akan datang. Kenyataan riil yang ada dan arah trend yang akan terjadi biasanya menjadi kriteria kita untuk menetapkan jenis dan skala usaha yang akan dibangun.
Keadaan Kekinian Usaha Komoditi Aren
Komoditi Aren yang ada sekarang ini pada umumnya masih dengan skala yang kecil-kecil. Pohon-pohon Aren yang ada sekarang ini pada umumnya tidak ditanam secara terencana, oleh karena itu sebarannya tidak teratur, lokasi penanamannya pada umumnya tidak strategis dan jauh dari pemukiman, jarak penanamannya tidak teratur ada yang rapat dan campur dengan berbagai jenis pohon lainnya, upaya-upaya pemeliharaan intensif tidak dilakukan. Namun demikian pohon Aren dieksploitasi sedemikian rupa untuk diambil manfaat sebesar-besarnya, mulai dari nira, kolang-kaling, ijuk, lidi, batang, dll.
Selama ini antara rencana kebun dan rencana pengolahannya tidak seiring. Petani dan pekebun menanam saja tanpa disetting berapa rencana yang akan diproduksi nanti, pokoknya petani menanam saja, hasilnya apa kata nanti. Sikap ini terjadi karena belum banyak pengetahuan tentang Aren dan prospeknya, yang diketahui adalah hasilnya nanti lumayan dari pada lahan kosong. Namun berapa yang akan diperoleh kalau menanam sekian, mereka belum banyak yang paham.
Pada umumnya Tanaman Aren ditanam untuk dimanfaatkan niranya. Pemanfaatan nira bertujuan antara lain untuk dikonsumsi langsung sebagai minuman yang menyegarkan, untuk diolah menjadi tuak atau cap tikus, atau untuk diolah menjadi Gula. Secara tradisional nira aren dimanfaatkan sebagai minuman manis dan segar yang dipercaya cukup berkhasiat mengobati beberapa penyakit tertentu. Beberapa penyakit seperti gejala ginjal atau penyakit yang berhubungan dengan saluran kencing (deuretic) dianjurkan untuk meminum nira aren segar dan manis setiap pagi untuk upaya pengobatannya.
Agar nira Aren tidak segera berubah menjadi masam atau pahit karena terjadi proses fermentasi atau proses enzimatis lainnya sehingga berubah rasa dan warna, maka ada beberapa upaya yang secara tradisional biasa dilakukan para penyadap. Cara pertama untuk mencegah nira menjadi masam atau kecut adalah dengan memasukkan dalam wadah penampung nira dengan kulit kayu tertentu seperti kulit kayu langsat, kulit buah langsat, kulit pohon ketapi, dan lain-lain. Ada juga petani yang memasukkan daun pandan dengan harapan agar niranya beraroma pandan sehingga lebih unik rasanya.
Menghentikan proses enzimatis dari nira Aren bisa juga dilakukan dengan pemanasan sampai suhu sekitar 80 derajat Celcius selama minimal 30 menit. Pada suhu tersebut aktivitas enzimatis dapat dihentikan, sehingga nira aren akan tetap terasa manis dan tidak berubah menjadi masam atau pahit. Dengan keadaan ini nira manis ini bisa bertahan lebih lama dan tidak mengalami perubahan, seandainya diproses ulang untuk menjadi gula ditempat lain yang pengangkutannya butuh waktu agak lama, nira masih baik.
Pengolahan menjadi gula yang berkualitas bagus tentu memerlukan sarana prasarana yang memadai, cara pengelolaan yang baik dan hiegenis. Nira yang berasal dari para penyadap atau dari kebun Aren biasanya masih agak kotor, buktinya pada saat diolah menjadi gula dan gula diseduh dengan air hangat, masih ada sisa endapan. Sisa endapan yang agak mengganggu ini biasanya adalah serpihan-serpihan irisan tandan atau kotoran lain dari kebun.
Sebaiknya para penyadap ini melakukan penyaringan dulu sebelum nira diolah menjadi gula. Bisa juga penyaringan dilakukan oleh pengrajin atau pabrik yang akan mengelola nira menjadi gula. Kebersihan adalah syarat pertama agar mutu gula dapat diterima dan dijual secara komersial. Jangan ada partikel-partikel lain selain air nira yang ikut masuk ke wadah atau ikut pada proses selanjutnya. Jadi nira harus betul-betul bersih.
Merancang luas kebun, kapasitas pabrik dan tujuan pasar
Usaha pengolahan air nira Aren menjadi gula harus didukung oleh produksi nira yang cukup. Maka skala produksi gula harus didukung oleh sejumlah pohon yang produktif dan sejumlah petani yang siap melakukan penyadapan setiap hari. Rendemen gula yang terkandung dalam nira bervariasi tergantung dari keadaan iklim, namun ada kisaran rata-rata yang bisa dijadikan patokan. Untuk dijadikan gula merah rendemennya mencapai sekitar 10-14 %, artinya kalau kita mengelola 100 liter nira Aren akan dapat dijadikan gula sebanyak 10-14 kg.
Kalau unit pengelolaan (Pabrik) gula Aren ini berkapasitas 1.000 kg per hari, maka diperlukan nira Aren sekitar 1.000 kg/hari : 10% kg/liter = 10.000 liter/hari. Atau dengan hitungan tinggi yaitu 1.000 kg/hari: 14% kg/liter = 7.142 liter/hari. Artinya pabrik gula dengan kapasitas 1 ton/hari ini akan memerlukan bahan baku nira Aren sebanyak antara 7.142 liter sampai dengan 10.000 liter setiap hari.
Nah sekarang tinggal menyesuaikan saja, kira-kira berapa besar kapasitas pabrik yang akan dibangun. Kalau misalnya 10 ton per hari berarti keperluan bahan baku berupa nira sebesar 71.420 liter sampai dengan 100.000 liter. Sebaliknya kalau kapasitas pabriknya lebih kecil misalnya hanya 100 kg sehari, berarti kebutuhan niranya setiap hari antara 714 liter sampai dengan 1000 liter.
Sekarang kita akan menghitung jumlah pohon yang akan kita tanam mengantisipasi rencana pabrik yang akan kita bangun nanti. Oleh karena itu kita harus mengukur rata-rata produksi nira Aren setiap pohonnya dalam sehari. Ini yang disebut sebagai produktivitas nira per pohon.
Produktivitas nira rata-rata setiap pohon sangat bervariasi menurut jenis dan tempat Aren tumbuh. Menurut Majalah Trubus edisi Januari 2008, di Sulawesi Utara setiap pohon Aren rata-rata dapat menghasilkan antara 20-25 liter per hari. Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah hasil sadapan nira Aren rata-rata setiap pohon hampir sama, yaitu antara 15-25 liter per pohon per hari. Di daerah Banten dan Jawa Barat hasil produksi rata-rata per pohon antara 7-30 liter. Di Sumatera rata-rata produksi nira juga sangat bervariasi, namun angkanya juga tidak jauh dari angka daerah lainnya. Sebenarnya perlu penelitian yang lebih mendalam untuk angka produktivitas di setiap daerah.
Namun demikian perlu kita ingat bahwa tidak setiap pohon itu mengeluarkan nira sepanjang tahun. Artinya ada masa dimana pohon tidak mengeluarkan nira Aren. Lama atau pendeknya masa produksi dan masa istirahat setiap pohonnya mempengaruhi jumlah pohon produktif dari areal kebun yang diusahakan. Hal ini disebut sebagai produktivitas pohon per kebun atau jumlah pohon produktif per hari.
Misalnya seperti di Nunukan Kaltim, Pak Sarman memiliki 18 pohon Aren, 9 pohon diantaranya masih muda dan sembilan lainnya sudah mulai produksi. Pada saat ke kebunnya penulis mendapati 4 pohon yang sedang disadap niranya, suatu ketika ke sana lagi ada 5 pohon yang disadap. Berarti dapat dikatakan jumlah pohon produktif per harinya antara 4-5 pohon dari 9 pohon yang sudah dewasa. Kalau dihitung angka prosentase berarti 4,5 pohon/hari/areal (rata-rata dari 4 dan 5) : (dibagi) 9 pohon/areal = 50% per hari. Dalam hal ini pun diperlukan penelitian yang lebih mendalam dalam mengukur angka-angka ini, termasuk apa-apa saja yang dapat mempengaruhi angka ini.
Menurut beberapa pendapat, dalam setiap hektar lahan bisa ditanam antara 140 sampai 250 pohon. Atau katakanlah dengan rata-rata 200 pohon per hektar. Pada saat sekitar 6 tahun kemudian tanaman Aren sudah mulai dewasa dan berproduksi. Jika ada sekitar 50% jumlah pohon produktif dan rata-rata produksi nira per pohon 10 liter, berarti dalam setiap hari akan diperoleh 200 pohon/hektar x 50% x 10 liter/pohon = 1.000 liter/ha/hari. Berarti dari kebun kita seluas 1 hektar tadi akan dihasilkan nira Aren 1.000 liter setiap hari.
Nah sekarang sudah bisa dihubungkan dengan kapasitas mesin pabrik gula kita. Kalau kapasitas pabrik gula kita 1 ton sehari akan diperlukan sekitar 7.142 liter sampai 10.000 liter nira setiap hari. Kita pakai saja angka yang mudah yaitu 10.000 liter. Sehingga sekarang dapat diketahui berapa luas kebun kita untuk dapat menghasilkan nira 10.000 liter/hari, yaitu seluas 10 hektar. Sekarang skala kebun dapat direncanakan mengikuti kapasitas pabrik dan pasar yang akan dituju.
Sampai disini sudah ada gambaran tentang berapa luas lahan kebun Aren yang disesuaikan dengan rencana kapasitas pabrik gula yang dibangun. Demikian juga kalau nira Aren ini diarahkan untuk bioethanol, maka kita hitung dengan cara-cara perhitungan seperti di atas.
Bagaimana menurut Anda? Kami undang Anda untuk memberikan komentar atas tulisan ini. Terimakasih atas perhatiannya.
By kebun aren Nunukan; Selasa, Juli 08, 2008
Link ke posting ini
Sabtu, 2008 Juni 07

KENAPA AREN TIDAK BERKEMBANG SEPERTI KELAPA SAWIT ?

Pohon Aren ini pernah menghasilkan nira sekitar 40 liter/hari, yang disadap dari 2 (dua) tandan bunga betina. Kalau diamati memang jumlah daun pohon ini masih banyak, beda dengan beberapa tanaman Aren yang berproduksi sedikit, karena daunnya juga banyak yang dipotong dan tinggal sedikit.
Foto di atas menunjukkan bahwa tanaman Aren bisa hidup berdampingan tanaman lainnya. Pohon Aren ini termasuk jenis Aren Genjah yang berumur pendek, sebab pada saat tinggi pohon mencapai sekitar 3 meter sudah mengeluarkan tandan bunga, baik tandan bunga betina atau tandan bunga jantan. Sehingga Aren Genjah ini cepat menghasilkan, namun demikian umurnya juga lebih pendek.
Inilah pekerjaan rutin para petani Aren, naik pohon, iris tandan bunga, memasang wadah penampung nira, atau memukul-mukul calon tandan yang akan disadap sampai tandan ada tanda-tanda sudah mengeluarkan niranya. Petani Aren memang orang yang terpilih, sebab tidak semua orang bisa menjalani kehidupan yang rutin setiap hari, bahkan setiap pagi dan sore.
Oleh : Ir. Dian Kusumanto
Pertanyaan yang sangat menggelitik ini begitu saja terlontar dari teman saya dari Jakarta yang berkunjung di Nunukan Kaltim. Dalam perjalanan kunjungannya begitu banyak saya jelaskan dan uraikan kelebihan dan prospek tanaman Aren ini kepadanya, malah pertanyaan seperti di atas lah yang terlontar. Kemudian saya mencoba memahami juga, pasti ada sesuatu yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.
Hukum seleksi alam akan terjadi, dimana yang bisa bertahan hidup akan eksis dan yang tidak mampu mempertahankan dirinya akan punah atau tidak berkembang. Artinya kalau komoditi itu memang menjanjikan, kenapa kemudian tidak berkembang dan bahkan lembaga-lembaga penelitian pun tidak meliriknya sebagai bahan kajian. Apalagi Lembaga-lembaga resmi Pemerintah juga belum menempatkannya sebagai komoditi yang dianjurkan untuk dikembangkan. Apakah sesungguhnya yang terjadi pada tanaman Aren ini?
Memang ironis sekali. Tulisan ini mencoba menganalisa apa saja yang dicurigai sebagai penyebab sehingga Aren kurang diperhatikan. Beberapa hal di bawah ini bisa jadi merupakan penyebabnya.
1. Perubahan Pola Konsumsi Gula karena berkembangnya industri Pabrik Gula
Kalau pada jaman pra industri maju dulu gula rakyat adalah gula merah yang dibuat dari Aren, Tebu dan Kelapa. Gula merah yang beredar di pasaran waktu itu adalah dalam bentuk cetakan (sering disebut gula batok, gula kotak, gula bumbung), dan dalam bentuk serbuk atau sering disebut gula semut.
Kalau melihat penampilan dari gula tradisional ini memang ada kesan yang kurang menarik, yaitu mutu yang tidak seragam, warna yang tidak seragam, pada umumnya kemasan juga tidak menarik, telihat kotor dan kurang hiegenis. Kalau dikonsumsi atau diseduh dijadikan pemanis minuman biasanya masih ada kotoran yang tertinggal.
Beda dengan gula putih yang dihasilkan oleh pabrik yang modern, penampilannya putih bersih, gampang disimpan, cara penyajiannya juga praktis, tinggal sendok dan tuang di gelas. Kalau gula merah ada kesan kurang praktis, apalagi gula merah cetakan, kalau akan menggunakan harus diiris-iris dulu, atau dipecah dulu. Karena bentuknya yang tidak bisa beraturan maka ukuran banyaknya gula juga tidak bisa dipastikan untuk mencapai tingkat kemanisan minuman yang dikehendaki. Keragaman mutu inilah salah satu yang mungkin menyebabkan para konsumen lebih memilih gula putih atau gula hablur. Dengan takaran yang tetap dapat diperoleh tingkat kemanisan yang pas dan lebih mudah diperkirakan.
Seiring dengan bergairahnya perdagangan gula internasional yang berbasis pada tebu, Pemerintah Kolonial membangun pabrik-pabrik gula dengan kapasitas yang sangat besar. Kondisi ini memaksa tradisi konsumsi gula berubah karena kemudahan memperoleh gula putih dibanding dengan gula merah. Perubahan yang termasuk drastis demikian hanya bisa terjadi karena adanya lingkungan psikologis masyarakat yang memang telah berubah.
Perubahan ini memang dimulai dari Jawa karena basis industri gula ini berada di Jawa. Pusat perdagangan gula selama itu juga berada di Pulau Jawa, namun pengaruhnya hampir menyeluruh ke semua penjuru di Nusantara. Bahkan saat itu juga perdagangan internasional gula memang didominasi oleh gula hablur yang berwarna putih jernih.
Perubahan pola hidup masyarakat dari tradisional ke arah pola hidup modern ini juga yang menyebabkan pola konsumsi gula mengalami perubahan. Ciri-ciri pola hidup modern terhadap konsumsi gula diantaranya adalah :
Praktis
Serba cepat
Standard atau kepastian
Bersih dan Sehat
Menarik karena bentuk dan kemasan
Prestise dan gengsi
Harga standar atau murah
Tersedia dimana-mana
Dll.
Perubahan pola konsumsi terhadap gula ini menjadikan gula aren atau gula merah semakin berkurang di pasaran. Aren semakin tidak diperhatikan . Dengan demikian pohon Aren tidak terlalu diarahkan menjadi pendukung industri gula. Aren mungkin hanya diambil niranya untuk pembuatan minuman seperti legen dan tuak. Bahkan di beberapa tempat di Jawa banyak ditebangi karena diambil pati sagunya. Pemanfaatan lainnya adalah diambil buahnya untuk kolang-kaling, ijuknya untuk kerajinan sapu, dll. Sedangkan bagian-bagian tanaman Aren ini selama ini tidak terlalu menjanjikan secara ekonomis, karena pasarnya belum berkembang. Sehingga pada saat diketahui nilainya mulai bagus, tanaman Aren yang ada tidak memenuhi harapan untuk bisa dikelola secara industri.
Dengan dominannya tebu sebagai komoditas sumber bahan baku gula, atau bisa disebutkan industri gula berbasis tebu, maka komoditas yang lain menjadi tenggelam. Aren sebagai komoditi sumber bahan pemanis menjadi tidak diperhatikan lagi. Tebu menjadi pusat perhatian, yang menyedot partisipasi dari berbagai lembaga dan pelaku usaha untuk mengambil peran.
Program besar-besaran digelontorkan untuk pengembangan tebu dan industri gula berbasis tebu. Apalagi pada saat tebu sudah semakin ”bermasalah”, justru berbagai pihak ingin mengatasi masalah tebu dan pabrik gulanya. Semangat untuk menggelontorkan anggaran besar terjadi lagi. Kue anggaran menjadi rebutan lagi, banyak pihak ingi mendapatkan kue itu, tetapi masalah akan tetap menjadi masalah. Masalah yang kunjung bisa teratasi, selain mereformasinya dengan komoditi Aren yang unggul yang produktifitasnya mengalahkan beberapa suber bahan baku gula yang lain (seperti tebu, lontar atau siwalan, kelapa, nipah, bit, jagung, ubi-ubian, dll.).
2. Umur pemeliharaan hingga menghasilkan cukup lama
Mungkin ini bisa jadi yang pertama sebagai alasan tidak berkembangnya Aren. Dibandingkan dengan Kelapa Sawit yang pada saat umur sekitar 3 tahun sudah mulai menghasilkan, sehingga lebih cepat bisa dinikmati hasilnya. Penelitian-penelitian terhadap tanaman Kelapa Sawit sudah demikian majunya, sehingga sudah hampir bisa dipastikan hitungan-hitungan prospek hasilnya.
Perkembangan industri hilir yang berbahan baku dari minyak sawit juga berkembang sedemikian pesat, menjadikan beberapa negara termasuk Indonesia juga ikut memanfaatkannya. Perhatian yang sangat besar pada komoditi Kelapa Sawit ini semakin menenggelamkan perhatian Pemerintah dan Lembaga Penelitiannya terhadap tanaman Aren.
Sebenarnya banyak sumber plasma nutfah tanaman Aren yang bisa menghasilkan tanaman Aren yang Genjah sekaligus berproduksi tinggi. Hanya karena belum tergali oleh lembaga-lembaga penelitian yang ada potensi asli Indonesia ini menjadi terlupakan.
Dari sekian banyak masalah budidaya tanaman Aren yang paing dominan menyebabkan orang enggan membudidayakan adalah faktor perkecambahan. Biji tanaman Aren agak susah dikecambahkan, kalau toh bisa memerlukan waktu yang sangat lama, yang membuat orang menjadi tidak sabar. Kesulitan perkecambahan biji ini menjadi penyebab utama keengganan membudidayakan Aren, sehingga orang-orang lebih menyerahkannya pada perkecambahan alam. Celakanya pada saat mencabut bibit yang tumbuh secara alami ini, kemudian ditanam di lahan, banyak tanaman yang akhirnya mati.
Biji yang berasal dari dalam buah yang dipanen atau yang dipungut di bawah pohon biasanya juga masih mengandung zat yang bisa menyebabkan rasa gatal pada kulit. Kalau tidak paham tentang kesulitan ini orang akhirnya tidak sabar dan kemudian meninggalkan tanaman Aren.
Sebenarnya hal di atas tidak menjadi masalah kalau ilmu dan pengetahuan tenang Aren ini dipahami dengan baik. Sesuatu yang sulit itu biasanya pasti ada faktor yang sangat menguntungkan.
3. Penelitian tentang Aren belum intensif
Seperti dikatakan di atas tadi bahwa penelitian terhadap Aren masih sangat sedikit, bahkan belum diagendakan secara teratur. Peneliti mungkin kesulitan literatur dari luar negeri, yang barangkali kalau ditunggu juga tidak begitu banyak. Karena memang Aren tidak ada di luar negeri, adanya yang sangat banyak hanya di Indonesia dan beberapa negara tropis yang kebanyakan juga tidak terlalu memperhatikan Aren.
Kalau peneliti kita bergantung dari hasil penelitian dari luar negeri, barangkali selamanya Aren tidak akan jadi bahan kajian penelitian para ”ahli” kita. Saya sengaja memberikan tanda kutip pada kata ahli, bukan karena kita skeptis dengan para ahli kita. Namun sebenarnya kita sangat kecewa kenapa mereka tidak sanggup membuka prospek yang masyarakat petani di beberapa daerah sudah mengembangkannya.
Dalam hal Aren yang termasuk tanaman palem ini sebenarnya ada Lembaga Penelitian Kelapa dan Palma yang ada di Manado, Sulawesi Utara. Makanya Sulawesi Utara termasuk yang paling besar potensinya dalam pengembangan tanaman Aren ini. Namun yang disayangkan, kenapa hal ini belum direspon secara luas untuk diterapkan di seluruh Indonesia??? Ini yang menjadi tanda tanya besar.
Kalau dilihat fungsi lain tanaman Aren yang menghasilkan bahan pemanis sebagai alternatif bahan industri gula, mestinya lembaga penelitian seperti P3GI yang ada di Pasuruan Jawa Timur harusnya melirik ke tanaman Aren. Ternyata ini semua tidak terjadi. Karena tebu banyak masalahnya sehingga penelitian hanya terfokus ke tanaman tebu. Banyak masalah berarti banyak anggaran untuk penelitian. Kalau misalnya hanya karena anggaran kemudian hanya meneliti tebu, sampai nanti pun Aren tidakakan menjadi perhatian yang serius.
Penelitian akan sesuatu hal atau komoditi harusnya tidak berdasarkan adanya anggaran atau tidak, atau adanya masalah potensial atau tidak. Sudah seharusnya kita memilih tujuan penelitian itu adalah yang menjadi alternatif, sehingga masalah yang banyak pada komoditi tebu itu bisa selesai. Kalau suatu komoditi tidak bisa lagi diharapkan untuk menjadi alat mengangkat kesejahteraan petaninya, seharusnya kita cari alternatif baru. Aren adalah alternatif bahan pemanis yang sangat menjanjikan. (Silakan baca tulisan saya di ”Pabrik Gula berbasis Aren, kenapa tidak?” di http://kebunaren.blogspot.com/)
4. Adanya mitos bahwa pohon Aren tempatnya hantu
Mitos ini ternyata mempengaruhi pola sebaran tanaman Aren. Karena adanya anggapan yang keliru tersebut jarang kita temui pohon Aren di sekitar pekarangan rumah. Aren banyak terdapat di kebun-kebun yang jauh dari rumah, di pinggir-pinggir sungai, di lereng-lereng gunung atau bukit yang relatif jauh dari pemukiman, bahkan di dalam areal hutan. Maka ada anggapan bahwa Aren termasuk kategori tanaman hutan.
Karena sebaran tanaman Aren jauh dari rumah, maka sangat jarang orang memperhatikan potensi dan keunggulannya. Maka untuk menanam Aren di lahan dekat pemukiman mendapat tentangan dari pihak keluarga atau para tetangga.
Ada anggapan juga bahwa orang yang akan mengelola pohon Aren, apakah akan diambil ijuknya, buahnya, lidinya, atau akan diambil niranya, harus bisa mengalahkan hantu yang ada di pohon Aren tersebut. Maka ada cara khusus untuk ”merayu” pohon Aren agar mau mengeluarkan niranya. Selain para calon penyadap ini memukuli secara pelan dan bertubi-tubi, meliuk-liukkan tandan bunga, menepuki dengan tangan dengan perasaan tertentu, serta biasanya diikuti dengan nyanyian atau siulan atau bahkan mantra tertentu. Maka bisa dikatakan bahwa untuk mengelola pohon Aren ini tidak semua orang bisa, hanya orang yang ”khusus” lah yang bisa mengambil nira pohon Aren ini.
Akibat dari anggapan tersebut di atas jarang atau bahkan tidak pernah kita temui penyadap nira Aren ini orang-orang muda, pemuda atau apalagi anak-anak. Yang biasa kita temui adalah para ”pekerja” tanaman Aren ini adalah orang-orang yang sudah tua dengan penampilan yang seadanya saja yang terkesan adalah petani yang agak susah hidupnya atau bahkan petani yang miskin.
5. Aren identik dengan tuak, cap tikus dan orang mabuk
Anggapan ini memang sebagian ada benarnya, karena dibeberapa daerah seperti di Sulawesi Utara sampai sekarang masyarakat disana mengelola nira Aren untuk dijadikan minuman yang disebut tuak, atau cap tikus. Di daerah seperti Sulawesi Utara hal ini sudah menjadi tradisi, karena sebagian daerahnya memang berhawa dingin. Tuak atau cap tikus ini menjadi minuman yang bisa menghangatkan tubuh serta memberi gairah pada saat orang bekerja di lahan dengan hawa yang dingin atau sedang begadang di malam hari dengan hawa udara yang sangat dingin. Akhirnya minum tuak menjadi tradisi masyarakat yang turun menurun. Ternyata hal ini terjadi pula di daerah Sumatera Utara, yaitu di daerah dengan julukan Tanah Batak.
Kalau diamati ternyata dua daerah ini masyarakat dominan beragama nasrani atau kristen. Nah ternyata di dua daerah seperti diatas tadi meminum tuak tidak terlalu menjadi sesuatu yang ”tabu”. Beda dengan daerah yang mayoritasnya muslim, apalagi muslim yang ”fanatik” atau militan, wah jangan harap ini bisa berkembang.
Nah.. karena dikhawairkan bisa membuat banyak orang meminum tuak yang terbuat dari nira Aren, maka seolah ini menjadi penilaian yang buruk pada saat Pemerintah membuat keputusan pengembangan Aren secara besar-besaran.
Meskipun banyak juga daerah yang merupakan kantong-kantong muslim ternyata Aren juga bisa berkembang, seperti di daerah Sulawesi Selatan, mulai dari Pinrang, Sidrap, Bulukumba, Wajo, Sopeng sampai ke Tana Toraja. Namun di daerah dimana umat muslim dominan, pengelolaan nira Aren diarahkan menjadi gula merah. Hal demikian juga terjadi di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan lain-lain.
Barangkali masih ada faktor-faktor lain yang menyebabkan pengembangan Aren belum terjadi seperti Kelapa Sawit, yang belum terungkap pada tulisan di atas. Bagaimana menurut para pembaca sekalian ? Mohon komentarnya !?
By kebun aren Nunukan; Sabtu, Juni 07, 2008

Nama-nama Aren di berbagai daerah, penyebaran dan aneka kegunaan Aren

Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber
Nama-nama Daerah untuk tanaman Aren
Aren (Arrenga pinnata) mempunyai banyak nama daerah seperti : bakjuk/bakjok (Aceh), pola/paula (Karo), bagot (Toba), agaton/bargat (Mandailing), anau/neluluk/nanggong (Jawa), aren/kawung (Sunda), hanau (dayak,Kalimantan), Onau (Toraja, Sulawesi), mana/nawa-nawa (Ambon, Maluku).
Banyak nama daerah yang diberikan untuk Aren di Indonesia. Hal ini karena tingkat penyebarannya sangat luas.
Nama-nama daerah tanaman Aren di Indonesia, antara lain : bak juk (Aceh), ijuk (Gayo), pangguh (Alas), pola, paula (Karo), bagot, agotan (Toba), bargot (Angkola, Mandailing), anau (Simalur), alaha (Bajak), ache, peto (Nias), poula (Mentawai), bagat, bergat, hanau (Kerinci), kawung (Sunda), aren (Jawa, Madura), jaka, hano (Bali), pola (Sumbawa), nao (Bima), kalotu (Sumba), moka (Sawu), moke (Flores), nau, peletuk, gemuti (Timor), seho (Manado), inru (Sulawesi Selatan), enau (Kalimantan) dan segeru (Maluku). Sedangkan nama asing Aren adalah sugar palm.
Kegunaan Pohon Aren.
Pohon aren dapat dimanfaatkan, baik berfungsi sebagai konservasi, maupun fungsi produksi yang menghasilkan berbagai komoditi yang mempunyai nilai ekonomi.
Fungsi Konservasi
Pohon aren dengan perakaran yang dangkal dan melebar akan sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya erosi tanah. Demikian pula dengan daun yang cukup lebat dan batang yang tertutup dengan lapisan ijuk, akan sangat efektif untuk menahan turunnya air hujan yang langsung kepermukaan tanah.
Pengelolaan dan pembudidayaan tanaman aren perlu dilakukan mengingat tanaman aren memiliki keunggulan dalam mencegah erosi tanah terutama pada daerah-daerah yang terjal karena akar tanaman aren dapat mencapai kurang lebih enam meter pada kedalam tanah, sehingga dapat tumbuh baik pada tebing-tebing dan akan sangat baik sebagai pohon pencegah erosi longsor.
Fungsi Produksi
Fungsi produksi dari pohon aren dapat diperoleh miulai dari akar, batang, daun, bunga dan buah.
Akar
Di Jawa akar aren digunakan untuk berbagai Obat Tradisional (Heyne, 1927; Dongen, 1913 dalam Burkil 1935). Akar segar dapat menghasilkan arak yang dapat digunakan sebagai obat sembelit, obat disentri dan obat penyakit paru-paru.
Batang
Batang yang keras digunakan sebagai bahan pembuat alat-alat rumah tangga dan ada pula yang digunakan sebagai bahan bangunan. Batang bagian dalam dapat menghasilkan sagu sebagai sumber karbohidrat yang dipakai sebagai bahan baku dalam pembuatan roti, soun, mie dan campuran pembuatan lem (Miller, 1964). Sedangkan ujung batang yang masih muda (umbut) yang rasanya manis dapat digunakan sebagai sayur mayor (Burkil, 1935).
Batang aren sering dimanfaatkan untuk jembatan dan saluran air (talang) setelah dibelah memanjang dan diambil empulurnya (sagu atau pati). Batang aren juga bisa dimanfaatkan untuk galar-galar dan bubungan atap rumah.
Bagian luar batang aren atau ruyung (sunda) berwarna hitam dan sangat keras. Biasanya bagian ini dimanfaatkan untuk membuat perkakas rumah tangga dan untuk keperluan lain, seperti gagang pisau, tangkai kapak, cangkul, dan juga tongkat. Bagian ini sering digunakan untuk membuat bahan usuk atau kaso penyangga genting rumah. Karena sifatnya yang keras, bagian luar batang aren ini juga sangat baik untuk kayu bakar.
Di dalam batang aren terdapat sagu (pati) yang bisa dibuat tepung. Cara menghasilkan tepung aren tidaklah sulit. Mula-mula batang aren dipotong-potong sepanjang 1 m, kemudian dibelah dan empulur yang terdapat di dalamnya dikeruk dengan kapak pengeruk. Di pabrik, proses pengambilan empulur dilakukan dengan membelah potongan batang aren menjadi beberapa bagian, kemudian empulur diparut dengan mesin pembarut. Selanjutnya empulur hasil pemarutan tadi diremas-remas bersama air yang mengalir menuju bak penampungan dan ampasnya disingkirkan. Di dalam bak penampung, pati akan mengendap. Setelah semua pati aren mengendap, kolam (bak) dikeringkan dan pati diambil. Pati aren yang masih basah dijemur sampai benar-benar kering dan diperoleh tepung aren yang halus atau aci kawung (sunda).
Tepung aren banyak digunakan dalam pembuatan aneka jenis makanan, seperti bakso dan bihun. Ampas hasil samping dari pembuatan tepung aren ini juga sangat baik untuk media tanam jamur. Tetapi banyak pula pabrik tepung aren yang membuang ampas tersebut ke sungai atau ditumpuk saja, sehingga menimbulkan pencemaran air dan udara.
Daun
Daun muda, tulang daun dan pelapah daunnya, juga dapat dimanfaatkan untuk pembungkus rokok, sapu lidi dan tutup botol sebagai pengganti gabus.
Di daerah pedesaan, daging atau gabus dari pelepah daun aren banyak dipakai sebagai bahan pembuatan mainan anak-anak seperti mobil-mobilan. Selain itu juga baik dipakai sebagai penyumbat botol, saluran air dari logam atau bambu, dan lain-lain. Pelepah daun aren yang kering bersama daunnya banyak dimanfaatkan penduduk sebagai kayu bakar. Sedang abunya sering dimanfaatkan penduduk sebagai penyembuh luka, bedak tradisional, dan juga untuk pupuk tanaman sebab mengandung mineral yang cukup tinggi. Pelepah daun juga sering dipakai untuk alat pemikul hasil kebun.
Tulang-tulang anak daun aren banyak dipakai untuk pembuatan sapu lidi, tusuk sate dan keranjang. Daun aren yang masih muda juga digunakan sebagai pembungkus tembakau (klobot ) untuk merokok setelah dijemur atau dikeringkan. Daun aren yang tuan dapat juga digunakan untuk atap rumah seperti halnya daun nipah.
Bunga
Tangkai bunga bila dipotong akan menghasilkan cairan berupa nira yang mengandung zat gula dan dapat diolah menjadi gula aren atau tuak (Steenis et.al.,1975).
Bunga jantan
Bunga aren jantan atau langrai (Sunda), biasanya diperoleh setelah tangkai bunga dipotong untuk disadap niranya. Bunga ini dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak, terutama ternak kambing.
Buah
Buahnya dapat diolah menjadi bahan makanan seperti kolang-kaling yang banyak digunakan untuk campuran es. kolak atau dapat juga dibuat manisan kolang-kaling.
Bila buah aren yang belum terlalu matang dipotong, maka akan terlihat bijinya yang kenyal berwarna putih jernih (bening). Daging biji inilah yang disebut kolang-kaling dan bisa digunakan sebagai bahan makan.
Kolang-kaling memang sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Pada saat bulan puasa, permintaan kolang-kaling melonjak sangat tajam. Masyarakat yang beragama Islam sering menjadikan kolang-kaling sebagai menu khas di bulan puasa. Baik sebagai makanan untuk berbuka puasa ataupun santapan ringan setelah melakukan shalat tarawih.
Harga kolang-kaling di bulan puasa juga lebih mahal dibanding bulan-bulan lainnya. Pada tahun 1992, harga rata-rata kolang-kaling Rp 500,00/kg, sedang pada bulan puasa antara Rp 1.000,00 – Rp 2.000,00/kg.
Prospek pasar kolang-kilang ini juga cukup cerah sebagai mata dagangan ekspor. Konon Indonesia telah mengekspor kolang-kaling sejak tahun 1970-an serta terus berlanjut hingga sekarang. Negara-negara pembeli kolang-kaling Indonesia selama ini antara lain Amerika Serikat, Saudi Arabia, Belanda, Hongkong, Jepang, Taiwan, dan beberapa negara kawasan Eropa.
Kolang–kaling banyak digunakan sebagai bahan campuran beraneka jenis makanan maupun minuman. Antara lain dalam pembuatan kolak, ronde, ice jumbo, cake, minuman kaleng, es campur, manisan, dan lain-lain. Bahkan masyrakat Jawa Barat yang memiliki minuman khas berupa bajigur, selalu menambahkan kolang-kaling ke dalamnya.
Jika orang Sunda menyebut kolang-kaling itu dengan cangkaleng atau caruluk, maka warga Jakarta menyebutnya buah atep. Boleh jadi, munculnya sebutan buah atep tersebut karena ijuk tanaman ini biasa digunakan untuk atap bangunan. Sejalan dengan berkembangnya bidang upa-boga, sekarang muncul pula aneka produk makanan baru yang menggunakan kolang-kaling sebagai bahannya, yaitu kolang–kaling gengsi, kolang-kaling manja, dan kolang-kaling berjuruh.
Kolang-kaling selain bisa dimanfaatkan untuk bahan pencampuran aneka makanan dan minuman, kandungan seratnya juga baik sekali untuk kesehatan. Serat kolang-kaling dan serat dari bahan makana lain yang masuk ke dalam tubuh menyebabkan proses pembuangan air besar teratur, sehingga bisa mencegah kegemukan atau obesitas, penyakit jantung koroner, kanker usus, dan penyakit kencing manis.
Ijuk
Tanaman aren tampak menyeramkan karena batangnya diselimuti oleh-oleh bulu-bulu berwarna hitam yang dinamakan ijuk. Ijuk yang berupa serat-serat ini menempel pada batang di sekitar pangkal pelepah daun.
Semakin berkurangnya tanaman aren dalam beberapa tahun terakhir diakui pula oleh para pengrajin atau penyisir jika di berbagai daerah. Bahkan para pengrajin ijuk itu terpaksa untuk mencari tanaman aren ke tempat yang lebih jauh dari lokasi pabrik ijuknya.
Ijuk merupakan bahan yang banyak sekali digunakan untuk berbagai macam keperluan. Antara lain untuk bahan baku anyam-anyaman, seperti tali, sapu, sikat, dekorasi, atap rumah tradisional, septik tank, dan lain-lain. Atap yang terbuat dari ijuk aren ternyata mempunyai daya tahan 10 tahun lebih dan tidak cocok karena ijuk mampu menahan guyuran air hujan yang deras.
Di dalam ijuk aren juga terdapat semacam lidi yang keras sekali disebut harupat (Sunda) Pada zaman dahulu, lidi ini dipakai sebagai pena untuk menulis huruf Arab dan di Sumatera Barat alat ini dinamakan kalam. Kata kalam berasal dari bahasa arab yang artinya alat untuk menulis.
Belakangan ijuk aren banyak juga dimanfaatkan sebagai bahan bantalan kursi maupun jok kendaraan bermotor. Selain itu, ijik juga digunakan sebagai bahan kedap suara di studio rekaman dan gedung pertunjukan, penyekat panas mesin boiler, dan sebagai bahan tambahan untuk membuat lapangan olahraga.
Perkembangan ekspor ijuk di Indonesia antara tahun 1987- 1991 dapat dilihat pada tabel 10. Adapun negara-negara yang selama ini menjadi pengimpor ijuk Indonesia di antaranya adalah Amerika Serikat, Inggaris, Singapura, Srilanka, Pakistan, New Zealand, Taiwan, Jepang, Australia Sudi Arabia, Prancis, dan Belanda.
Umbut
Umbut yang terdapat di puncak aren dapat dimakan lanngsung. Tetapi akan lebih nikmat bila diolah atau dimasak terlebih dahulu dan kemudian dicampur dengan makanan lain.
Akar
Akar aren dapat dipergunakan untuk bahan kerajinan tangan yang berupa anyam- anyaman maupun bahan pembuatan cambuk.
Obat Tradisional
Bagian tertentu tanaman aren juga dapat digunakan sebagai obat tradisional. Dengan membuat ramuan berupa akar tanaman aren dan batang rumput alang-alang, maka kesulitan buang air besar teratasi. Caranya, ramuan ini direbus dan airnya diminum.
Tuak dari hasil fermentasi nira aren juga berguna sebagai perangsang haid. Selain itu, minuman tuak nira pun cukup ampuh untuk melawan radang paru-paru dan mejan. Gula aren sendiri sering dilibatkan dalam ramuan obat tradisional dan katanya memiliki khasiat sebagai obat demam dan sakit perut.
By kebun aren Nunukan; Selasa, Juni 03, 2008

Prospek Emas si Pohon Aren

Prospek emas si pohon Aren sebenarnya sudah diperkenalkan oleh Kanjeng Sunan Bonang, seorang waliyulloh penyebar Agama Islam di Pulau Jawa. Konon beliau waktu itu dirampok/ dibegal oleh berandal Lokajaya yang menginginkan harta dari Kanjeng Sunan Bonang.
Singkatnya menurut alkisah, beliau menunjuk pada pohon Aren dan mengatakan bahwa kalau ingin harta banyak lihatlah pohon Aren itu. Maka berandal Lokajaya itu melihat emas di pohon Aren tersebut. Buahnya laksana emas yang bergelantungan.Emas adalah lambang kemakmuran dan kesejahteraan, bahkan lambang kemewahan.
Ternyata baru awal tahun 2000-an ini para ahli bangsa Indonesia baru menyadari isyarat tersembunyi ataurahasia emas si pohon Aren. Kanjeng Sunan memang tidak menjelaskan secara jelas, namun kiranya Tuhan Yang Maha Latif mengajarkannya melalui ilmunya seorang Wali yaitu Kanjeng Sunan Bonang kepada berandal Loka Jaya.
Ternyata emas itu berasal dari Nira Aren yang keluar dari hasil sadapan tangkai bunga, baik dari tangkai bunga betina maupun tangkai bunga jantan. Pohon yang sudah maksimal pertumbuhan vegetatifnya (sekitar umur 6 tahun kalau tumbuh liar atau alami) akan mengeluarkan bunga betina sampai dengan 6,8 atau 12 tandan bnga betina. Ada juga pohon Aren yang tidak pernah mengeluarkan tandan bunga betina, namun langsung dari awal masa generatifnya hanya tandan bunga jantan saja sampai akhir.
Tandan bunga pertama muncul dari bagian paling atas pohon kemudian tandan berikutnya muncul dari ketiak pelepah daun yang berada di bawahnya. Tandan bunga selanjutnya muncul terus menerus bergantian dari atas menuju ke bawah sampai pada bekas ketiak pelepah daun terbawah.Dari seorang petani Aren yaitu Bapak Sarman di Mambunut Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur diketahui bahwa ternyata tandan bunga betina yang biasanya mengeluarkan buah kolang-kaling, bisa disadap air niranya.
Bahkan hasil nira dari tandan bunga betina ini hasil sadapannya mencapai 40 liter Nira setiap hari per pohon. Setiap hari dilakukan dua kali sadap, yaitu pagi sekitar jam 7.00 dan sore sekitar jam 17.00. Hasil sadapan pagi biasanya lebih banyak dari pada yang sore hari. Keluarnya nira yang paling deras terjadi pada waktu sekitar jam 03.00 s/d jam 04.00 dini hari. Dia mengilustrasikannya, bahwa seperti manusia kalau dia kedinginan keringatnya kurang tapi kencingnya yang banyak.
Kalau seandainya pohon Aren ini dikebunkan seperti sang pendatang dari Brazil, yaitu Kelapa Sawit, dengan bibit yang unggul, pemeliharaan yang intensif, pemupukan yang cukup, pengelolaan menejemen kebun yang memadai. Tentu hasilnya akan lebih baik dari pada yang sekarang ini dihasilkan dari pohon yang alami bahkan yang tumbuh liar dengan jarak yang tidak beraturan.
Dengan memakai asumsi produksi yang alami saja misalkan 10 liter nira/hari/pohon; jika 100 pohon yang disadap setiap harinya (dari populasi 250 pohon setiap hektar), maka akan diperoleh nira 1.000 liter/hari/ha. Rendemen gula merah dari nira sekitar 20-26,5 %, artinya dari 1.000 liter maka akan diperoleh sekitar 200-265 kg gula merah setiap hari. Kalau harga di tingkat petani Rp 5.000/kg, maka setiap hari pendapatan kotor petani aren dengan areal 1 hektar akan memperoleh sekitar Rp 1.000.000/hari/ha sampai dengan Rp 1.325.000/hari/ha.
Tentu pendapatan itu masih dikurangi dengan biaya tenaga sadap sebanyak 3-5 orang, tenaga pengolah gula 1-2 orang. Berarti setiap hektarnya kebun sudah menyerap tenaga kerja antara 4-7 orang, memberi pendapatan kepada petani pemilik yang demikian besar.Bukankah ini yang dimaksud dengan kemakmuran, yaitu petani dengan pendapatan tinggi, tidak ada lagi pengangguran, roda ekonomi di pedesaan akan berjalan lagi ……. yaaaa… prospek emas dari pohon Aren itu akan menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk negeri, seperti isyarat sang Waliulloh Kanjeng Sunan Bonang.
Kalau berminat kembangkan Aren skala luas bisa hubungi kami dihttp://kebunAren.blogspot.com/atau menghubungi saya dengan e-mail : diankusumanto@yahoo.co.id
By kebun aren Nunukan; Kamis, April 10, 2008

Potensi Besar Agribisnis Aren

Selain gula dan etanol, apa saja kegunaan aren yang lain dan seberapa besar terdapat di Indonesia?
Aren dengan nama ilmiah Arenga pinnata sudah sejak lama dikenal para petani kita sebagai tanaman bernilai ekonomis. Namun hingga kini masukan ilmu dan teknologi pada aren masih sangat minimum. Berbeda dengan kelapa dan kelapa sawit, tanaman sefamili aren. Jumlahnya secara pasti belum diketahui tapi diyakini potensi aren di Indonesia luar biasa besar yang tersebar mulai dari daerah pantai sampai ke pegunungan.
Agribisnis berbasis aren menghasilkan produk utama gula merah atau gula kristal yang bisa menjadi sumber gula alternatif sehingga kita tidak pusing dengan impor gula lagi. Dan nira aren dapat diolah menjadi etanol, sumber energi yang bisa diperbarui. Selain menghasilkan gula dan etanol, pohon aren juga bisa memproduksi lidi, ijuk, daun untuk atap rumah, dan kayu dengan kualitas sangat baik. Dari aren juga bisa dihasilkan makanan enak, yaitu kolang kaling.
Bagaimana potensinya untuk dikembangkan?
Sekarang baru disadari aren mempunyai potensi yang luar biasa besarnya dari segi ekonomi, pemerataan pendapatan, dan penanggulangan kemiskinan, serta pelestarian lingkungan. Dari segi ekonomi, aren melalui suatu proses sangat sederhana menghasilkan nira sebagai produk utama yang bisa diproses jadi gula merah sebagai pengganti gula putih dan etanol yang sangat penting untuk energi.
Dari segi pemerataan pendapatan, aren diusahakan petani-petani kecil dan kebanyakan masih belum dibudidayakan dan tumbuh liar di hutan-hutan sekitar pemukiman. Karena itu produk-produk ekonomis tadi dimanfaatkan rakyat yang berpenghasilan rendah. Jadi aren ini dapat dijadikan program penanggulangan pengangguran dan kemiskinan di pedesaan.
Dari segi kelestarian lingkungan, aren tumbuh subur bersama-sama pohon lain. Oleh karena itu, aren mampu menciptakan ekologi yang baik sehingga tercipta keseimbangan biologi. Di samping itu, karena dia tumbuh bersama-sama pohon lain dapat menjadi penahan air yang baik dan aren relatif sulit untuk terbakar. Berbeda dengan kelapa sawit dan kelapa yang membutuhkan kondisi monokultur.
Apa kelebihan aren dibanding dengan tebu?
Aren jauh lebih produktif dari tanaman tebu dalam menghasilkan kristal gula dan biofuel per satuan luas. Produktivitasnya bisa 4—8 kali dibandingkan tebu. Dan rendemen gulanya 12%, sedangkan tebu rata-rata hanya 7%. Gula aren dinilai baik dan dapat dijadikan gula kristal yang dapat diekspor. Harga ekspornya Rp50.000/kg dan di tingkat konsumen di Belanda Rp90.000/kg, bandingkan harga gula pasir sekitar Rp7.000/kg. Dari gula aren itu juga bisa didapatkan 30% berupa molase untuk membuat etanol bahan biofuel.
Yang menarik, tanaman aren tidak membutuhkan pemupukan untuk tumbuh, tidak terserang hama dan penyakit yang mengharuskan penggunaan pestisida sehingga aman bagi lingkungan. Bahkan boleh dikatakan produknya organik. Aren dapat tumbuh pada lahan marginal di lereng gunung atau berbukit-bukit bersama tanaman lain. Sedangkan tebu harus ditanam di lahan subur yang datar sehingga dalam penggunaan lahan bersaing dengan tanaman lain seperti padi dan jagung.
Apa yang menjadi masalah dalam pengembangannya?
Masalah pengembangannya adalah pengetahuan kita mengenai aren sangat minim dibandingkan kelapa sawit, kelapa, dan tebu. Kalau kita mau mengembangkan dalam skala regional dan nasional, pengetahuan tentang aren harus ditambah. Pengetahuan yang mendesak adalah mengenai seleksi tanaman yang mempunyai produktivitas tinggi dan cara perbanyakannya. Kedua, pengetahuan mengenai proses panen yang efisien dan efektif. Ketiga, transportasi nira dari pohon ke pabrik agar tidak rusak. Dan keempat, sistem pengolahan hasil yang modern.
Dan tak kalah pentingnya masalah organisasi dan manajemen. Mulai dari organisasi petani, organisasi pabrik, dan organisasi distribusi dari petani ke pabrik, serta manajemen yang mengelola sistem agribisnis berbasis aren tersebut.
Apakah sudah ada contoh pengolahan aren dalam skala besar?
Ada. Contoh dapat kita di Tomohon, Sulawesi Utara. Pabrik modern yang diusahakan Yayasan Masarang itu sekarang sudah mengolah nira menjadi gula semut berkualitas tinggi untuk ekspor. Pabrik Gula Aren Masarang ini mulai berproduksi sejak 2006. Saat ini produksi rata-rata 3,5 ton gula kristal atau gula semut per hari.
Mereka berhubungan dengan petani pemasok nira sebanyak 3.500 orang yang tersebar di 35 desa di Kota Tomohon. Petani menerima harga jual nira Rp2.000/liter. Dan ketika nira telah diolah menjadi gula semut, petani juga memperoleh bagian keuntungan sehingga pabrik dan petani sama-sama beroleh keuntungan.
Pabrik gula aren modern pertama di Indonesia bahkan di dunia ini pada Minggu (15/01), lalu baru diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden juga sekaligus melepas ekspor perdana gula aren sebanyak 12,5 ton ke Belanda. Selain Belanda, ekspor juga akan dilakukan ke Swiss dan Jerman.
Suatu hal yang menggembirakan, Menko Kesra Aburizal Bakrie akan mereplikasi pabrik gula aren modern ini di sepuluh provinsi pada 2007. Dan investasi untuk pabrik ini tidak terlalu mahal, sekitar US$ 1 juta untuk kapasitas 20 ton gula semut per hari. Harapan saya nanti bank akan melirik usaha ini khususnya membiayai pabrik dan perdagangannya. (Diambil dari tulisan Sdr. Untung Jaya) oleh Dian Kusumanto
By kebun aren Nunukan; Jumat, April 04, 2008
2 komentar
Link ke posting ini

Prospek Produk Gula Aren di Jepang dan Belanda

Di Jepang
Peluang yang sangat besar saat ini bagi produk Gula Aren (Palm Sugar) di Jepang sudah tidak diragukan lagi. Kandungan kalorinya yang rendah dan dapat digunakan untuk membuat kue menjadikan Gula Aren sangat diminati. Mr. Ryuji Nishi mengungkapkannya dalam sebuah seminar mengenai potensi produk makanan dari Indonesia di pasar Jepang.
Dalam presentasinya, konsultan ini memberi masukan tentang produk Gula Aren yang diminati tidak mengandung bahan kimia dan ditanam di lahan yang alami tanpa pupuk organik. Diperlukan kesungguhan mencari mitra di Jepang dengan pengusaha yang memproduksi kue-kue khas Jepang, produsen gula pasta atau pemilik kedai kopi.
Barang contoh beserta harga jual di toko swalayan juga diperlihatkan dalam seminar tersebut. Dalam contoh yang diperlihatkan, harga Palm Sugar JPY 735/200 gram; Maple Sugar JPY 1000-2000/1 kg; Brown Sugar JPY 240/0,5 kg; Crystal Sugar JPY 160/0,5 kg; Gula Pasta JPY 500/0,5 kg.
Negara pesaing untuk produk ini adalah Thailand yang menguasai pasar 49%, Australia 39%, Afrika Selatan 12%, namun belum pernah mengimpor dari Indonesia. (dn)
di Belanda
Aren jauh lebih produktif dari tanaman tebu dalam menghasilkan kristal gula dan biofuel per satuan luas. Produktivitasnya bisa 4—8 kali dibandingkan tebu. Dan rendemen gulanya 12%, sedangkan tebu rata-rata hanya 7%. Gula aren dinilai baik dan dapat dijadikan gula kristal yang dapat diekspor. Harga ekspornya Rp50.000/kg dan di tingkat konsumen di Belanda Rp90.000/kg, bandingkan harga gula pasir sekitar Rp7.000/kg.
Dari gula aren itu juga bisa didapatkan 30% berupa molase untuk membuat etanol bahan biofuel. Yang menarik, tanaman aren tidak membutuhkan pemupukan untuk tumbuh, tidak terserang hama dan penyakit yang mengharuskan penggunaan pestisida sehingga aman bagi lingkungan. Bahkan boleh dikatakan produknya organik. Aren dapat tumbuh pada lahan marginal di lereng gunung atau berbukit-bukit bersama tanaman lain. Sedangkan tebu harus ditanam di lahan subur yang datar sehingga dalam penggunaan lahan bersaing dengan tanaman lain seperti padi dan jagung.
By kebun aren Nunukan; Jumat, April 04, 2008
0 komentar
Link ke posting ini

Pohon Aren dan Kanjeng Sunan Bonang

Pohon Aren memang lagi ngetrend. Dulu Kanjeng Sunan Bonang sudah ngasih isyarat kepada ‘begal’ yang akhirnya menjadi Sunan Kalijogo, bahwa di pohon Aren itu ada emas!
EEee.. sekarang, pada saat gula semakin mahal, bensin semakin langka, lapangan kerja semakin sulit, lahan semakin kritis karena dieksploitasi…dst., Aren datang sebagai alternatif. Prospek emas itu ternyata dari sang pohon Aren.
Para peneliti telah lama mengabaikan, para petani pekebun mengacuhkannya, dianggap pohon Aren sepele dan remeh!! Kita semua bahkan lalai dan tak ambil peduli dengan isyarat Kanjeng Sunan Bonang itu.
Malaysia ternyata sedang mengambil peluang ini dengan menyiapkan secara besar-besaran kebun Aren untuk Gula dan Bioethanol. Kelapa Sawit yang sudah banyak yang tua tidak diremajakan lagi, namun diganti dengan Kebun Aren. Konon Datuk Azis bekas pejabat Negara Bagian Sabah sudah mengembangkan sekitar 3.000 ha bekerja sama dengan investor Jepang, sekaligus tempat pemasarannya. Di Negara Bagian Serawak Malaysia juga tidak kalah getolnya mengembangkan Kebun Aren ini.
Menurut para ahli potensi produksi nira 360.000 s/d 720.000 liter/tahun/ha. Bila niranya diolah menjadi 72 s/d 144 ton/tahun/ha gula merah. Kalau dijadikan Bioethanol FGE 99,5% menjadi 20.000 s/d 40.000 liter/tahun/ha.Bagaimana?? betul-betul bernilai laksana emas. Memang betul Kanjeng Sunan Bonang!! Anak cucumu ini memang amat bodoh dan telah melalaikan isyarat Kanjeng Sunan!!
By kebun aren Nunukan; Jumat, April 04, 2008

8 Comments »

  1. Terimakasih sudah mengkompilasi informasi dan referensi tentang Aren dari segala sumber dan aspek. Terimakasih juga karena tulisan-tulisan saya juga sudah dimasukkan dalam blog yang saya kira dapat dijadikan rujukan bagi Masyarakat Aren Indonesia.
    Namun kalau boleh usul agar tulisan saya yang disunting dapat disusun lay outnya, terpisah dari satu artikel dengan artikel yang lainnya. Jadi tidak bergerombol seperti yangnampak di atas ‘comments’ ini.
    Sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan salam sukses.
    Comment by Dian Kusumanto — June 19, 2009 @ 4:24 am
  2. Beberapa tulisan di atas belum disertai gambar atau foto ilustrasi seperti pada tulisan aslinya yang terdapat di http://kebunaren.blogspot.com. Silakan berkunjung juga ke blog kebun aren tsb.
    Comment by Dian K — July 18, 2009 @ 3:00 pm
  3. Yth Pak Dian Kusumanto,
    Apakah saya bisa mendapatkan alamat sentra pembuat gula aren di Jawa Barat?
    Terima kasih atas perhatian yang diberikan.
    Hormat saya,
    Suryo
    Comment by Richard Suryo — February 8, 2011 @ 4:06 am
  4. Yth Pak Dian Kusumanto
    Pak pada bulan apa tanaman aren akan mengalami fase pembungan atau mulai keluarnya bunga??
    terima kasih atas perhatian yang d berikan
    hormat saya,
    Guntur
    Comment by guntur gumilang — February 8, 2011 @ 5:30 am
  5. Mohon solusi untuk penanganan yang efisien dan efektif limbah padat dan cair yang terus menumpuk di pabrik tepung aren.
    mohon email: mas_grandis@yahoo.com, vanchis_struggle87@yahoo.com
    Hormat saya,
    Grandis, Irfan
    Comment by Irfan Sholeh — August 5, 2011 @ 7:37 pm
  6. YTH PAK DIAN
    SAYA UCAPKAN TERIMA KASIH ATAS INFORMASINYA, SYUKUR KALAU PAK DIAN BERKENAN MENGIRIM ARTIKEL TEKNIK PEMUKULAN PADA TANGKAI MAYANG AREN, CONTOH PISAU UNTUK MEMOTONG TANGKAI MAYANG AREN.
    TERIMA KASIH PAK.
    HORMAT SAYA,
    KARTONO
    Comment by KARTONO — December 3, 2011 @ 5:27 am
  7. apa penyebab aren tdak menghasilakan nira padahal tandan sudah dipukul dan di potong?
    ada gak bibit aren hibrida atau unggul yang bisa menghasilkan nira yang banyak dan berkukalitas?bagaiman menyadap tandan betina ?
    Comment by lita — March 20, 2012 @ 1:03 am
  8. Daerah mana paling banyak penghasil ijuk?
    Comment by Made — June 20, 2012 @ 12:08 am

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a Reply

Follow

Get every new post delivered to your Inbox.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar