AgriBisnis Senin, 02 Jul 2012 07:04 WIB
Saat mencicipi hidangan
di sebuah rumah makan, mungkin banyak yang tak mau berpanjang pikir
mempertanyakan dari mana asal irisan buah jeruk nipis di air cucian
tangan yang sangat efektif menghilangkan aroma amis makanan yang
disajikan. Lebih jauh lagi, mungkin banyak orang yang tak tahu bagaimana
seorang petani jeruk di Desa Namuriam, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten
Deliserdang merawat tanaman ini dengan penuh telaten. Demi buah yang
seringkali menemani di saat makan, Setia Tarigan tak hirau untuk memetik
satu per satu buahnya dari pohonnya kemudian memasukkannya ke dalam
gerobaknya.
Setia
Tarigan adalah salah seorang petani jeruk nipis yang setiap hari rela
dibakar terik matahari yang panas meski tanpa bantuan seorang pun untuk
memetik buah jeruk nipisnya di lahannya yang mencapai 9.000 meter per
segi itu. Setia juga tak menyempatkan diri untuk pulang ke rumah untuk
makan siang.
Ia memilih makan siang di bawah pokok jambu air yang sengaja ditanam di tengah-tengah pokok jeruk nipis yang berusia sekitar 5 - 8 tahun. Menu makan siangnya sederhana, tidak seperti yang dihidangkan di rumah makan. Hanya nasi yang dibontot dari rumah di dalam rantang, sedikit sayur dan ikan kecil bakar yang baru saja ditangkapnya dari sungai kecil tak jauh dari ladangnya.
Ia bahkan membuat sambalnya dengan menghaluskannya di atas batu. "Di sini lah kita makan, dari pagi tadi saya di sini untuk menjaga tanaman dan memetik beberapa butir," katanya.
Setia mengatakan bahwa selama seminggu ini, tanaman jeruk nipisnya memberikan hasil yang lumayan banyak dari biasanya. Dalam sehari, rata-rata ia bisa memetik hingga 100 kilogram.
Angka ini menurutnya termasuk tinggi mengingat kondisi cuaca yang tidak menentu. Jeruk nipis, seperti halnya tanaman lain, tak bisa luput dari pengaruh baik buruknya cuaca yang ada.
"Untuk musim seperti sekarang ini, jumlah yang dipetik termasuk tinggi, karena biasanya di bawah angka 100 kg, bisa saja tak sampai separuhnya," katanya.
Sambil terus mengunyah makan siangnya, Setia menjelaskan bahwa setiap harinya, para agen pengumpul selalu datang untuk mengambil hasil panen petani untuk kemudian di jual di pasaran lokal maupun ke luar kota. Permintaan akan jeruk nipis, menurutnya tak pernah mengalami penurunan. Persoalan justeru berada di tingkat produksi yang kurang bisa memenuhi kebutuhan.
Dikatakannya, produksi buah mengalami masa trek dengan produksi minim atau bahkan tidak ada sama sekali, terjadi di bulan Maret - April dan akan mengalami puncak panen di bulan Agustus - September. Dari ladangnya ini, ia mengaku selama musim panen raya yang bisa berlangsung selama 2 - 3 mingu, jumlah panen bisa mencapai 1,5 ton.
Yang membuatnya merasa yakin untuk terus mengembangkan tanaman jeruk nipisnya dan tidak tergoda untuk merubah tanamannya adalah lantaran harga jual yang saat ini termasuk menguntungkan. Di tingkat petani sendiri, menurutnya bisa menjualnya dengan harga Rp 2.500 per kg.
Harga ini, kata dia, jauh lebih bagus daripada beberapa bulan yang lalu yang mana harga sempat jatuh mejadi di bawah Rp 1.000 per kg. Jatuhnya harga tersebut dikarenakan panen yang bersamaan dengan petani jeruk nipis dari daerah lain yang mana produknya masuk ke pasaran lokal.
Dengan demikian, agar buahnya laku, petani terpaksa menjual dengan harga rendah daripada mengalami kerugian lain dengan tidak menjualnya. "Ongkos produksi yang dikeluarkan petani mencapai sepertiga dari keuntungan yang akan didapat kalau musim panen," ujarnya.
Ia menjelaskan, di lahannya yang mencapai 9.000 meter, saat ini terdapat sebanyak lebih dari 500 pokok. Tanaman tersebut, umumnya berusia 3 - 5 tahun. Pada usia tersebut, tanaman akan memberikan buah yang maksimal. Produksi buah yang maksimal ditandai dengan jumlah buah yang bisa dipetik setiap harinya. "Ya, seperti dari tiap pokok sebenarnya bisa dipanen sebanyak 10 kilogram," katanya.
Angka panen tersebut menurutnya merupakan angka panen di luar musim panen raya. Saat di luar musim panen raya, paling tidak bisa menghasilkan buah sebanyak 1,5 ton sekali musim. Dengan harga yang tidak terlalu rendah dan juga tak terlalu tinggi, yakni Rp 2.500 per kg, paling tidak selama per tiga minggu ia mendapatkan laba sebesar Rp 3,5 juta.
Dalam setahun, menurutnya tanaman ini akan mengalami masa panen sebanyak 3 - 4 kali panen dengan sekali panen raya di bulan Agustus.
Sambil menyudahi makan siangnya, Setia mengajak berkeliling ladang dan menjelaskan bentuk hama penggerek batang menyerang dan bagaimana buah yang sudah layak untuk dipetik dan yang belum. Di tengah-tengah lahan jeruk nipis tersebut, ia juga mengatakan bahwa tanaman ini akan terus berproduksi maksimal hingga berumur 10 tahun dan kemudian harus diremajakan kembali.
"Ini merupakan tanaman berusia panjang yang dari sisi perawatan tidak rumit, tetapi juga tidak bisa disepelekan, karena keuntungan dari berbisnis jeruk nipis ini terletak pada ketelatenan menjaga kualitas pokok dan produksinya," katanya.(dewantoro)
Ia memilih makan siang di bawah pokok jambu air yang sengaja ditanam di tengah-tengah pokok jeruk nipis yang berusia sekitar 5 - 8 tahun. Menu makan siangnya sederhana, tidak seperti yang dihidangkan di rumah makan. Hanya nasi yang dibontot dari rumah di dalam rantang, sedikit sayur dan ikan kecil bakar yang baru saja ditangkapnya dari sungai kecil tak jauh dari ladangnya.
Ia bahkan membuat sambalnya dengan menghaluskannya di atas batu. "Di sini lah kita makan, dari pagi tadi saya di sini untuk menjaga tanaman dan memetik beberapa butir," katanya.
Setia mengatakan bahwa selama seminggu ini, tanaman jeruk nipisnya memberikan hasil yang lumayan banyak dari biasanya. Dalam sehari, rata-rata ia bisa memetik hingga 100 kilogram.
Angka ini menurutnya termasuk tinggi mengingat kondisi cuaca yang tidak menentu. Jeruk nipis, seperti halnya tanaman lain, tak bisa luput dari pengaruh baik buruknya cuaca yang ada.
"Untuk musim seperti sekarang ini, jumlah yang dipetik termasuk tinggi, karena biasanya di bawah angka 100 kg, bisa saja tak sampai separuhnya," katanya.
Sambil terus mengunyah makan siangnya, Setia menjelaskan bahwa setiap harinya, para agen pengumpul selalu datang untuk mengambil hasil panen petani untuk kemudian di jual di pasaran lokal maupun ke luar kota. Permintaan akan jeruk nipis, menurutnya tak pernah mengalami penurunan. Persoalan justeru berada di tingkat produksi yang kurang bisa memenuhi kebutuhan.
Dikatakannya, produksi buah mengalami masa trek dengan produksi minim atau bahkan tidak ada sama sekali, terjadi di bulan Maret - April dan akan mengalami puncak panen di bulan Agustus - September. Dari ladangnya ini, ia mengaku selama musim panen raya yang bisa berlangsung selama 2 - 3 mingu, jumlah panen bisa mencapai 1,5 ton.
Yang membuatnya merasa yakin untuk terus mengembangkan tanaman jeruk nipisnya dan tidak tergoda untuk merubah tanamannya adalah lantaran harga jual yang saat ini termasuk menguntungkan. Di tingkat petani sendiri, menurutnya bisa menjualnya dengan harga Rp 2.500 per kg.
Harga ini, kata dia, jauh lebih bagus daripada beberapa bulan yang lalu yang mana harga sempat jatuh mejadi di bawah Rp 1.000 per kg. Jatuhnya harga tersebut dikarenakan panen yang bersamaan dengan petani jeruk nipis dari daerah lain yang mana produknya masuk ke pasaran lokal.
Dengan demikian, agar buahnya laku, petani terpaksa menjual dengan harga rendah daripada mengalami kerugian lain dengan tidak menjualnya. "Ongkos produksi yang dikeluarkan petani mencapai sepertiga dari keuntungan yang akan didapat kalau musim panen," ujarnya.
Ia menjelaskan, di lahannya yang mencapai 9.000 meter, saat ini terdapat sebanyak lebih dari 500 pokok. Tanaman tersebut, umumnya berusia 3 - 5 tahun. Pada usia tersebut, tanaman akan memberikan buah yang maksimal. Produksi buah yang maksimal ditandai dengan jumlah buah yang bisa dipetik setiap harinya. "Ya, seperti dari tiap pokok sebenarnya bisa dipanen sebanyak 10 kilogram," katanya.
Angka panen tersebut menurutnya merupakan angka panen di luar musim panen raya. Saat di luar musim panen raya, paling tidak bisa menghasilkan buah sebanyak 1,5 ton sekali musim. Dengan harga yang tidak terlalu rendah dan juga tak terlalu tinggi, yakni Rp 2.500 per kg, paling tidak selama per tiga minggu ia mendapatkan laba sebesar Rp 3,5 juta.
Dalam setahun, menurutnya tanaman ini akan mengalami masa panen sebanyak 3 - 4 kali panen dengan sekali panen raya di bulan Agustus.
Sambil menyudahi makan siangnya, Setia mengajak berkeliling ladang dan menjelaskan bentuk hama penggerek batang menyerang dan bagaimana buah yang sudah layak untuk dipetik dan yang belum. Di tengah-tengah lahan jeruk nipis tersebut, ia juga mengatakan bahwa tanaman ini akan terus berproduksi maksimal hingga berumur 10 tahun dan kemudian harus diremajakan kembali.
"Ini merupakan tanaman berusia panjang yang dari sisi perawatan tidak rumit, tetapi juga tidak bisa disepelekan, karena keuntungan dari berbisnis jeruk nipis ini terletak pada ketelatenan menjaga kualitas pokok dan produksinya," katanya.(dewantoro)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus