Aren Indonesia
Siwi Nurbiajanti
Mengolah Gula Aren dengan Bantuan Panas Bumi
Laporan wartawan Siwi Nurbiajanti; Senin, 23 Februari 2009
Sumber: http://www.kompas.com/
PANAS BUMI, saat ini menjadi salah satu
energi alternatif yang terus dikembangkan di Indonesia. Energi tersebut
merupakan energi terbarukan dan berkelanjut an, serta ramah lingkungan.
Panas bumi di Indonesia berada dalam jalur vulkanik yang tersebar mulai
dari Aceh hingga Sulawesi Utara.
Sejak lebih dari 20 tahun yang lalu,
energi panas bumi di Indonesia telah dikembangkan untuk menghasilkan
energi listrik. Daerah-daerah yang berada dalam wilayah kerja
pengusahaan PT Pertamina Geothermal Energy meliputi Sibayak di Sumatera
Utara, Sungai Penuh di Jambi, Lumut Balai di Sumatera Selatan, Hululais
di Bengkulu, Kotamobagu dan Lahendong di Sulawesi Utara, Kamojan g di
Jawa Barat, serta Ulubelu di Lampung.
Dalam perkembangannya, saat ini energi
panas bumi tidak hanya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik,
tetapi juga untuk pengolahan pada industri makanan. Hal tersebut seperti
dilakukan di wilayah Lahendon g. Energi panas bumi dari wilayah
tersebut juga dimanfaatkan untuk mengolah gula aren di Pabrik Gula Aren
Masarang, Kota Tomohon, Sulawesi Utara.
Unit pengolahan gula aren Masarang mulai
dibangun sejak tahun 2004. Ketua Yayasan Masarang, Willie Smith, Ju mat
(20/2) mengatakan, panas bumi digunakan untuk semua proses pengolahan
gula aren. Uap dari energi panas bumi diperoleh secara cuma-cuma dari PT
Pertamina Geothermal Energy.
Menurut dia, pemanfaatan energi panas
bumi untuk mengolah gula aren, sangat mem bantu peningkatan pendapatan
sekitar 6.285 petani aren di wilayah tersebut. Pasalnya, aren merupakan
salah satu tanaman yang tumbuh secara produktif di wilayah Tomohon.
Selain itu, pemanfaatan panas bumi juga ikut membantu mencegah
terjadinya kerusakan al am, akibat pengambilan kayu di hutan secara
liar.
Smith mengatakan, sebelum berdiri pabrik
gula aren, petani aren memasak sendiri nira yang mereka dapatkan.
Rata-rata setiap petani membutuhkan 30 kilogram kayu bakar untuk memasak
nira segar. Apabila terdap at 3.500 petani yang memasak nira,
dibutuhkan sekitar 50.000 meter kubik kayu per tahun, atau setara dengan
200.000 pohon sedang per tahun. “Otomatis mereka mengambil dari hutan,
sehingga akan menimbulkan kerusakan lingkungan,” katanya.
Selain itu, siste m pengolahan nira aren
secara tradisional juga memiliki beberapa kelemahan. Pengolahan tersebut
tidak memiliki standar kebersihan, menggunakan produk campuran dengan
kadar bervariasi, serta tidak memiliki standar kualitas dan standar
bungkus.
Dengan meng gunakan panas bumi, berbagai
kelemahan tersebut dapat dihindarkan. Saat ini, produk gula aren dari
pabrik gula Masarang diekspor ke Eropa dengan harga sekitar Rp 110.000
per kilogram. Harga tersebut jauh lebih tinggi dari harga gula arean di
pasar lokal, yang hanya sekitar Rp 28.000 per kilogram.
Besarnya manfaat panas bumi pada industri
pengolahan gula aren juga diakui Direktur Pabrik Gula Aren Masarang,
Erwin Tanauma. Saat ini, pabrik gula tersebut mampu memproduksi sekitar
25.000 liter nira per hari, d engan jumlah tenaga kerja 35 orang. Volume
gula aren yang dihasilkan dari nira sebanyak itu mencapai sekitar tiga
ton per hari.
Menurut dia, petani menyerahkan nira ke
pabrik melalui koordinator kelompok tani. Perusahaan membeli nira
tersebut seharga Rp 1.000 per liter.
Koordinator petani aren Desa Gayawung,
Tomohon, Roli Muningka mengatakan, rata-rata setiap petani mampu
menghasilkan sekitar 50 hingga 300 liter nira per hari. Dengan menjual
melalui pabrik, penghasilan mereka jauh lebih besar bila diban dingkan
harus memasak sendiri nira tersebut.
Pasalnya, harga nira di pasar tradisional
sangat murah, hanya sekitar Rp 5.000 per kilogram. Kalau dimasak
sendiri, pendapatannya hanya separuh dari kalau dijual di pabrik,
katanya.
Koordinator petani Desa taratara,
Tomohon, Daniel Rawung mengatakan, penghasilan petani yang menjual nira
ke pabrik mencapai dua kali lipat bila dibandingkan petani yang memasak
sendiri nira mereka. Meskipun demikian, hingga saat ini, masih terdapat
beberapa petani yang memilih memasak nira sendiri.
Mereka terkendala jarak untuk menyetorkan
nira ke pabrik. Para petani tersebut menyadap nira pada pukul 06.00
hingga 09.00. Kami menginginkan agar nira sampai ke pabrik pada pukul
08.00, sementara ada petani yang jarak rumahnya jauh, katanya.
Manajer Enjinering Pertamina Geothermal
Energy Area Lahendong, Wawan Darmawan mengatakan, pemanfaatan panas bumi
secara gratis untuk pengolahan gula aren merupakan salah satu bentuk
tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan atau company s ocial
responsibility (CSR). Dengan upaya tersebut, hasil yang diperoleh lebih
besar bila dibandingkan dalam bentuk bantuan uang. Selain untuk
pengolahan gula aren, saat ini panas bumi juga mulai dikembangkan untuk
pengeringan kopra, cengkeh, dan vanili.
Leave a Comment »
No comments yet.RSS feed for comments on this post. TrackBack URI
Leave a Reply
Theme: Shocking Blue Green. Blog at WordPress.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar