Aren Indonesia
Berita 2007
Januari 2007
Presiden Resmikan Pabrik Gula Aren Pertama di Dunia
Laporan Wartawan Kompas Suhartono; Minggu, 14 Januari 2007 – 18:39 wib
Sumber: http://www2.kompas.com/
MANADO, KOMPAS – Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, Minggu (14/1) meresmikan Pabrik Gula Aren Kristal Masarang di
Kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon, Manado, Sulawesi Utara. Pabrik
seluas 2.200 meter2 di areal 7.000 meter2, yang melakukan ekspor
perdana ke Rotterdam, Belanda 12,5 ton gula aren itu, disebut-sebut
sebagai pabrik gula aren kristal pertama di Indonesia, bahkan di dunia.
Demikian disampaikan Presiden Yudhoyono
saat memberikan sambutan di acara peresmian pabrik dan ekspor perdana
Pabrik Gula Aren Masarang di Kelurahan Tondangow, Kecamatan Tomohon
Selatan, Kota Tomohon, Manado. Pabrik ini dimiliki Yayasan Masarang,
dengan Ketua-nya Willy Smith, seorang warga Belanda yang telah menikah
dengan wanita Indonesia.
Hadir dalam kesempatan itu Menko Kesra
Aburizal Bakrie, Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan Gubernur Sulut
SH Sarundajang, dan Duta Besar Belanda di Indonesia Nicolaus Van Dam,
serta Wali Kota Tomohon Jefferson Rumajar. Seusai peresmian, Presiden
menyempatkan diri berdialog dengan 4.000 petani gula aren Tomohon.
“Pabrik gula aren ini selain dapat
menambah produksi gulan secara nasional, juga dapat menambah devisa
negara dan mencipatkan lapangan kerja baru, serta memberdayakan petani
gula aren serta membangkit pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, pabrik
gula aren ini harus dikelola dengan baik dan dikembangkan lagi di
sejumlah wilayah lainnya,” kata Presiden.
Menurut Presiden, pabrik gula aren ini
merupakan simpul baru bagi pertumbuhan ekonomi di sebuah wilayah. “Saya
mendukung dan pemerintah mendorong pabrik gula aren ini menjadi industri
gula aren di tempat-tempat lainnya, agar menjadi andalan,” tambah
Presiden.
Aburizal Bakrie dalam sambutannya
menyatakan, menyusul berdirinya pabrik gula aren Masarang ini,
pemerintah juga mendorong berdirinya 10 pabrik gula aren baru di wilayah
lainnya. “Karena bahan bakunya banyak tersedia sehingga bisa membuka
peluang pendapatan baru petani dan juga pengusaha,” tandas Aburizal.
Pabrik yang dibangun dengan investasi
senilai Rp 8,6 miliar lebih, dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 38
orang. Kapasitas produksi diperkirakan kurang lebih 1 ton per hari.
Pabrik ini menggunakan bahan baku nira yang dihasilkan dari pohon enau,
yang banyak tumbuh di Manado dan wilayah Indonesia lainnya. Pendirian
dan teknologi pabrik ini dibantu oleh mantan Menteri Pertanian Bungaran
Saragih.
Dalam kesempatan itu, secara simbolis
Presiden juga meresmikan empat proyek lainnya, yaitu Studio Televisi TV 5
Dimensi milik Kota Tomohon dengan investasi Rp 3 miliar, Depot logistik
Pulau Miangas, Kabupaten Sangihe dengan investasi Rp 666 juta, sebagai
gudang perbekalan bahan pokok pada daerah perbatasan Indonesia-Filipina.
Juga Depot logistik Pulau Marore, Kabupaten Talaud, dengan investasi Rp
663 juta sebagai gudang perbekalan bahan pokok juga pada wilayah
perbatasan.
Sebelumnya, seusai mendengar paparan
Gubernur Sulut setibanya dari Cebu, Filipina, Presiden Yudhoyono
menyatakan mendukung sepenuhnya rencana pelaksanaan pertemuan
internasiona kepala-kepala negara yang mempunyai wilayah laut dan pantai
atau World Ocean Summit (WOS) 2009 di Manado.
Presiden SBY Resmikan Pabrik Gula Aren Masarang
Sumber: http://www.tomohononline.com/ Selasa, 16 Januari 2007
Tondangow – Presiden Indonesia, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) hari Minggu (14/01/07), meresmikan pabrik gula
aren di Desa Tondangow, Tomohon Selatan. Pabrik yang didirikan oleh
Yayasan Masarang di bawah pimpinan Syennie Watoelangkow dan suaminya
Dr. Ir. Willie Smith ini dibangun dengan anggaran Rp. 8 Miliar lebih.
Pabrik ini mengolah air nira (saguer dalam bahasa Manado) yang berasal
dari pohon Enau (Pohon Seho dalam bahasa Manado) menjadi gula aren.
Acara peresmian diawali dengan sambutan
oleh Gubernur Sulawesi Utara, Drs. Sinyo H. Sarundajang dan Menko Kesra,
Ir. Aburizal Bakrie. Presiden SBY sendiri dalam sambutannya mengatakan
bahwa ia sangat menghargai berdirinya pabrik gula aren di Tomohon ini.
Sebab dengan beroperasinya pabrik ini berarti membuka lapangan
pekerjaan, sekaligus dapat meningkatkan penghasilan para petani. Dan
pada gilirannya akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Tomohon.
“Atas nama pemerintah dan bangsa
Indonesia, saya mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Masarang,
Walikota Tomohon, Gubernur Sulawesi Utara dan Menteri Pertanian yang
telah bahu membahu untuk mendirikan pabrik gula aren ini,” ujar Presiden
SBY.
Dalam kesempatan ini juga, Presiden SBY melepas ekspor perdana gula aren ke Belanda.
Selain meresmikan pabrik gula aren,
Presiden SBY yang datang bersama Ibu Ani Yudhoyono, juga meresmikan
beroperasinya TV5 Dimensi Tomohon, Depot Logistik di Marore dan Miangas.
Usai acara peresmian, Presiden berdialog
dengan para petani aren di Tomohon. Total petani aren berjumlah sekitar
4000 orang yang terbagi dalam 350 kelompok tani. (joudy)
Pertamina Pasok Uap Panas Bumi untuk Pabrik Gula Aren Masarang
Sumber: MEDIA PERTAMINA, Edition No. 4/XLIII , 22 Januari 2007; http://www.pertamina.com/
Pertamina Area Geothermal Lahendong
memasok uap panas bumi secara cuma-cuma untuk industri pabrik gula aren
Masarang di Tomohon, Sulawesi Utara. Pasokan ini merupakan bentuk
kontribusi Pertamina terhadap pertumbuhan ekonomi dan memberikan dampak
peningkatan kesejahteraan dan menurunkan angka pengangguran di sekitar
area operasi.
Direktur Utama Pertamina Geothermal
Energy Bambang Kustono menegaskan bahwa Pertamina memasok uap sebesar 4
ton per jam. ?Ini merupakan community development Pertamina,? ujarnya
kepada redaksi BP di Lahendong, Minggu (14/1).
Bambang Kustono menegaskan energi panas bumi tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Ia menjelaskan bahwa saat ini sudah mulai dilaksanakan pemanfaatan panas bumi untuk pemakaian langsung seperti pengeringan gula aren dan yang sedang dikembangkan adalah untuk mengeringkan kopra.
Pabrik Gula Aren yang dikelola yayasan Masarang diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Tomohon Sulawesi Utara, Minggu (14/1). Pabrik ini merupakan pabrik gula aren pertama di Indonesia dan pabrik gula aren pertama yang menggunakan energi panas bumi di dunia.
Pada kesempatan tersebut Presiden menegaskan agar semua pihak mendukung upaya mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan daya beli rakyat, dan membangun kembali ekonomi Indonesia. Pada kesempatan yang sama diluncurkan ekspor produk gula aren perdana ke Amsterdam dengan jumlah 12,6 ton. Harga jual gula aren diperkirakan mencapai 96 ribu rupiah per kilogram.
Pabrik ini memiliki kapasitas produksi terpasang sebesar 2,5 ton per hari. Tetapi saat ini baru beroperasi satu ton per hari dengan 35 orang pekerja yang bekerja satu shift. Direktur Pabrik Gula Aren Masarang Albert K Mait mengatakan ke depan dimungkinkan untuk beroperasi penuh dalam tiga shift kerja.
Bambang Kustono menegaskan energi panas bumi tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Ia menjelaskan bahwa saat ini sudah mulai dilaksanakan pemanfaatan panas bumi untuk pemakaian langsung seperti pengeringan gula aren dan yang sedang dikembangkan adalah untuk mengeringkan kopra.
Pabrik Gula Aren yang dikelola yayasan Masarang diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Tomohon Sulawesi Utara, Minggu (14/1). Pabrik ini merupakan pabrik gula aren pertama di Indonesia dan pabrik gula aren pertama yang menggunakan energi panas bumi di dunia.
Pada kesempatan tersebut Presiden menegaskan agar semua pihak mendukung upaya mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan daya beli rakyat, dan membangun kembali ekonomi Indonesia. Pada kesempatan yang sama diluncurkan ekspor produk gula aren perdana ke Amsterdam dengan jumlah 12,6 ton. Harga jual gula aren diperkirakan mencapai 96 ribu rupiah per kilogram.
Pabrik ini memiliki kapasitas produksi terpasang sebesar 2,5 ton per hari. Tetapi saat ini baru beroperasi satu ton per hari dengan 35 orang pekerja yang bekerja satu shift. Direktur Pabrik Gula Aren Masarang Albert K Mait mengatakan ke depan dimungkinkan untuk beroperasi penuh dalam tiga shift kerja.
PELESTARIAN ALAM
Direktur Pabrik Gula Aren Masarang Albert K Mait mengatakan bahwa pabrik ini dapat didirikan karena ada akses kerjasama dengan Pertamina untuk pasokan uap panas bumi. Keuntungan dari pemanfaatan panas bumi yang dipasok Pertamina, pabrik tersebut dapat menghemat bahan bakar yang sangat besar dan membantu pelestarian lingkungan.
Menurutnya, untuk proses selama satu jam jika dilakukan secara tradisional bisa menghabiskan 20 kilogram kayu bakar. Apalagi jika dikalikan sebanyak 3.500 petani anggota kami yang melakukan kegiatan tersebut secara serentak maka kayu bakar yang dibutuhkan bisa mencapai 7.000 kilogram per hari dan ini berpotensi merusak lingkungan.
?Kita mensyukuri panas bumi dari Pertamina bisa membantu petani di Tomohon,? ujarnya.
Sebelum ada pabrik, masyarakat biasanya menjual aren hasil sadapan ke para pembeli namun tidak memiliki kepastian berapa jumlah yang akan dibeli. Sekarang, berapapun jumlah liter aren yang dihasilkan akan dibeli oleh pabrik. Sehingga timbul kecenderungan petani akan berlomba untuk menanam pohon aren karena telah terbukti hasilnya.
Produk samping dari pemrosesan gula aren di pabrik ini adalah ethanol yang kadarnya mencapai 70 persen dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM.
Direktur Pabrik Gula Aren Masarang Albert K Mait mengatakan bahwa pabrik ini dapat didirikan karena ada akses kerjasama dengan Pertamina untuk pasokan uap panas bumi. Keuntungan dari pemanfaatan panas bumi yang dipasok Pertamina, pabrik tersebut dapat menghemat bahan bakar yang sangat besar dan membantu pelestarian lingkungan.
Menurutnya, untuk proses selama satu jam jika dilakukan secara tradisional bisa menghabiskan 20 kilogram kayu bakar. Apalagi jika dikalikan sebanyak 3.500 petani anggota kami yang melakukan kegiatan tersebut secara serentak maka kayu bakar yang dibutuhkan bisa mencapai 7.000 kilogram per hari dan ini berpotensi merusak lingkungan.
?Kita mensyukuri panas bumi dari Pertamina bisa membantu petani di Tomohon,? ujarnya.
Sebelum ada pabrik, masyarakat biasanya menjual aren hasil sadapan ke para pembeli namun tidak memiliki kepastian berapa jumlah yang akan dibeli. Sekarang, berapapun jumlah liter aren yang dihasilkan akan dibeli oleh pabrik. Sehingga timbul kecenderungan petani akan berlomba untuk menanam pohon aren karena telah terbukti hasilnya.
Produk samping dari pemrosesan gula aren di pabrik ini adalah ethanol yang kadarnya mencapai 70 persen dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM.
PENGEMBANGAN POTENSI PANAS BUMI
Potensi panas bumi Indonesia mencapai 27 ribu MW. Saat ini Pertamina mengoperasikan tiga area panas bumi di Sibayak, Kamojang, dan Lahendong yang total kapasitas terpasang mencapai 162 MW.
Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy Bambang Kustono dalam kesempatan tersebut menegaskan ke depan di Lahendong akan dikembangkan sebesar 40 MW. Selain itu juga akan dilakukan pengeboran eksplorasi di Kotamubagu dan Tompaso di Sulawesi Tenggara.
Untuk mendukung pengembangan energi panas bumi di Indonesia, dibutuhkan adanya dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah sehingga perkembangan bisnis ini bisa berjalan lebih cepat.
Potensi panas bumi Indonesia mencapai 27 ribu MW. Saat ini Pertamina mengoperasikan tiga area panas bumi di Sibayak, Kamojang, dan Lahendong yang total kapasitas terpasang mencapai 162 MW.
Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy Bambang Kustono dalam kesempatan tersebut menegaskan ke depan di Lahendong akan dikembangkan sebesar 40 MW. Selain itu juga akan dilakukan pengeboran eksplorasi di Kotamubagu dan Tompaso di Sulawesi Tenggara.
Untuk mendukung pengembangan energi panas bumi di Indonesia, dibutuhkan adanya dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah sehingga perkembangan bisnis ini bisa berjalan lebih cepat.
Februari 2007
Sumut Kembangkan Gula Aren Rakyat
Sumber: Kompas, Jumat, 02 Februari 2007; http://www2.kompas.com/
Dinas Perkebunan Sumatera Utara segera mengembangkan gula aren rakyat menyusul diterimanya dana bantuan dari pemerintah pusat senilai Rp 9,5 miliar bulan lalu. Dana itu akan digunakan untuk pembangunan delapan paket pengolahan gula aren menjadi gula semut atau brown sugar.
“Kalau disetujui pemerintah pusat,
delapan paket bantuan itu akan kami jadikan dua sentra pengolahan aren,
yakni di Karo dan Tapsel. Sementara ini kami masih menunggu juklak dari
pemerintah pusat,” kata Batara.
Batara memilih Kabupaten Karo dan
Tapanuli Selatan sebagai sentra pengolahan aren mengingat kawasan itu
merupakan produsen aren terbesar di Sumut. “Kapasitas masing-masing
mesin sangat besar. Jika ditempatkan di daerah lain, dikhawatirkan tidak
bisa digunakan dengan maksimal,” kata Batara.
Selama ini baru 10 persen nira tanaman
aren di Sumut yang diolah menjadi gula merah. Sebagian masih diproduksi
untuk diolah menjadi tuak. Selain karena faktor budaya, petani lebih
mudah memproduksi tuak dibandingkan memproduksi gula aren. Meskipun
harga gula aren mencapai 14.000 per kilogram, pengolahannya relatif
sulit. Tuak juga gampang diperjualbelikan.
Mesin bantuan itu direncanakan dikelola
kelompok petani supaya petani bisa langsung memproduksi gula semut yang
kini banyak diminati, terutama di hotel berbintang. Permintaan gula
semut tinggi, karena kadar sukrosa dalam gula merah relatif lebih rendah
dibandingkan dengan gula pasir.
Tiap tahun Sumatera Utara mampu
memproduksi 2.708 ton gula aren dari lahan sekitar 4.400 hektar.
Produktivitas gula mencapai 777 kilogram per hektar, per tahun, dengan
jumlah petani aren mencapai 25.078 keluarga. Tanaman ini mudah tumbuh
dan dikembangkan warga. “Angka yang ada itu baru 10 persen dari potensi
yang ada di Sumut,” ungkap Batara.
Menurut Badan Pusat Statistik, selain dua
daerah itu, penghasil aren terbesar di Sumut antara lain Simalungun,
Mandailing Natal, dan Deli Serdang. (wsi)
Maret 2007
Yayasan Nurul Ilmi Tertarik Budidaya Aren
Sumber: http://www.dprdkutaikartanegara.go.id/12/03/2007 09:55 WITA
Dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
baru mencapai kurang lebih Rp48 Milyar, kondisi perekonomian Kutai
Karatanegara memang rentan dan beresiko. Keuangan selama ini hanya
ditopang oleh bagi hasil migas antara Pusat dan Daerah, padahal cadangan
gas bumi akan mencapai posisi kritis sekitar 15 tahun ke depan, tanpa
kesiapan dan program unggulan tentu akan menjadi daerah yang terhempas
peekonomiannya apabila prakiraan ini menjadi kenyataan.
Terkait dengan itu Yayasan Nurul Ilmi,
yang bergerak dibidang pendidikan dan pemberdayaan, melakukan penjajagan
bersama Yayasan Masarang yang diketuai Dr Ir Willie Smits di Samboja
belum lama ini. Mereka mencari gambaran komiditi apa yang cocok untuk
menopang kegiatan ekonomi, di tengah upaya mencerdaskan generasi muda.
Pembina Yayasan, Saiful Aduar SPd, yang
juga Sekretaris Komisi I dalam pertemuan itu kepada Willie Smits
menjelaskan, pihaknya ingin mencari dukungan dan kerjasama dibidang
pemberdayaan pendidikan, guna meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia
(SDM) di daerah, sehingga tercipta mutu pendidikan prima ditopang
potensi ekonomi yang kuat.
Niat Nurul Ilmi segera saja disambut
hangat oleh Willie, laki-laki berdarah Belanda ini menjelaskan, sejalan
dengan bidang yang digelutinya selama 25 tahun ini dan statusnya
sekarang sebagau staf ahli presiden, solusi bagi Kutai adalah
penggalakan tanaman aren.
Hal itu sejalan dengan rencana kerja sama
Yayasan Masarang dengan Pemkab, untuk membangun pabrik gula merah
modern, seperti yang telah ada di Tomohon Sulawesi Utara. Saat ini ada 6
ribu petani aren setempat yang telah menikmati keberadaan pabrik,
dengan penghasilan mencapai Rp6 ribu rupiah perhari setiap orangnya.
Kelebihan komoditi aren adalah kandungan
Nira yang dapat menghasilkan gula sehat, dan mampu mencegah penyakit
seperti kencing manis, asam urat dan obesitas. Bahkan berdasarkan
penelitiannya selama 25 tahun di Kabupaten Minahasa, angka harapan hidup
warga setempat yang mengkonsumsi gula merah meningkat hingga 12 tahun.
Produk semacam ini sangat baik di pasaran
eropa, sehingga memberikan peningkatan kesejahteraan warga, serta
mengurangi kerusakan hutan akibat perambahan dan penebangan liar yang
motif utamanya rata-rata memang persoalan ekonomi.
Bahkan jika dibandingkan dengan sawitpun,
Aren tetap jauh lebih untung, karena tidak perlu membabat hutan, serta
nilai ekonomis yang lebih tinggi karena efisiensinya. Apalagi dengan
pabrik pengolahan moderen, akan menghasilkan perbaikan lingkungan karena
bahan bakarnya adalah limbah sisa olahan kayu yang banyak teronggok
sia-sia di tepai Sungai Mahakam.
Berdasarkan keterangan itu, Saiful Aduar
yang didampingi Ketua dan Pengurus Yayasan, Sunarno SPd dan Ilwansyah,
mengaku tertarik. Pihaknya akan mencoba melakukan penjajagan lebih
lanjut serta melakukan pengkajian lahan, apakah cukup memungkinkan untuk
penanaman Aren dalam jumlah cukup besar.
Meski berbasis utama pendidikan namun
potensi ekonomi semacam ini tidak akan dibiarkan begitu saja. Pasalnya
Nurul Ilmi yang bergerak di padanan Sekolah Islam Terpadu dan Jaringan
Sekolah Islam Terpadi (JSIT), sangat respon terhadap upaya-upaya
pemberdayaan SDM dan kemandirian ekonomi.
Saiful menegaskan, apabila ada sebuah
jalan untuk mandiri secara ekonomi dan memberikan nilai positif kepada
masyarakat sekitar, kenapa tidak dilakukan upaya penjajagan. Tidak
mungkin tentunya apabila setiap yayasan hanya mengharapkan dana iuran
murid dan pemerintah saja dalam beroperasi.
“Kita akan melakukan penjajagan terhadap
kemungkinan penanaman aren, dilahan-lahan yayasan. Pada dasarnya saat
ini kami sangat tertarik,” kata Saiful. (rin)
Aren Untuk Masa Depan Kutai Kartanegara
Sumber: dprdkutaikartanegara.go.id – 12/03/2007 ; http://www.dprdkutaikartanegara.go.id/bacawarta.php?id=786
Hampir semua masyarakat asli Kutai
Kartanegara, mengenal dengan baik tumbuhan Aren, biasanya dipanggil
dengan bahasa lokal, yaitu Puhun Benda. Bernama ilmiah Arenga pinnatae
dan masuk dalam famili Arecaceae (Palmae), banyak dimanfaatkan penduduk
untuk membuat sapu ijuk, gula merah, tuak dan cuka, serta kadang-kadang
dimanfaatkan sagunya sebagai penganan alternatif.
Meskipun telah lama dikenal sebagai
tumbuhan produktif, namun belum ada upaya nyata ke arah pelestariannya.
Demikian pula masyarakat yang berprofesi sebagai pembuat gula merah,
meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi masih mengandalkan pada Aren
yang tumbuh secara alami, belum terpikirkan untuk melakukan penanaman
secara langsung, ataupun penyeleksian bibit.
Padahal tumbuhan yang seringkali
dipandang sebelah mata ini, ternyata menyimpan potensi ekonomi yang luar
biasa jika digarap secara optimal. Nira ( Air Aren) tidak hanya dapat
diolah menjadi gula merah untuk pasaran lokal saja, tetapi bernilai
lebih jika diolah dengan pabrik modern, sehingga mampu menjadi komoditas
eskspor unggulan non migas.
Seperti diungkapkan Dr Ir Willie Smits
Staf Ahli Presiden Bidang Pengembangan Aren Nasional. Bukan tidak
mungkin hal ini akan menjadi solusi Kutai di masa datang dan merupakan
masa depan andalan dalam masalah keuangan daerah.
Berbicara kepada Saiful Aduar SPd Anggota
DPRD Kutai Kartanegara, di Kantor Yayasan Borneo Orang Utan Survival
(BOS), di Kecamatan Samboja Jumat (9/3) lalu. Pria ramah itu menegaskan,
ada banyak keunggulan Aren jika dibanding dengan tanaman pilihan
lainnya, seperti sawit yang selama ini menjadi program andalan.
Tidak seperti sawit yang harus disediakan
lahan lapang dengan luas ratusan hingga ribuan hektar, Aren hanya perlu
disediakan lahan pekarangan, ataupun kebun saja, sifatnya yang selalu
survive dalam tumbuh, akhirnya menunjang dengan baik untuk perbaikan
lahan-lahan kritis.
Bahkan pohon yang dapat mencapai tinggi
hingga 25 meter tersebut, dapat menjadi solusi bagi lereng-lereng
perbukitan rawan longsor, dengan akar serabut yang dapat mencengkram
tanah hingga kedalaman 6 meter, aren kokoh berdiri di kawasan yang belum
kta bayangkan.
Berdasarkan penelitian yang berulang kali
dilakukan, kawasan Tenggarong hingga Ulu Mahakam sangat cocok untuk
pengembangannya. Karena itu Pembina Yayasan BOS tersebut berencana akan
membangun sebuah pabrik pengolahan gula aren di Kukar. Rencananya pabrik
akan dibangun secara terapung, sehingga dapat bergerak mengikuti
pasokan nira petani serta ketersediaan bahan pabrik.
Khusus untuk bahan bakar pabrik, Willie
telah memiliki konsep di Kukar, yakni dengan menggunakan sisa-sisa
sampah organik kayu, yakni serbuk gergaji dari ratusan bekas sawmill
yang telah berhenti operasi, di tepi Sungai Mahakam.
Dengan cara demikian bukan hanya
kebutuhan bahan bakar pabrik dapat dipertahankan, tetapi juga
menyelematkan Aliran Sungai Mahakam dari pencemaran, akibat limbah
gergaji kayu tersebut. Upaya itu juga akan mendapatkan perhatian
internasional, bahkan akan diberikan reward lantaran telah bekerja
secara ramah lingkungan.
Guna mendapatkan Nira yang bermutu
tinggi, masyarakat penyadap Aren akan diberikan pelatihan bagaimana cara
penyadapan yang baik. Sebagai bagian dari layanan pabrik, akan
dikerahkan unit-unit mobil dan kapal tangki untuk menjemput nira-nira
para petani di titik- titik point yang telah ditentukan.
Sebagai prediksi awal berdasarkan
ketersediaan pohon aren, dan sentra-sentra pengolahan gula merah
tradisional, Willie memprediksi pembukaan pabrik jika terealisasi akan
membuka 10 ribu lapanga tenaga kerja baru, dan akan menghidupi ribuan
orang lainnya.
Hal itu didasarkan pada pengalaman di
Tomohon Sulawesi Utara. Di daerah itu telah berdiri sebuah pabrik
moderen pengolahan gula aren. Jenis-jenis gula yang dihasilkan beragam,
ada gula semut, gula kristal dan gula batangan yang sama dengan gula
merah tradisional, tetapi hasil produksinya bersih, sesuai standar
masyarakat ekonomi eropa.
Operasional di bawah panji Yayasan
Masarang, beberapa tahun lalu, pabrik tersebut kini telah memproduksi 3
ton gula merah perhari, dengan jumlah tenaga kerja mencapai 6 ribu
orang, dan penghasilan perorang sebesar Rp60 ribu setiap hari, itupun
belum termasuk bagi keuntungan sebesar 1 persen dari perusahaan kepada
anggota setiap tahunnya.
Menurut Willie pasaran gula aren ini,
sekali operasional dan berjalan tidak pernah ada ruginya. Hal itu karena
permintaan pasar eropa sangat tinggi, terutama gula semut harga jual di
negara-negara eropa dapat mencapai Rp90 ribu ke atas, dan harga gula
kristal Rp20 ribu perkilogram.
Jika dikaitkan dengan Gerakan Pembangunan
dan Pemberdayaan Kutai Kartanegara (Gerbang Dayaku), maka optimalisasi
aren ini sejalan dan merupakan kunci sukses di masa datang. Apalagi
hingga saat ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkisar puluhan
milyar saja, tentu tidak akan merugi apabila mampu melakukan ekspor gula
aren ke luar negeri. (rin)
April 2007
Pngembangan Nira Aren Sebagai Bahan Baku Komoditi Ekspor dan BBN Alternatif di Daerah
Sumber: http://ristek.go.id/; Senin,30 April 2007 15:09
Bahwasanya kepulauan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dilimpahi kekayaan Nabati yang luar biasa,
salah satunya adalah tumbuh suburnya tanaman Aren, Nipah, Lontar dan
Kelapa di perbagai pelosok nusantara, yang kita ketahui dapat memberikan
Nira yang mengandung gula (Sukrosa), dimana secara tradisional Nira
dimanfaatkan masyarakat untuk membuat gula tradisional dan banyak
disalahgunakan menjadi minuman keras berkadar alkohol tinggi melalui
proses fermentasi dan distilasi sederhana.
Melalui pemanfaatan Iptek, peneliti
Universitas Sam Ratulangi, bersama-sama ± 3000 petani Nira Aren dan
didukung sebuah LSM di Tomohon, Sulawesi Utara berhasil memanfaatkan
Nira Aren sebagai komoditi unggulan daerah berkualitas ekspor kristal
gula semut 3,5 ton/hari ke Eropa, dan dengan fasilitasi Kementerian
Negara Riset dan Teknologi sedang mengembangkan peralatan proses
pemanfaatan sisa molases menjadi bioethanol 85 % yang akan kemudian
dikembangkan menjadi FGE (Fuel Grade Ethanol) sebagai bahan bakar
nabati.
Produktifitas Nira Aren sepanjang tahun
rata-rata 25 liter/hari/pohon memiliki kadar gula 12 % dengan potensi
bioetanol murni 1,5 liter/pohon/hari maka dalam satu tahun dapat
diperoleh bioetanol murni (fuel grade ethanol FGE) 547 liter
FGE/tahun/pohon. Kabupaten Minahasa Selatan merupakan sentra aren
terbesar diperkirakan mempunyai ± 2 juta pohon diperhitungkan dapat
menghasilkan ± 8.000.000 liter bioetanol sulingan tradisional berkadar ±
35 % dan dimanfaatkan secara seimbang sebagai bahan baku gula merah
aren, pada saat ini diperkirakan 50 % potensi aren belum termanfaatkan
secara optimal.
Deputi Program Riptek DR Bambang Setiadi
didampingi peneliti Nira Aren DR Julius Pontoh dari UNSRAT berkenan
meninjau peralatan Iptek yang sedang dalam pengembangan dimanfaatkan di
pabrik gula Masarang Tomohon pada tanggal 25 April 2007 disertai Asdep
Program Tekno Ekonomi Hari Purwanto (yang sedang melakukan kajian tekno
ekonomi potensi Nira Aren Nasional) telah melakukan diskusi berbagai
topik diantaranya BBN, pemanfaatan CDM pemanfaatan Geothermal Lahendong
dengan Direktur pabrik gula Masarang, Pengurus Yayasan Masarang dan
Ketua Kelompok petani Aren setempat.
Sentra Nira Aren diperkirakan dapat
dikembangkan di beberapa daerah terutama Sulawesi Utara (Kab. Minahasa
Utara dan Kabupaten Minahasa Selatan), NTT, Bengkulu, Sumatera Utara,
Banten, Jawa Timur dan Jawa Tengah sehingga diharapkan pengembangan Nira
Aren tidak hanya memberikan kontribusi terhadap nilai akademis bagi
para peneliti/dosen, juga memberikan sumbangan insentif riil pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat petani Nira di daerah khususnya
sentra-sentra Nira. Semoga melalui program ini memberikan kontribusi
nyata bagi keberhasilan program triple track pemerintah yaitu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas lapangan pekerjaan dan
mengentaskan kemiskinan. (Dep.Prog/AD-PTE/ humasristek)
REJANG LEBONG BUTUH PABRIK GULA AREN
Sumber: Kompas (30/04/2007, 13:31:45)
Bengkulu, Kompas – Gula aren yang menjadi
salah satu primadona Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, dalam
waktu dekat ditargetkan merambah pasar nasional. Terkait dengan itu,
Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong dewasa ini tengah menjajaki kerja
sama dengan investor untuk membangun pabrik pengolahan gula aren untuk
menjadi gula kristal yang peluang pasarnya lebih luas.
Wakil Bupati Rejang Lebong Iqbal Bestari
yang dihubungi di Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong, Jumat (27/4),
mengungkapkan, pada saat ini dalam seminggu berton-ton gula aren
produksi Rejang Lebong dipasarkan ke Kota Bengkulu dan sejumlah kota di
luar Bengkulu, misalnya ke Palembang dan Lubuk Linggau, Sumatera
Selatan.
“Pemkab Rejang Lebong belum memiliki data
konkret berapa ton gula aren dari daerah ini yang dipasarkan ke luar
daerah saban hari. Namun bisa dipastikan jumlahnya lebih dari satu ton
sehari karena produksi gula aren Rejang Lebong sejak dulu memang sudah
melimpah. Bahkan selain sayur-sayuran segar, karena produksinya banyak,
maka gula aren tersebut kini sudah menjadi salah satu primadona yang
dihasilkan daerah ini,” kata Iqbal.
Dia menyebutkan, lebih dari 500 keluarga
Rejang Lebong sekarang terlibat dalam pengolahan gula aren. Sentra
produksi gula aren ini tersebar di beberapa kawasan, antara lain di
Kecamatan Selupu Rejang dan Padang Ulak Tanding.
Karena iklim dan topografi yang
mendukung, kawasan Rejang Lebong ternyata menjadi daerah subur tempat
tumbuhnya pohon aren. Pohon penghasil nira sebagai bahan baku gula aren
ini sampai sekarang hanya tumbuh alami dan belum dibudidaya secara
terprogram.
Menurut Iqbal, secara tradisional yang
dihasilkan perajin gula di Rejang Lebong selama ini baru berupa gula
aren dengan kemasan sangat sederhana. Padahal dengan ketersediaan bahan
baku gula aren yang melimpah, seyogianya daerah ini dapat menghasilkan
gula aren jenis lain, misalnya gula kristal yang bahan baku utamanya
juga dari nira atau aren. (ZUL)
Mei 2007
Investor Pembuat Etanol Masuk Minsel dan Mitra
Sumber: SulutNews, 3 Mei 2007
sulutNews, AMURANG – Kabar baik kembali
diterima para petani aren di Sulut, lebih khusus di Minahasa Selatan dan
Minahasa Tenggara. Pasalnya, sekarang ini investor yang bergerak dalam
bidang pembuatan etanol (bahan peng-ganti BBM), yang bahan baku utamanya
adalah air nira atau se-ring dikenal dengan saguer, siap bekerjasama
dengan Pemkab Minsel.
Investor yang berasal dari Kalimantan
ini, yaitu PT Blue, berencana akan bekerjasama dengan Perusahaan Daerah
(PD) Minsel dalam pembuatan etanol tersebut. “Ini merupakan angin segar
bagi petani aren di Sulut lebih khusus Minsel dan Mitra. Sebab, PT Blue
juga akan inves-tasi dalam hal penanaman (budidaya) aren. Melihat
peluang ini, itu berarti masa depan daerah kita akan seperti Brunei
Darussalam dan Kuwait,” kata personel DPRD Minsel, Johanis Jangin SE,
yang merupakan orang yang mendatangkan para investor ini.
Sementara itu, menurut salah satu wakil
dari PT Blue tadi, Gustav Oehmke, hasil penelitian Prof Arief dari pihak
BPPT yang menjadi konsultan PT Blue, mengatakan bahwa potensi aren dan
kualitas aren di Sulut sangat luar biasa. “Prospek ke depan untuk Sulut
secara ekonomi akan cerah karena akan menjadi daerah penghasil
etanol/BBM terbesar di Indonesia. Dengan catatan, pemerintah dan
masyarakat Sulut merespon peluang ini dengan menanam secara
besar-besaran pohon aren,” ujar Gustav.
Rombongan investor ini sendiri, menurut
Jangin, sudah bertemu dengan Wakil Bupati Minsel, Ventje Tuela, dan
mendapat sambutan positif, dengan petunjuk bekerjasama dengan pihak PD
Minsel dan beberapa pengusaha dan petani aren di Minsel dan Mitra.
Sumber: http://webmail.sulut.go.id/new/isi.php?vd=berita&id=17
Aren Perdana Nurul Ilmi
Sumber: dprdkutaikartanegara.go.id – 21/05/2007 ; http://www.dprdkutaikartanegara.go.id/bacawarta.php?id=852
Tekad Saiful Aduar SPd, Sekretaris Komisi
I DPRD Kutai Kartanegara, untuk meningkatkan taraf ekonomi rakyat,
melalui budidaya tumbuhan Aren jenis unggul, bukan main-main. Bersama
Yayasan Nurul Ilmi yang didirikannya sejak 2001 lalu, Jumat (18/5)
melaksanakan penanaman perdana di kawasan Melabang, Desa Loa Tebu
Kecamatan Tenggarong.
Hadir dalam acara tersebut, Dr. Ir. Willie Smits, peneliti sekaligus
pendiri pabrik gula Aren pertama di Indonesia. Dengan penanaman perdana
ini, pihak yayasan berharap, akan memberikan terobosan sektor unggulan
baru, di bidang ekonomi kerakyatan, sebagai pengganti tambang.
Langkah ini diilhami kondisi keuangan
Kutai Kartanegara, yang terlalu bertumpu pada komoditas tambang, padahal
sektor ini suatu saat akan habis dan tidak dapat diperbaharui lagi.
Sehingga perlu adanya sebuah terobosan, sebagai alternatif ekonomi di
Kutai Kartanegara.
Melalui beberapa pengkajian, dan audiensi
bersama pakar Aren Indonesia Dr Ir Willie Smits, akhirnya diputuskan,
bahwa Aren adalah komiditi paling unggul untuk wilayah Kutai
Kartanegara. Pasalnya, selain ada teknologi baru untuk budidaya jenis
unggul, juga kultur masyarakat asli, yang telah menjadi penyadap nira
secara turun temurun adalah sebuah pondasi kuat untuk membangun sektor
ekonomi baru.
Seperti dijelaskan Willie Smits dalam
acara penanaman perdana tersebut, Aren yang memiliki nama latin Arenga
pinnata dan masuk pada genus Arecaceae (Palmae) ini, adalah komoditi
jenis unggul, dengan nilai ekonomis tinggi, jauh melebihi kelapa sawit
yang kini banyak ditanam secara besar-besaran.
Aren memang memutar balik “pepatah tak
kenal maka taka sayang” meskipun dikenal sejak ratusan tahun silam,
keberadaanya tidak terlalu populer dan terkesan hanya sebagai pekerjaan
sampingan, kurang diminati dan tidak menghasilkan. Banyak pihak merasa
sanksi, apakah benar tumbuhan yang banyak tumbuh liar tersebut bernilai
ekonomis tinggi.
“Padahal sebaliknya, tumbuhan ini adalah
harta karun yang dapat memberikan nilai ekonomi signifikan bagi
masyarakat dan daerahnya,” kata Willie.
Dijelaskannya, berbeda sektor tambang
baik Migas maupun Batu Bara, yang suatu saat akan habis, dan upaya
eksploitasinya serta penggunaannya mencemari udara. Aren justru
menghijaukan kembali lingkungan, dan nira yang disadap tidak hanya dapat
menjadi gula, tetapi juga energi alternatif seperti ethanol, sebuah
senyawa yang yang kualitasnya mendekati avtur, bahan bakar pesawat
terbang.
Dibidang lapangan kerja, dengan budidaya
bibit unggul dan pembanguna pabrik, akan memberikan kesempatan baru bagi
masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Apabila semua berjalan
lancar, Aren akan menyerap banyak tenaga kerja hingga 81,02 orang
perhektar. Bandingkan dengan sawit, yang hanya dapat menyerap 0,11 orang
perhektar.
“Apalagi dengan penciptaan mesin petik,
dan adanya kebijakan beberapa negara Eropa, yang hanya akan membeli
sawit apabila ditanam pada lahan kritis tanpa menebang hutan saja, tentu
keunggulan sawit akan banyak berkurang,” ulas Willie.
Saiful Aduar sendiri menjelaskan, dengan
segala keunggulan tersebut, pihaknya merasa sangat penting untuk
budidaya secara besar-besaran. Banyak lahan kritis yang dapat ditanami,
sehingga membantu upaya menghijaukan kembali paru-paru dunia.
Disamping itu sebagai yayasan pendidikan, pihaknya melihat, penting
sekali keberadaan komoditi unggul untuk meningkatkan taraf ekonomi
masyarakat. Dengan demikian akan membantu meningkatkan mutu pendidikan,
yang saat ini kian mahal saja harganya. (rin)Potensi Pengembangan BBN dari Nira Aren dengan Menggunakan Energi Panas Bumi di Sumatra Utara
Sumber: http://www.ristek.go.id/; Jumat,25 Mei 2007 14:58
Nira Aren yang merupakan salah satu
kekayaan nabati yang dimiliki Indonesia, tumbuh subur dan tersebar luas
di seluruh pelosok nusantara.
Di propinsi Sumatra Utara, khususnya
kawasan Sibolangit-Brastagi Kabupaten Deli Serdang dan di Kabupaten
Tanah Karo dengan ketinggian 500-1200 meter dari permukaan laut, pohon
aren tumbuh tersebar diribuan hektar secara acak di lereng-lereng gunung
sepanjang kiri-kanan jalan raya Medan menuju Brastagi hingga ke kawasan
Pembangkit Listrik Panas Bumi yang terletak di Sidebuk Kabupaten Karo.
Lokasi tersebut sangat potensial untuk pengembangan dan pemanfaatan Nira
Aren dalam skala besar dengan melakukan penanaman dan pembibitan secara
sistematis.
Akan tetapi pemanfaatan dan pemahaman
masyarakat setempat tentang produksi Nira Aren sebagai bahan baku
bioetanol sebagai pengganti BBM, masih sangat terbatas. Seperti juga di
propinsi-propinsi yang ada di NKRI, sampai saat ini pemanfaatan Nira
Aren aren masih sebatas untuk pembuatan gula merah dan minuman keras
beralkohol “Tuak” (hasil permentasi Nira Aren secara Alami). Berdasarkan
hasil survei di Kecamatan Sibolangit, produktifitas Nira Aren dapat
menghasilkan 20-50 liter/hari/pohon memiliki kadar gula 12-16% dan
etanol 70-90% skala kecil (200-500) liter/hari/sentra. Belum semua semua
Aren termanfaatkan, hal ini disebabkan faktor distribusi dan populasi
aren yang tidak merata. Oleh sebab itu pembibitan dan distribusi bibit
aren serta sosialisasi program bioetanol dapat dilakukan kerjasama
dengan beberapa pihak yang potensial. salah satunya adalah dengan
Gerakan Pramuka Kwartir Daerah Propinsi Sumut yang mengelola 300 Ha
lahan bekas Jambore Nasional Tahun 1977.
Melalui Kajian Tekno Ekonomi yang
dilakukan oleh Keasdepan Program Tekno Ekonomi, Kedeputian Bidang
Program Riptek, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang Bahan
Bakar Nabati (BBN) dari Nira Aren, kedepan dimungkinkan untuk dilakukan
pabrikasi untuk pengembangan Nira Aren dalam skala besar karena dapat
memanfaatkan buangan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi yang memiliki
suhu tinggi sekitar 100 oC. Pembangkit Listrik Panas Bumi yang terletak
di Sidebuk Kabupaten Karo SUMUT, adalah milik Pertamina dengan kapasitas
1 Mw (sudah terpasang) dan kapaitas 2×5 Mw sedang dalam tahap
penyelesaian (Agustus 2007).
Dengan demikian pengembangan Bahan Bakar
Nabati dari Nira Aren dengan mamanfaatkan Panas Bumi, secara secara
tidak langsung dapat mengurangi ketergantungan akan pangan
(gula/sukrosa) dan dapat berkontribusi terhadap penggunaan energi
alternatif berbahan bakar nabati. (AsdepPTE/ humasristek)
Juli 2007
Warga Manfaatkan Air Gula Aren Pengganti Susu
Sumber: Antara News, 16 Jul 2007 ; http://arengasugar.multiply.com/journal/item/101/Warga_Manfaatkan_Air_Gula_Aren_Pengganti_Susu
(ANTARA News) – Sebagian warga di
Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara (Sulut), manfaatkan air gula
aren (enau) sebagai konsumsi tambahan makanan kesehatan anak-anak, guna
mengganti pemberian susu akibat kenaikkan harga sampai 10 persen.
“Air gula aren juga baik untuk membantu
kebutuhan gizi anak-anak kami, sangat mudah didapat dan murah harganya,”
katanya Meis, warga di Kecamatan Kumelembuay, Minsel, Minggu.Pemberian
air gula aren tidak secara rutin seperti layaknya pemberian susu, hanya
diberikan setiap pagi sebagai makanan tambahan.
Bahkan hanya bisa dibeli dengan harga
Rp2.000 kepada petani pengumpul.Menurutnya, susu masih diberikan kepada
anak-anaknya walaupun mulai terbatas konsumsinya akibat sulit dijangkau
dengan harga mahal, yakni susu jenis full cream bisa dibeli Rp10 ribu
hingga 25 ribu, padahal sebelumnya hanya sekitar Rp7.000-7.500setiap
bungkus.
“Walaupun harga susu cukup mahal kami
harus membelinya guna membantu nutrisi kesehatan, sekaligus memanfaatkan
air gula aren yang ada,” ujar ibu rumah tangga itu.Sementara itu, Noni,
warga Minsel, mengatakan, tidak bisa bertahan lama memberikan air gula
aren, karena belum tentu bisa memberikan manfaat besar pada kesehatan,
apalagi anak-anaknya mulai jenuh dengan minuman itu.
“Kami sangat berharap pemerintah bisa
menanggulangi kenaikkan harga susu yang terus melambung,”
katanya.Pingkan, salah satu Ibu Rumah Tangga (IRT) asal Amurang,
mengatakan, susu masih merupakan kebutuhan utama bagi anak-anaknya,
karena belum ada nutrisi pengganti yang bisa didapat secara
instan.”Sejak anak saya lahir tidak pernah lagi diberikan Air Susu Ibu
(ASI), sehingga susu sangat bermanfaat bagi perbaikan gizi,” katanya.(*)
Copyright © 2007 ANTARA
Copyright © 2007 ANTARA
Petani tuntut janji pemkab, Pembangunan Pabrik Aren Mendesak
Sumber: Harian Komentar, 23 Juli 2007; http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2007/jul_23/lkMinsel001.html
Adanya janji pihak Pemkab Minsel untuk
membangun se-buah pabrik gula aren di wilayah Minsel, akhirnya mulai
dituntut oleh kalangan petani Minsel, yang merasa hasil mereka sudah
semakin sulit dijual terlebih khusus di Kota Tomohon yang telah
mendapatkan penolakan warga setempat.
Menurut tokoh masyarakat Minsel, Karel
Lakoy, mewakili kalangan petani, dengan adanya program pembangunan
pabrik gula aren mini melalui dana De-konsentrasi Dinas Perkebunan
Sulut, kiranya bisa difasilitasi Pemkab Minsel untuk bisa mewujudkan
harapan warga khususnya petani gula aren di Minsel.
Menurut Lakoy, pada tahun 2005 silam
sejumlah tokoh Min-sel bersama Tim UNDP melaku-kan survei potensi aren
di Ka-bupaten Minsel dan hasilnya sangat mendukung. Di mana, UNDP sudah
pernah melakukan survei dan hasilnya sangat ba-gus untuk potensi aren.
Jadi pembangunan pabrik ter-sebut,
lanjutnya, sangat men-desak dan cocok dibangun di wilayah Minsel
mengingat dae-rah ini memiliki cadangan ba-han baku berupa nira dari
po-hon seho atau arenga pinata yang cukup banyak dan terse-bar di semua
kecamatan di Minsel.
Dijelaskannya, kecamatan yang memiliki
peluang untuk pembangunan pabrik mini itu masing-masing Kecamatan
Mo-toling, Kumelembuai, Tompaso Baru dan Tareran. Oleh karena itu,
menurut Lakoy, tidak ada alasan pabrik tersebut dipin-dahkan ke daerah
lain apalagi di daerah yang tidak memiliki bahan baku tersebut.
Menurut Lakoy, meski pihak Yayasan
Masarang Tomohon di-ketahui masih mengambil bahan baku dari Minsel,
namun itu belum menjamin untuk petani aren di Minsel. Karena itu sangat
mendesak adanya pabrik gula aren di Minsel. De-ngan demikian, pihaknya
men-desak Dinas Perkebunan Minsel untuk segera melakukan pende-katan
dengan propinsi sekaligus menyiapkan lokasinya. Sebagai masukan,
tambahnya, untuk lokasi pabrik sebaiknya didiri-kan di Kecamatan
Motoling.(pen)
Aren Paling Potensial Untuk BBN
Arfi Bambani Amri – detikFinance, Senin, 30/07/2007
Manado – Dari semua bahan baku Bahan
Bakar Nabati (BBN), aren (Arenga Pinnata) merupakan yang paling
potensial untuk dijadikan BBM alternatif itu. Produktivitasnya
mengalahkan semua biomassa lainnya.
Hal itu diungkapkan Direktur Teknologi
Pengembangan Sumber Energi Nabati untuk Substitusi BBM Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto, dalam seminar di Hotel
Gran Puri, Jl Sam Ratulangie, Manado, Senin (30/7/2007).
“Aren itu bisa memproduksi bioethanol 40
ribu liter per hektar setiap tahun,” ungkap Unggul yang juga Ketua
Panitia Ekspedisi BBN 2007.
Nira yang dihasilkan Aren mengalahkan
jumlah bioethanol yang dihasilkan ubi, kentang, tetes tebu, jagung, sagu
dan lain-lain. Bahkan jika dibandingkan dengan biomassa penghasil
biodiesel untuk pengganti solar, aren tetap paling produktif. “Kelapa
sawit hanya bisa menghasilkan 4 ton biodiesel per hektar setiap tahun
dan kelapa 2,5 ton,” jelas Unggul lagi.
Kelebihan lain dari aren yang merupakan
tumbuhan endemik Asia Tenggara ini adalah kemampuannya menahan air. Aren
merupakan tanaman hutan yang bisa untuk konservasi. “Jadi budidaya aren
ini akan melawan anggapan BBN akan memperluas perusakan hutan,” kata
Unggul. Untuk diketahui, bioethanol merupakan substitusi bensin
(premium).
Terdapat 3 jenis biomassa yang bisa
diolah menjadi bioethanol, yakni bahan berpati, bahan bergula dan bahan
berselulosa. Bahan berpati misalnya biji sorghum, sagu, ubi, singkong,
garut dan umbi dahlia. Bahan bergula yakni nira aren, tetes tebu, nira
nipah, sari buah mete dll. Bahan berselulosa adalah kayu, jerami, batang
pisang, bagas dll.
“Bahan berpati dan bahan berselulosa
memerlukan pengolahan terlebih dulu sebelum menjadi ethanol,” jelas
Unggul. Bahan berpati harus ditanak kemudian disakarifikasi. Bahan
berselulosa harus diolah dulu untuk kemudian dilakukan sakarifikasi.
Setelah itu, hasil sakarifikasi difermentasi dan dipisahkan residu untuk
mendapatkan ethanol. “Bioethanol inilah yang menjadi alternatif
premium,” tandas Unggul.
Acara seminar ini merupakan kegiatan
pertama dari rangkaian acara Ekspedisi BBN 2007 yang akan berlangsung di
8 kota di pulau Sulawesi dan Jawa. Tim ekspedisi akan mengendarai
kendaraan menggunakan campuran BBN menjelajahi kota-kota itu.(aba/qom)
Sumber: http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/30/time/123512/idnews/810999/idkanal/4
Agustus 2007
Menjadi kebanggaan bisa dijadikan bioetanol, Warga Diajak Tanam Pohon Enau
Sumber: Harian Komentar 01 Agustus 2007; http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2007/ags_01/lkMinsel001.html
Adanya kepedulian dan perhatian dari
pemerintah lewat program kerja Departemen Sumber Daya Energi RI, di mana
hasil dari pohon enau alias seho yaitu captikus bisa digunakan sebagai
bahan bakar kendaraan bermotor, ditanggapi positif salah satu tokoh muda
Minsel asal Motoling, Sehtly Kohdong SH.
Menurut Kohdong, hal itu merupakan suatu
langkah maju bagi para petani cap ti-kus yang selalu dipandang ne-gatif
oleh beberapa pihak. Akan hal itu, Kohdong menga-jak seluruh warga untuk
ber-sama-sama memanfaatkan program dari pemerintah ter-sebut untuk
menanam pohon enau, demi kesejahteraan warga sendiri.
“Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi
seluruh warga di Motoling. Karena ternyata captikus tersebut bisa
dijadi-kan bioetanol atau sebagai ba-han bakar kendaraan bermo-tor.
Untuk itu juga, Pemkab Minsel harus memperhatikan hal ini dengan
memberikan bantuan dan memfa-silitasi petani, serta menjadikan ini
pro-gram prioritas ke depan nanti agar bisa bermanfaat bagi para petani
cap tikus ter-sebut, serta hasil dari para petani ini bisa maksimal dan
bergu-na untuk kemajuan bersama,” kata pria yang me-rupakan salah satu
pejuang bagi para petani captikus ini.
Seperti diketahui, bioetanol bukan hanya
bersumber pada tanaman seho peng-hasil nira, tetapi ter-masuk pada
tana-man singkong mau-pun ampas tebu. Dan bioetanol ini di-kembangkan
untuk menggantikan fungsi bahan bakar pada premium. Sedang-kan biodiesel
yang bisa diambil dari minyak sa-wit, minyak jarak serta minyak kelapa,
dapat menggantikan bahan bakar kendaraan atau minyak solar.(vcq)
Aren Sulut Bisa Atasi Krisis BBM, Produksi Etanol Lima Kali Lipat Konsumsi Bensin
Sumber: Manado Post, 2 Agustus 2007; http://www.blue.co.id/
MANADO— Jika masyarakat Sulut serius memanfaatkan Cap Tikus untuk mengganti BBM, konsumsi premium (bensin) malah bisa akan digantikan bio etanol. Betapa tidak, jika dimaksimalkan potensi 2 juta pohon aren Sulut maka 876 ribu kiloliter (Kl) bio etanol bisa dihasilkan dalam setahun. Sementara konsumsi bensin untuk kendaraan di Sulut, hanya sekitar 180-an Kl dalam setahun. Artinya, produksi bio etanol hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan konsumsi bensin.
MANADO— Jika masyarakat Sulut serius memanfaatkan Cap Tikus untuk mengganti BBM, konsumsi premium (bensin) malah bisa akan digantikan bio etanol. Betapa tidak, jika dimaksimalkan potensi 2 juta pohon aren Sulut maka 876 ribu kiloliter (Kl) bio etanol bisa dihasilkan dalam setahun. Sementara konsumsi bensin untuk kendaraan di Sulut, hanya sekitar 180-an Kl dalam setahun. Artinya, produksi bio etanol hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan konsumsi bensin.
Perhitungan yang diberikan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), konsumsi bio etanol sebagai
substitusi bensin pun tidak seluruhnya, tapi hanya sepersepuluh bagian.
Atau 9 bagian bensin dicampur dengan bio etanol dengan kadar 99,5
persen. “Campuran ini sudah bisa menghasilkan bahan bakar sekelas
Pertamax yang beroktan 92,” kata Dr Unggul Priyanto, Direktur
Pengembangan Sumberdaya Energi Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT).
Hitung-hitungan kasar juga diberikan.
Jika diasumsikan konsumsi premium Sulut sekitar 200 ribu Kl, berarti
hanya cukup saja 180 ribu Kl yang dipasok karena 20 ribu Kl sudah bisa
digantikan dengan bio etanol dari cap tikus Sulut. “Ini artinya
memaksimalkan potensi lokal. Aren sangat berpotensi asalkan masyarakat
dan pemerintah punya komitmen. Toh, tidak seluruh produksi untuk
substitusi BBM,” tambah Unggul.
Sementara Sekretaris I Tim Nasional
Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) Dr Ing Evita H Legowo menyatakan,
hasil penelitian dari Tim Nasional BBN memang sudah cukup banyak, tapi
tinggal menunggu respon pemerintah untuk membuat regulasinya. “Bahan
bakar nabati dari bio etanol terutama aren sudah cukup lama diuji coba,
kami tinggal menunggu respon dari Pertamina dan pemerintah soal tata
niaganya,” kata Dr Evita.
Asisten II Setprov Sulut Marieta Kuntag
MBA menyambut baik terobosan ini. Katanya, Pemprov, dalam hal ini
Disperindag dan Dinas Perkebunan sementara menyusun program untuk
pemanfaatan aren sebagai substitusi BBM. “Kemungkinan akan diperbanyak
industri pengolahan air nira menjadi etanol teknis yang fisibel untuk
mencampur premium,” katanya. “Kami sudah mengusahakan perbaikan tanaman
aren. Sebab, selain untuk produksi gula semut juga untuk etanol,” timpal
Kadis Perkebunan Ir Rene Hosang.
Baik Unggul dan Dr Evita menyarankan agar
masyarakat Sulut menjaga pohon aren yang sudah ada, bahkan tambah
menanam, karena potensi aren sangat besar sebagai pengganti BBM maupun
konsumsi lain. “Ini potensi lokal yang harus dikembangkan. Kalau Sulut
kelebihan, bisa dilempar ke daerah lain yang kekurangan etanol,” ujar
mereka. Saat ini yang memproduksi alkohol dari nabati baru di Jawa dan
sebagian Sumatera dari tetes tebu. (sumber: Menado Post)
PT. Blue Indonesia telah berhasil membuat
ethanol 99,5% dari bahan baku nira (aren) dan di Produksi di Motoling
Minahasa Selatan, yang telah dikunjungi oleh Timnas BBN, BPPT dan Bio
Fuel Expedition 2007. Saat ini PT. Blue telah menempatkan alat 2 Unit
dengan kapasitas total 1.5 ton per hari. (Humas: PT. Blue Indonesia)
Bapedalda Sulbar Canangkan Penanaman Pohon Aren
Sumber: http://www.kapanlagi.com/ Minggu, 19 Agustus 2007 19:31
Kapanlagi.com – Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) mulai
tahun depan memprogramkan penanaman pohon aren di lahan kritis untuk
menanggulangi kerusakan lingkungan di daerah provinsi itu.
“Kami akan kembangkan pohon aren pada
lahan-lahan kritis, sebab luas lahan kritis di Sulbar saat ini mencapai
sekitar 200.000 hektare. Oleh karena itu, dengan penanaman aren ini
diharapkan bisa menanggulangi kerusakan lingkungan di daerah ini,” kata
kepala Bapedalda Sulbar, Mujirin M. Yamin, di Mamuju, Minggu (19/8).
Yamin tidak menyebutkan secara rinci
mengenai jumlah pohon aren yang akan ditanami pada lahan kritis itu. Ia
hanya mengatakan, program penanaman pohon aren sangat berfungsi untuk
memulihkan kerusakan lingkungan, karena sejumlah wilayah di Sulbar
sering terjadi bencana banjir dan tanah longsor.
Selain itu, mantan Dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Tadulako Palu ini, program penanaman pohon aren juga
diharapkan dapat memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat karena
tanaman ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk kebutuhan
berbagai kegiatan industri.
Menurut dia, pengembangan tanaman aren
selain cocok ditanam di wilayah Sulbar, juga sekitar 50% penduduk Sulbar
belum memiliki tanah di atas 50 hektare, sehingga nantinya
pendistribusian bibit pohon aren nantinya akan mudah dilakukan untuk
penanaman pada lahan kritis itu.
Yamin mengatakan, tanaman aren memiliki
keunggulan, yakni selain kegiatan budidaya tanamnya relatif mudah, juga
produksi aren berupa air nira dapat diolah menjadi bahan pangan seperti
gula aren dengan menggunakan teknologi tradisional.
“Pengolahan air nira dari aren menjadi
gula merah sudah lama dikenal masyarakat sini, oleh karena itu, kalau
pohon aren ini dikembangkan lebih banyak lagi, maka di daerah ini juga
bisa dikembangkan industri rumah tangga yang memproduksi gula aren,”
ujarnya.
Menurut Yamin, pihaknya akan memberikan
langsung bibit pohon aren kepada masyarakat secara gratis, kemudian
masyarakat juga akan dimintai partisipasinya untuk mengolah sendiri
tanaman tersebut, sehingga diharapkan masyarakat bisa memperoleh
pendapatan dari hasil panen pohon aren itu.
“Kami sedang melakukan inventarisasi
lahan masyarakat untuk dapat dikembangkan tanaman aren, kami berharap
tahun depan program ini bisa terwujud,” ujarnya.
Sementara untuk tahun ini telah dilakukan penanaman tanaman produktif pada lahan kritis milik masyarakat.
Tanaman produktif itu seperti durian,
manggis, langsat dan rambutan serta bibit pohon ebony, meski jumlah
bantuan bibit tanaman tersebut masih terbatas karena program tersebut
akan dilakukan secara bertahap.
“Bantuan bibit tanaman tersebut
disalurkan kepada seluruh kabupaten di Sulbar, dan dikembangkan sesuai
dengan kondisi spesifik lokal masing-masing daerah,” ujarnya.
Selain itu, pihak juga mulai tahun 2008
memprogramkan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan penerapan teknologi
pembuatan empang (tambak ikan) berwawasan lingkungan, sebab sebagian
besar kegiatan tambak rakyat yang ada di sepanjang bibir pantai Selat
Makassar itu masih kurang memperhatikan aspek lingkungan, sehingga
terjadi dan terancam abrasi ombak. (*/bun)
Jadi sentra produksi pohon seho , Pabrik Gula Aren Bakal Dibangun di Motoling
Sumber: Harian KOMENTAR, 24 Agustus 2007; http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2007/ags_24/minsel03.html
MOTOLING – Kabar gembira kembali diterima
masyarakat di Kecamatan Motoling. Pasal-nya, dalam waktu dekat ini
di-kabarkan Motoling bakal di-dirikan pabrik mini gula aren, dikarenakan
wilayah tersebut merupakan satu-satunya sen-tra produksi pohon seho
yang terbesar di Kabupaten Minsel.
Menurut pemerhati kemas-yarakatan Minsel,
Karel Lakoy, pada tahun 2005 silam sejum-lah tokoh Minsel bersama Tim
UNDP melakukan survey po-tensi aren di Kabupaten Min-sel. Dan hasilnya
sangat men-dukung untuk pembangunan pabrik tersebut.
Dijelaskan Lakoy, mengingat wilayah Minsel memiliki cada-ngan bahan baku berupa nira dari pohon seho atau arenga pinata yang cukup banyak, ter-nyata kecamatan yang memiliki peluang untuk pembangunan pabrik mini itu adalah Kecamatan Motoling. “Yang jelas, tidak ada alasan lagi pabrik tersebut di-pindahkan ke daerah lain, apa-lagi di daerah yang tidak me-miliki bahan baku,” tukas Lakoy.
“Bayangkan saja Yayasan Masarang Tomohon yang ma-sih mengambil bahan baku dari Minsel. Ini bertanda pro-duk atau hasil di Minsel belum sepenuhnya diberdayagu-nakan, khususnya untuk ke-makmuran warga atau petani gula aren tersebut. Untuk itu, diharapkan Pemkab Minsel, lewat Dinas Perkebunan mampu melobi bahkan meng-implementasikan pembangu-nan ini. Apa yang menjadi ha-rapan petani aren akan jadi kenyataan dan agar harga bahan baku aren stabil, serta tidak lagi bergantung pada produksi captikus yang sarat persoalan,” ujar Lakoy.(pen)
Dijelaskan Lakoy, mengingat wilayah Minsel memiliki cada-ngan bahan baku berupa nira dari pohon seho atau arenga pinata yang cukup banyak, ter-nyata kecamatan yang memiliki peluang untuk pembangunan pabrik mini itu adalah Kecamatan Motoling. “Yang jelas, tidak ada alasan lagi pabrik tersebut di-pindahkan ke daerah lain, apa-lagi di daerah yang tidak me-miliki bahan baku,” tukas Lakoy.
“Bayangkan saja Yayasan Masarang Tomohon yang ma-sih mengambil bahan baku dari Minsel. Ini bertanda pro-duk atau hasil di Minsel belum sepenuhnya diberdayagu-nakan, khususnya untuk ke-makmuran warga atau petani gula aren tersebut. Untuk itu, diharapkan Pemkab Minsel, lewat Dinas Perkebunan mampu melobi bahkan meng-implementasikan pembangu-nan ini. Apa yang menjadi ha-rapan petani aren akan jadi kenyataan dan agar harga bahan baku aren stabil, serta tidak lagi bergantung pada produksi captikus yang sarat persoalan,” ujar Lakoy.(pen)
Minahasa Selatan segera bangun Pabrik Gula Aren
Sumber: http://www.minsel.go.id/; 09/2007 (ferry)
Pembangunan Pabrik Gula Aren direncanakan
akan di mulai akhir tahun 2007 dengan lokasi di wilayah Teep kecamatan
Amurang barat. Menurut Bupati Minahasa Selatan Drs. Ramoy Markus
Luntungan, Dipilihnya Daerah Teep sebagai lokasi pembangunan Pabrik Gula
Aren karena salahs atunya berada dekat dengan wilayah atau daerah
sumber bahan baku dan mudah diakses sebagai daerah pemasaran. Adanya
Pabrik Gula Aren akan dapat meningkatkan nilai tambah produk dan hasil
olahan dan pemanfaatan pohon aren ,s ehinga dapat meningkatkan
kesejahteraan petani gula aren. Karena dengan adanya Pabrik Gula Arens
ebagai Unit Pengelolahan Hasil (UPH) Gula Aren atau Gula Semut akan
dapat juga meningkatkan harga jual nira di tingkat petani. Menurut
Luntungan, Kapasitas produksi Pabrik Gula Aren tersebut nantinya bisa
mencapai 1000 sampai 2000 Kilogram gula semut per hari. Dengan
menggunakan “Open PAN Technology”, pabrik gula aren ini dapat mengelola
Nira Aren, Kelapa, tebu. Sweet Shorgum dan memproduksi gula aren, gula
cerat, gula pabrik bahkan ethanol.
Pembangunan Pabrik Gula Aren di Minahasa
Selatan sudah sangat dibutuhkan masyarakat khususnya petani karena
besarnya potensi produksi gula aren di Kabupaten Minahasa Selatan. Sebab
luas tanaman aren di Minahasa Selatan saat ini sebesar kurang lebih
2500 hektar atau 46 persen dari luas tanaman aren di Sulawesi Utara,
yang tersebar di kecamatan Tareran, Motoling, Tompasobaru, Kumelembuai,
Ranoyapo, Tumpaan, Tenga, Sinonsayang, Tatapaan serta Amurang Barata dan
Amurang Timur. Sementara produksi setara nira mencapai 30 juta liter
per tahun.
Oktober 2007
Industri Kecil Sulut Berpotensi Produksi Gula Aren 12.500 Ton Per Tahun
Sumber: Kapanlagi.com, Kamis, 25 Oktober 2007 ; http://www.kapanlagi.com/h/0000196347.html
Kapanlagi.com – Potensi produksi industri
kecil gula aren di Propinsi Sulawesi Utara (Sulut) mampu mencapai
12.500 ton gula semut (kristal) tiap tahun.
“Petani yang menggeluti gula aren
sebanyak 1.666 kepala keluarga tersebar hampir merata di kabupaten/kota
di propinsi Sulut,” kata Kepala Seksi Program dan Evaluasi Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara (Sulut), Nico Rambitan,
Rabu di Manado.
Sentra paling menonjol yakni Kabupaten
Minahasa Selatan (Minsel), di mana ribuan warga mengandalkan penghasilan
utama keluarga dari hasil tanaman enau tersebut.
“Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon,
Minahasa Utara dan Bolaang Mongondow, terdapat industri kecil pengolahan
gula aren, namun jumlahnya masih kalah dibandingkan Minsel,” kata Nico.
Gula aren punya prospek pasar cukup baik,
baik pasar lokal maupun luar negeri membutuhkan gula aren dalam bentuk
kristal, hanya permasalahannya industri kecil belum mampu menjamin
kontinuitas pasokan.
“Beberapa hari lalu saja, pengusaha
bergerak pada industri pengolahan makanan telah datang ke Sulut untuk
menjajaki kerjasama dengan industri aren lokal,” kata Nico.
Mereka sangat membutuhkan gula aren
kristal, sebab dipercaya sebagai alternatif paling baik bagi penderita
diabetes, di mana meski konsumsi gula aren dalam jumlah banyak tidak
memberi efek negatif makin parahnya penyakit tersebut.
Teddy Talokon, petani Minahasa yang sudah
pernah mengolah gula aren batu menjadi gula aren kristal, mengatakan,
lebih untung dijadikan kristal sebab jaminan harga lebih tinggi dan
prosesnya lebih mudah.
“Prosesnya sangat sederhana setelah
saguer (air nira) dimasak dan dicampur dengan beberapa rempah khas sudah
dapat dibentuk menjadi butir kristal, setelah dikemas dapat langsung
dipasarkan,” kata Teddy.
Di Sulut terdapat pabrik gula Aren
Masarang di Kota Tomohon yang diresmikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono awal tahun ini, namun produksinya sempat tersendat menyusul
adanya permasalahan menimpa perusahaan tersebut. (*/rsd)
November 2007
Gula Aren Antar Pabrik Gula Aren Masarang Jadi Finalis The World Challenge 2007
Sumber: http://fasilitator-masyarakat.org/ 01.Nov.2007
Tahu gula aren? Gula yang lebih dikenal
dengan “brown sugar” atau Gula Jawa yang banyak beredar di pasaran,
ternyata menjadi salah satu finalis lomba pemberdayaan kelas
internasional “The World Challenge 2007” yang digelar BBC, Newsweek dan
Shell.
Namun bukan gula arennya yang membuat
menjadi finalis. Adalah Dr Willie Smits yang mengantarkan petani di
Masarang, Tomohon, Sulawesi Utara untuk maju. Kalau dahulunya petani
memasak air sadapan dari Pohon Aren menggunakan kayu bakar dari pohon
yang ditebang, hadirnya Dr Willie ini membuat para petani menggunakan
panas bumi untuk memasak air sadapan untuk menjadi gula aren.
Karena memanfaatkan energi panas bumi,
kualitas gula aren pun meningkat. Kualitas meningkat, produkpun bisa di
ekspor yang nota bene menghasilkan keuntungan. Keuntungan diberikan
langsung kepada petani anggota koperasi. Tidak kurang dari 6,285 petani
miskin dan keluarganya kini tengah merasakan manfaat dari ide Dr Willie.
Selain itu juga hutan yang dahulunya menjadi sumber kayu bakar bisa
menjadi lestari.
Dr Smits Percaya, model pemberdayaan
seperti ini bisa menjadi suatu alternatif jangka panjang terhadap
jatuhnya perdagangan minyak sawit. (www.theworldchallenge.co.uk/ toar
sumakul/ tommy bernadus)
Mendagri Tinjau Pabrik Gula Aren
Sumber: http://www.endonesia.com/Rabu, 07-Nopember-2007,
Manado, Indonews — Menteri Dalam Negeri
(Mendagri), Mardiyanto, meninjau pabrik Gula Aren Masarang, di Kota
Tomohon, Sulawesi Utara (Sulut), Selasa, guna melihat dari dekat sistem
pengelolaan komoditi unggulan warga setempat, sebelum diekspor keluar
daerah dan mancanegara.
Me ndagri yang didampingi Gubernur Sulut,
SH Sarundajang, mengharapkan pabrik gula aren tersebut, menjadi salah
satu solusi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama peningkatan
taraf hidup ekonomi warga miskin.
”Gula aren memiliki prospek cukup besar
pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga harus
dikembangkan terus,” katanya.
Produk si gula aren di Kota Tomohon
mendapatkan perhatian serius pemerintah pusat, karena telah dijadikan
sasaran prioritas pengembangan usaha di daerah, terutama Sulut yang
merupakan daerah sentra tanaman aren milik petani.
Mendagr i memuji produksi gula aren
Masarang Tomohon, yang mampu menghasilkan gula bentuk kristal, dan
sangat disukai masyarakat untuk dikonsumsi, serta mampu diekspor ke
mancanegara.
Se mentara itu, Gubernur Sulut,
menghimbau warga untuk mengalihkan konsumsi gula pasir ke gula aren,
karena tidak memiliki resiko besar pada kesehatan.
”Pr oduk gula aren memang mahal harganya
karena bisa capai Rp 60 ribu per kilogram (kg), namun minim resiko
kesehatan sekaligus membantu meningkatkan produk lokal daerah,” ujar
Gubernur Sulut.
Tujuan utama produksi gula aren di Sulut,
bagaimana mengembangkan hasil komoditi tersebut mampu merambah keluar
daerah dan mancanegara, sebagai devisa masuk bagi tingkat perekonomian
daerah.
”Dihar apkan kepada masyarakat untuk
tidak segan-segan memproduksi gula aren, karena potensi alam dengan
ketersediaan pohon nira sangat banyak,” ungkapnya.
Ketu a Yayasan Masarang, Dr Willie Smits,
sebagai pengelola pabrik aren tersebut, menjelaskan keterlibatan ribuan
petani dalam proses produksi hingga peluang pasar luar negeri, yakni
mampu melibatkan 3.721 petani pemilik enau di Kota Tomohon, sebagai
pemasuk air nira (saguer) bahan baku pembuatan gula aren. *** M012/ant
Perkembangbiakan Enau Bisa Direkayasa
Kompas, Rabu, 14 November 2007 – 19:50 wib
PADANG, KOMPAS – Tanaman enau bisa
dikembangbiakan secara buatan, baik rekayasa genetika atau kultur
jaringan, menyusul ditemukan cara untuk menghilangkan senyawa fenolik
yang membuat biji enau berada dalam masa dorman yang lama.
Teknik menghilangkan senyawa fenolik ini
ditemukan oleh Puti Reno Raudha Thaib, dalam disertasi doktoral berjudul
Regenerasi In Vitro Tanaman Enau (Arenge pinnata Merr.) melalui
Embriogenesisi Somatik. Dengan ditemukan teknik tersebut,
perkembangbiakan enau bisa dilakukan lebih cepat lagi.
”Secara alami, yakni lewat
perkembangbiakan biji, enau membutuhkan waktu antara 1-2 tahun sebelum
mulai berkecambah. Namun, dengan pengolahan di laboratorium, tanaman
baru mulai tumbuh dalam waktu sekitar 141,07 hari,” tutur Raudha, saat
mempertahankan disertasi di hadapan tim penguji, Rabu (14/11) di
Universitas Andalas, Padang.
Bila perkembangbiakan alami dengan biji
hanya menghasilkan satu tanaman enau baru, maka pengembangan tanaman
secara rekayasa ini bisa menghasilkan tanaman baru antara 6-21 buah.
Dengan demikian, perbanyakan tanaman enau ini bisa semakin cepat
dilakukan. (ART)
Nira Aren Bahan Baku Agroindustri Bioetanol Yang Menjanjikan
Sumber: http://www.pusatagroindustri.com/ Nov 23, 2007
Pada akhir 2006 Eka Bukit juga menggeluti
bisnis bioetanol. Baik biodiesel (sumber energi mobil bermesin diesel)
maupun bioetanol alias biopremium termasuk bahan bakar nabati yang
bersumber dari tumbuhan. Sarjana Teknik Industri alumnus Universitas
Sumatera Utara itu memang tak mengolah dari bahan mentah. Ia bekerja
sama dengan puluhan produsen bioetanol skala rumahan di Kabupaten
Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Masyarakat setempat secara turun-temurun
piawai mengolah nira aren menjadi etanol dengan peralatan sederhana.
Karena terbiasa mengolah etanol, teknologi produksi sangat mereka
kuasai. Dengan demikian, Eka tak harus menyuluh atau mengajari cara
menyuling, misalnya. Bagi mereka, etanol nira aren itu sebagai bahan
minuman keras yang sohor dengan sebutan Cap Tikus. Malahan minuman itu
juga dikapalkan ke Papua.
Bioetanol produksi mereka berkadar etanol
35%. Untuk menghasilkan satu liter perlu 9 liter nira. Padahal,
bermacam industri seperti farmasi dan kosmetik memerlukan etanol
berkadar 99,6%. Eka kemudian memurnikan hasil sulingan masyarakat
Minahasa Selatan hingga diperoleh kadar etanol 99,6%. Menurut
perhitungan Eka, untuk menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6% menghabiskan
15 liter nira aren.
Di Minahasa Selatan yang menjadi sentra
aren, harga seliter nira Rp200. Untuk menghasilkan bioetanol Eka
menghabiskan Rp3.000. Itu baru untuk bahan baku. Dengan menghitung biaya
proses, transpor Manado-Jakarta, dan pajak, total biaya produksi untuk
menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6% mencapai Rp4.700. Ongkos transpor
Manado-Jakarta Rp700 per liter.
Pasar terbentang
Rata-rata produksi Kreatif Energi
Indonesia 1-2 ton per hari atau 20.000 ton per bulan. Kepada reporter
Trubus Andretha Helmina, Eka Bukit mengatakan bahwa volume penjualan
bioetanol mencapai 1-2 ton per hari dengan harga Rp6.500 per liter.
Artinya, setiap hari ia mengutip laba bersih Rp1.800.000-Rp3.600.000
atau Rp36-juta per bulan dari penjualan bioetanol skala rumahan.
Memang produksinya belum dikonsumsi oleh
kendaraan bermotor, walau sudah memenuhi standar kualitas bahan bakar
nabati. Namun, lantaran konsumen bioetanol sangat luas, Eka baru sanggup
memasok industri farmasi. ‘Pasarnya luar biasa besar,’ ujar direktur
operasional PT Kreatif Energi Indonesia itu. Sebagai gambaran, hingga
saat ini Eka belum sanggup melayani tingginya permintaan bioetanol.
Setidaknya 255 ton permintaan rutin per
bulan yang gagal terpasok. Jika itu terlayani, tentu saja Eka bakal
meraup laba bersih jauh lebih besar. Oleh karena itu lajang kelahiran
Medan 16 Juni 1972 itu kini membuka pabrik pengolahan bioetanol di
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Daerah itu dipilih lantaran terdapat
14 kecamatan sentra aren dari total 22 kecamatan. Lokasinya gampang
dijangkau dari Jakarta dan relatif dekat.
Jarak yang dekat berarti memangkas biaya
produksi, terutama biaya pengangkutan. Di Lebak, Banten, bungsu 5
bersaudara itu juga menerapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Ia akan
menampung seluruh produksi mereka sepanjang memenuhi standar kualitas
yang dipersyaratkan. Saat ini 14 kecamatan itu menghasilkan 120 ton nira
per pekan. Eka juga mengembangkan 7 ha sorgum sebagai bahan baku.
Anggota famili Gramineae itu memang potensial sebagai penghasil
biotenaol (baca: Tanaman Penyumbang Bahan Bakar halaman 22).
Itulah strategi Eka membangun kilang
hijau. Kilang adalah instalasi industri tempat pemurnian minyak bumi.
Namun, kilang juga berarti fermentasi air tebu atau nira. Proses itu
harus dilalui ketika ia mengolah nira menjadi bioetanol yang terus ia
kembangkan. Ia sama sekali tak khawatir soal pemasaran. Selama ada
kehidupan, bioetanol tetap diperlukan: untuk minuman, makanan, kosmetik,
rokok, juga bahan bakar. (Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha Helmina)
Sumber : Majalah Trubus
Nira Aren Bahan Baku Agroindustri Bioetanol Yang Menjanjikan
Sumber: http://www.pusatagroindustri.com/ Nov 23, 2007
Pada akhir 2006 Eka Bukit juga menggeluti
bisnis bioetanol. Baik biodiesel (sumber energi mobil bermesin diesel)
maupun bioetanol alias biopremium termasuk bahan bakar nabati yang
bersumber dari tumbuhan. Sarjana Teknik Industri alumnus Universitas
Sumatera Utara itu memang tak mengolah dari bahan mentah. Ia bekerja
sama dengan puluhan produsen bioetanol skala rumahan di Kabupaten
Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Masyarakat setempat secara turun-temurun
piawai mengolah nira aren menjadi etanol dengan peralatan sederhana.
Karena terbiasa mengolah etanol, teknologi produksi sangat mereka
kuasai. Dengan demikian, Eka tak harus menyuluh atau mengajari cara
menyuling, misalnya. Bagi mereka, etanol nira aren itu sebagai bahan
minuman keras yang sohor dengan sebutan Cap Tikus. Malahan minuman itu
juga dikapalkan ke Papua.
Bioetanol produksi mereka berkadar etanol
35%. Untuk menghasilkan satu liter perlu 9 liter nira. Padahal,
bermacam industri seperti farmasi dan kosmetik memerlukan etanol
berkadar 99,6%. Eka kemudian memurnikan hasil sulingan masyarakat
Minahasa Selatan hingga diperoleh kadar etanol 99,6%. Menurut
perhitungan Eka, untuk menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6% menghabiskan
15 liter nira aren.
Di Minahasa Selatan yang menjadi sentra
aren, harga seliter nira Rp200. Untuk menghasilkan bioetanol Eka
menghabiskan Rp3.000. Itu baru untuk bahan baku. Dengan menghitung biaya
proses, transpor Manado-Jakarta, dan pajak, total biaya produksi untuk
menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6% mencapai Rp4.700. Ongkos transpor
Manado-Jakarta Rp700 per liter.
Pasar terbentang
Rata-rata produksi Kreatif Energi
Indonesia 1-2 ton per hari atau 20.000 ton per bulan. Kepada reporter
Trubus Andretha Helmina, Eka Bukit mengatakan bahwa volume penjualan
bioetanol mencapai 1-2 ton per hari dengan harga Rp6.500 per liter.
Artinya, setiap hari ia mengutip laba bersih Rp1.800.000-Rp3.600.000
atau Rp36-juta per bulan dari penjualan bioetanol skala rumahan.
Memang produksinya belum dikonsumsi oleh
kendaraan bermotor, walau sudah memenuhi standar kualitas bahan bakar
nabati. Namun, lantaran konsumen bioetanol sangat luas, Eka baru sanggup
memasok industri farmasi. ‘Pasarnya luar biasa besar,’ ujar direktur
operasional PT Kreatif Energi Indonesia itu. Sebagai gambaran, hingga
saat ini Eka belum sanggup melayani tingginya permintaan bioetanol.
Setidaknya 255 ton permintaan rutin per
bulan yang gagal terpasok. Jika itu terlayani, tentu saja Eka bakal
meraup laba bersih jauh lebih besar. Oleh karena itu lajang kelahiran
Medan 16 Juni 1972 itu kini membuka pabrik pengolahan bioetanol di
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Daerah itu dipilih lantaran terdapat
14 kecamatan sentra aren dari total 22 kecamatan. Lokasinya gampang
dijangkau dari Jakarta dan relatif dekat.
Jarak yang dekat berarti memangkas biaya
produksi, terutama biaya pengangkutan. Di Lebak, Banten, bungsu 5
bersaudara itu juga menerapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Ia akan
menampung seluruh produksi mereka sepanjang memenuhi standar kualitas
yang dipersyaratkan. Saat ini 14 kecamatan itu menghasilkan 120 ton nira
per pekan. Eka juga mengembangkan 7 ha sorgum sebagai bahan baku.
Anggota famili Gramineae itu memang potensial sebagai penghasil
biotenaol (baca: Tanaman Penyumbang Bahan Bakar halaman 22).
Itulah strategi Eka membangun kilang
hijau. Kilang adalah instalasi industri tempat pemurnian minyak bumi.
Namun, kilang juga berarti fermentasi air tebu atau nira. Proses itu
harus dilalui ketika ia mengolah nira menjadi bioetanol yang terus ia
kembangkan. Ia sama sekali tak khawatir soal pemasaran. Selama ada
kehidupan, bioetanol tetap diperlukan: untuk minuman, makanan, kosmetik,
rokok, juga bahan bakar. (Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha Helmina)
Sumber : Majalah Trubus
Desember 2007
Workshop Budidaya dan Pemanfaatan Aren Untuk Bahan Pangan dan Energi
Kamis,06 Desember 2007 11:52
Lonjakan harga minyak bumi pada akhir
2005 telah memaksa kita untuk mencari bahan bakar alternatif. Sejalan
dengan isu lingkungan dan kesehatan, maka upaya pemenuhan kekurangan
suplai energi ke depan diarahkan ke sumber terbarukan dan ramah
lingkungan, antara lain biofuel. Namun hampir semua sumber bahan baku
biofuel bersaing dengan kebutuhan pangan. Dalam konteks ini, aren dapat
berperan sebagai salah satu sumber bioenergi yang penting mengingat
produktivitasnya yang sangat tinggi dan selain itu aren juga dapat
ditanam di antara tanaman yang sudah ada atau sebagai komponen tanaman
untuk reboisasi sehingga tidak bersaing dengan komoditas pangan. Hal
tersebut disampaikan oleh David Aroerang Peneliti Aren Puslitbangbun
Deptan Bogor pada Workshop Budidaya dan Pemanfaatan Aren untuk Bahan
Pangan dan Energi di Gedung II BPPT Jakarta, 6 Desember 2007.
Workshop ini dimulai dengan pembacaan
laporan oleh Hari Purwanto Asdep Program Tekno Ekonomi, dan dilanjutkan
dengan pembukaan oleh Bambang Sapto P, Deputi Bidang Perkembangan Riset
Iptek. Sebagai pembicara pada workshop ini adalah David Aroerang,
Peneliti Aren Puslitbangbun Deptan Bogor, (Budidaya Aren dan
Pemanfaatannya untuk Pangan, Industri, Energi dan Konservasi
Lingkungan), Johan Bukit, Pembina Pengrajin Gula Merah di Berbagai
Daerah (Pemanfaatan Nira Aren sebagai Bahan Baku Gula Merah), Johan
Susilo, Dirut PT Banyu Lancar Unggul Engineering (Produksi Bioetanol
dari Nira Aren Skala Mikro-Kecil); M Rosjidi, Peneliti Teknologi Proses
BPPT (Sinergi Aren dengan Tanaman-tanaman Penghasil Nira Lainnya untuk
Produksi Bioetanol Bahan Bakar) ; dan Johan A Mononutu, Manajer Proyek
percontohan Etanol dari tanaman aren Sulawesi Utara (Pemberdayaan Petani
Aren Melalui Produksi Bioetanol Bahan Bakar).
Bambang Sapto dalam sambutannya
mengatakan bahwa aren yang merupakan salah satu penyumbang bioetanol,
dalam pembudidayaan dan pemanfaatannya diharapkan memperhatikan
prosesnya mulai dari hulu hingga hilir. “Bukan hanya prosesnya tapi juga
pelakunya.” tambah Bambang.
Workshop ini diikuti oleh peserta yang
berasal dari Litbang LPND dan LPD serta perguruan tinggi, Lembaga
Non-Pemerintah yang berkecimpung di gula dan bioetanol, dan Lembaga
Pemerintah yang berkaitan dengan topik diskusi. (humasristek)
AREN MERUPAKAN SALAH SATU PENYUMBANG PENYEDIAAN BIO-ETHANOL
Kominfo Newsroom, 06 December 2007,
Jakarta, 6/12/2007 (Kominfo-Newsroom) –
Seorang pejabat Kementerian Negara Riset dan Teknologi mengatakan, Aren
merupakan salah satu yang menjadi peyumbang bagi penyediaan bio-ethanol
dalam rangka pengembangan bio-ethanol yang diprogramkan pada tahun 2011.
“Dalam pengembangan aren tentu kita
perhatikan dari sisi hulu, proses sampai kepada penduduk,” kata Deputi
Bidang Perkembangan Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kemenneg Ristek
Dr. Ir. Bambang Sapto Pratomosunu, M.Sc pada pembukaan workshop
budidaya dan pemanfaatan Aren untuk bahan pangan dan energi di Jakarta,
Kamis (6/12).
Dalam pengembangan tersebut, Akademisi,
Business, dan Government (ABG) akan mengupayakan dari hulu sampai ke
hilir. Dari hulu penyediaan bahan bakunya, prosesnya, dan kemudian di
akhirnya akan menangkap untuk bisa disalurkan kepada pengguna.
Di beberapa daerah Aren telah
dimanfaatkan, ada yang diambil tepungya, ada yang dimanfaatkan untuk
menjadi minuman dengan kadar tertentu, dan sekarang teknologi telah
memungkinkan untuk memprosesnya menjadi bahan baker.
Maka pada tingkat proses telah menjadi
bahan pokok pembicaraan, tetapi juga pembinaan kepada para penyedia
hingga untuk keanekaragam penggunaan tetapi diarahkan menjadi wadah
ilmiah untuk mendukung bahan bakar.
“Jadi kondisi hulu, proses, sampai kepada
hilir diharapkan akan menjadi pokok pembahasan yang sangat bermanfaat
hingga memberikan konstribusi dari salah satu penyedia bahan bakar,”
ungkapnya.
Sementara itu, Peneliti Aren
Puslitbangbun Deptan Bogor, Dr. David Allorerung dalam acara yang sama
mengatakan, Aren sejak jaman dahulu sudah menyebar di seluruh Indonesia,
termasuk salah satu keluarga palma yang serbaguna, dapat tumbuh pada
ketinggian 0-1500 meter di atas permukaan laut.
Selama ini penyebarannya berlangsung
secara alamiah saja, dan bahkan dianggap sebagai tanaman liar saja atau
tanaman hutan. Budidaya Aren masih sangat langka karena kegiatan
penelitian untuk tanaman tersebut sangat terbatas dan tidak kontinyu
sebagai konsekuensi dari rendahnya perhatian terhadap pengembangan
komoditas tersebut.
Aspek penemuan varietas unggul adalah
salah satu aspek yang tidak disentuh oleh para peneliti, dan hingga saat
ini belum ada suatu varietas unggul yang dilepas secara resmi oleh
pemerintah.
Sementara Aren bisa dimanfaatkan kalau
disadap, artinya memerlukan tenaga kerja terampil, dan beda misalnya
kalau tebu. Buruh panen tebu tidak perlu ada keterampilan yang
diperlukan ada teknologi di pabriknya, tetapi kalau Aren perlu tenaga
terampil, untuk itu semua petani belum tentu mampu memanennya, sehingga
perlu diberikan pelatihan.
Dari hasil-hasil penelitian selama ini,
disebutkan satu pohon bisa menghasilkan rata-rata 15 liter perhari,
kalau dari tanaman yang baik.
Aren selain disadap, juga menghasilkan
kolang kaling dari bunga betina sebagai bahan makanan penyegar untuk
campuran buah segar atau panganan seperti kolak.
Tanaman Aren tersebut juga lazim ditebang
untuk diambil patinya yang banyak digemari karena aromanya lebih
disukai dibandingkan pati dari sagu. Pati dari Aren tersebut terutama
digunakan dalam industri makanan semacam mie yang disebut sohun (so’un)
dan untuk membuat makanan ringan seperti cendol. (T. Gs/toeb/c )
POPULASI TANAMAN AREN DI SULAWESI UTARA SEKITAR 2 JUTA POHON
Sumber: http://web.dev.depkominfo.go.id/ December 6, 2007,Jakarta, 6/12/2007
(Kominfo-Newsroom)
– Tanaman aren di Sulawesi Utara yang dikenal sebagai pohon seho sudah
sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat setempat menjadi sumber mata
pencaharian melalui produksi minuman saguer (sejenis tuak) dan captikus
(alkohol kadar tingi) ataupun yang diolah menjadi gula merah atau gula
aren. Jenis tanaman tersebut di
Sulawesi Utara merupakan tanaman yang tumbuh liar di daerah pegunungan
dengan populasinya mencapai kisaran 2 (dua) juta pohon.
“Proses
penyadapan saguer persis sama dengan proses penyadapan gula kelapa di
Jawa,” kata Manajer Proyek Percontohan Etanol dari Tanaman Aren Sulawesi
Utara, Johan A. Mononutu, pada workshop Budidaya dan Pemanfaatan Aren
Untuk Bahan Pangan dan Energi di Jakarta, Kamis (6/12).
Dalam
presentasinya bertemakan meningkatkan nilai tambah produk tanaman aren
melalui produksi bioetanol berbasais industri rakyat, disebutkan, di
Sulawesi Utara proses penyadapan tersebut disebut batifar.Sedangkan
produk captikus serta gula aren merupakan produk lanjutan dari bahan
baku saguer, hanya bedanya gula aren melalui proses pemasakan, adapun
captikus dihasilkan melalui proses penyulingan dengan menggunakan alat
tradisional yang sangat sederhana.
“Dengan kata
lain, produk captikus ataupun gula aren merupakan kegiatan home
industry yang telah berlangsung secara turun-temurun berabad-abad
lamanya,” ungkapnya.Tanaman aren di Sulawesi Utara dinilai sangat layak
dan signifikan untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar nabati
dengan pertimbangan, pada saat ini telah tersedia (walaupun tumbuh
secara liar) sebanyak lebih kurang 2 (dua) juta pohon aren di berbagai
kabupaten di Sulawesi Utara.
Adanya
ketersediaan tenaga kerja terampil, dan proses penyulingan meskipun
terbilang sederhana, telah dikenal masyarakat Sulawesi Utara sehingga
sentuhan teknologi terapan (tepat-guna) merupakan solusi terhadap faktor
produktifitas.Selain itu, juga masih tersedia ribuan hektar lahan tidur
yang jika diperlukan dapat dimanfaatkan, serta diversifikasi produk
saguer dan captikus menjadi bioetanol dapat menunjang ketahanan
sosial-ekonomi masyarakat Sulawesi Utara.
Sejalan
dengan pertimbangan tersebut, pada sisi yang lain telah pula berkembang
kesadaran di tengah masyarakat Sulawesi Utara, bahwa keberadaan captikus
sebagai minuman berkadar alkohol tinggi mempunyai beberapa dampak
buruk.Berdasarkan hal-hal tersebut, pada tanggal 21 September 2007,
Bupati Minahasa Selatan telah meresmikan Proyek Percontohan Saguer
Menjadi Bioetanol yang berlokasi di desa Kotamenara, Kecamatan Amurang
Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Propinsi Sulawesi Utara.
Sejak
berjalannya Proyek Percontohan Saguer Menjadi Etanol tersebut, pihaknya
telah mengembangkan, memperkenalkan, dan menggunakan alat penyulingan
dengan teknologi terapan (tepat-guna) dengan bimbingan dari BPPT, dalam
hal ini Balai Besar Teknologi Pati Bidang Teknologi Etanol dan
Derivatif. (T. Gs/toeb/c )
Gorontalo Bakal Miliki Pabrik Gula Aren
Sumber: http://www.gorontaloprov.go.id
Kamis, 06 Desember 2007
Budidaya Pohon Aren cukup Potensial.
Aren yang memiliki nama ilmiah Arenga
Pinata ini, merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang ternyata
cukup potensial untuk dikembangkan di Gorontalo. Tanaman ini dianggap
memiliki nilai ekonomis dan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat
Gorontalo. Dan menurut AR. Katili, salah satu Aleg Deprov yang mencoba
merintis budidaya tanaman Aren di Gorontalo, bahwa bisa tumbuh subur di
Gorontalo yang pada umumnya adalah dataran rendah dan berbukit-bukit.
Pohon Aren adalah tanaman yang serba
guna. Artinya, hampir semua bagian tanaman ini bisa berguna baik
langsung maupun tidak langsung bagi manusia, kata AR. Katili yang
ditemui kemarin. AR. Katili juga mengatakan, bahwa Aren memiliki dampak
ekonomis yang sangat tinggi. Nira, yang hasilnya bisa dibuat menjadi
Gula Aren atau yang lazim disebut Brown Sugar, kerap dijadikan
dihotel-hotel dengan harga perkilogramnya lebih tinggi dibandingkan Gula
Tebu. Selain itu, Gula Aren Juga dapat dijadikan Ethanol sebagai
alternatif pengganti bahan bakar yang berasal dari Fosil.
Potensi Ethanol yang dapat dihasilkan
adalah 1,5 Liter perhari untuk setiap pohonnya. Untuk produksi nira,
setiap pohonnya bisa menghasilkan nira sebesar 10 sampai 25 Liter
perhari, jelas AR. Katili. Ditambahkannya pula, telah ada rencana di
Gorontalo bakal dibangun pabrik Gula Aren yang nantinya akan menggunakan
tenaga panas bumi. Dengan menggunakan tenaga panas bumi ini, menjauhkan
dari terjadinya kerusakan alam dan ramah lingkungan, tukasnya.
Disamping itu, menurut AR. Katili, dampak
dari pembudidayaan tanaman Aren ini, bisa menyerap tenaga kerja yang
tidak sedikit. Untuk setiap 10 batang Aren, membutuhkan atau menyerap 1
tenaga kerja sedangkan untuk 1 Ha lahan dapat ditanami 250 pohon. Kalau
ada 100.000 Ha yang dikembangkan untuk ditanami pohon Aren, maka tenaga
kerja yang diserap cukup banyak. Dengan demikian akan mengurangi angka
kemiskinan karena daya beli masyarakat mengalami peningkatan, ujarnya.
Memopulerkan Pohon Aren sebagai Sumber Energi
Sumber: sumber:www.seputar-indonesia.com, Senin, 10 Desember 07 – oleh : admin
Pohon aren memiliki manfaat yang
besar.Selain sebagai bahan pangan,yakni gula dan tepung,kandungan
alkoholnya juga potensial dijadikan bioetanol. Hal itu membuat nama
tanaman yang memiliki nama latin Arenga pinnata merr mencuat sebagai
tanaman yang bisa menghasilkan bahan bakar alternatif pada beberapa
tahun terakhir.
JAKARTA(SINDO) –Selain itu, pohon aren
bisa mengobservasi lahan karena kemampuannya mengikat air permukaan.
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan
(Puslitbangbun), Departemen Pertanian (Deptan), David Allorerung
menyatakan, saat ini pohon aren tidak setenar tanaman jarak yang lebih
dianggap potensial menghasilkan biodiesel.
Namun, bukan berarti pohon aren kalah
potensial dibandingkan tanaman penghasil minyak lainnya. ’’Meskipun
lebih dikenal sebagai tanaman hutan, aren telah mulai dibudidayakan
secara baik oleh suku Batak Toba sejak awal tahun 1900-an.Tanaman itu
tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia pada berbagai kondisi
agroekosistem,” paparnya.
Tanaman yang masuk keluarga palma itu
memang serbaguna.Menurut David, aren dapat tumbuh pada ketinggian 0–1500
meter di atas permukaan laut. Hampir semua bagian tanaman aren dianggap
berguna bagi manusia,baik untuk pangan, bahan baku industri, dan energi
terbarukan. Aren juga memiliki fungsi hidrologis yang tinggi sehingga
sangat sesuai untuk tanaman konservasi.
Di Pulau Jawa, tanaman aren banyak
ditebang untuk dipanen patinya. Meskipun dianggap menurunkan
populasi,batang pohon aren merupakan penghasil tepung yang baik. Bahkan,
tepung untuk bihun terbaik berasal dari aren. Data mengenai populasi
pohon aren tampaknya masih belum bisa dipastikan secara tepat meski
sudah terbukti potensial sebagai sumber bahan baku energi bioetanol.
Berdasar data Departemen Pertanian, luas
arealtanamanarensebanyak59.495 hektare (ha) pada 2005. ’’Pengetahuan dan
informasi tentang budi daya aren masih sangat terbatas. Pasalnya,
kegiatan penelitian terhadap tanaman itu tidak dilakukan secara kontinu
sebagai konsekuensi rendahnya perhatian pada pengembangan
aren,”ungkapnya.
Meski demikian,ujar David,aren bisa
diperbanyak secara generatif melalui biji dari buah yang sudah
matang.Ada juga pohon yang benihnya berkecambah hanya dalam waktu dua
bulan sudah mencapai 90%. Padahal, pohon lain masih kurang dari 60%
dalam waktu tiga bulan. ’’Meski penelitian mengenai pemupukan pada pohon
aren praktis belum dilakukan, pada prinsipnya semua jenis tanaman akan
memberikan respons positif terhadap perlakuan pemupukan, baik organik
maupun anorganik,”paparnya.
Namun,Balai Kelapa dan Palma telah
menerbitkan standar pohon aren yang unggul, di antaranya produksi nira
antara 15–20 liter per hari, memiliki 7–8 mayang bunga jantan,umur mulai
disadap 9–10 tahun, jumlah mayang yang disadap 15–20 mayang jantan
sepanjang umur produktifnya, lama penyadapan 6–12 bulan untuk mayang
jantan pertama.
Tanaman aren baru mulai menghasilkan nira
pada umur 8–10 tahun dengan masa produktif 2–4 tahun.Petani harus
terikat setiap harinya untuk menyadap nira pada pagi dan sore. Sebab,
jika tidak dilakukan penyadapan, aren akan berhenti memproduksi nira.
’’Sebagai estimasi,jika rata-rata per
pohon per hari menghasilkan 10–15 liter nira dan ada 80 pohon dalam 1
ha, dengan kemampuan rata-rata penyadapan 200 hari, tanaman aren itu
bisa menghasilkan 20 ton alkohol.Kunci dari pengembangan ini adalah
bagaimana menciptakan sharing benefit yang adil antara petani, industri
rumahan, dan industri,”jelasnya.
Asisten Deputi Program Tekno Ekonomi
Kementrian Riset dan Teknologi Hari Purwanto menambahkan, program
pengembangan aren sudah dimulai sudah lama. Namun,baru belakangan ini
intensif dilakukan dan kembali dipopulerkan. Menurut dia, tanaman itu
lebih cocok ditanam di wilayah dataran tinggi dengan kondisi tanah yang
subur sehingga menghasilkan nira yang maksimal, yakni 15–20 liter per
hari.
Beberapa wilayah di Indonesia yang memang
sudah mengembangkan aren, yakni Jawa, Sumatra Utara, Sulawesi
Utara,Bengkulu,Sulawesi Selatan,dan lain-lain. ’’Jadi, sebenarnya mau
teknologi yang sederhana atau teknologi tinggi, aren tetap berguna.
Menebangnya pun bisa berguna. Masalahnya, aren itu untuk bahan makanan
atau energi. Itulah yang masih diperebutkan,”tandasnya. (abdul malik)
Memanen Bioethanol dari Pohon Aren
by : Agus Dwi Darmawan, http://jurnalnasional.com, Selasa, 11 Des 2007
INDONESIA memang negeri yang kaya sumber
bahan alam. Buktinya dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh
Kementrian Negara Riset dan Teknologi, salah satu peneliti mengatakan
bahwa Aren bisa menjadi sumber bioethanol. Jumlahnya pun tidak
tanggung-tanggung dengan persentase sebesar 7,5 persen dari produksi 15
liter per hari, maka untuk jangka waktu satu bulan saja bisa dihasilkan
hingga 500 liter bioethanol. Padahal jumlah ini termasuk yang minimal
dan terhitung untuk satu pohon Aren.
Salah satu pengisi makalah seminar, John B
Bukit dari PT Kreatif Energy Indonesia mengatakan sudah sejak dahulu
Aren secara tradisional ditumbuhkan oleh masyarakat dan menjadi gula
kepercayaan. Diolah tanpa pengawet dan pemutih menjadikan gula aren ini
sangat berkhasiat dan bisa memperpanjang umur. Namun beberapa di
antaranya juga ada yang membuatnya sebagai minuman memabukkan.
”Kalau dibandingkan dari keunggulannya,
gula aren lebih larut dalam air dan juga rasanya khas aromatik dibanding
tebu,” ujar John. Sayang meski unggul, karena budidayanya dianggap
sebagai produk hutan yang tak perlu ditanam, populasi tanaman ini
menjadi turun. Bahkan karena pengolahan yang tidak murni, harga di
pasaran menurun drastis.
Di Sibolangit Sumatera Utara contohnya,
banyak petani aren mencari jalan pintas dengan mencampur 60 persen gula
putih dan aren. Dari segi waktu katanya bisa lebih dihemat dan harga
laku jual masih tergolong tinggi. Untuk campuran ini misalnya, harga
bisa mencapai Rp 8.000 sampai Rp 9.000 per kilogram. Harga gula asli
aren mencapai Rp 10.000.
”Kasus seperti ini juga terjadi di Kudus,
Tuban, Lamongan dan Tuban. Bahkan di Lampung sudah tidak bisa dipercaya
lagi karena harga produk bisa mencapai Rp 5.000,” katanya. Saat ini
budidaya kembali bergairah dan diharapkan bisa memerbaiki keadaan
masyarakat setelah beberapa perusahaan meningkatkan produksi bioethanol
pada 2007 ini.
Peneliti Aren Puslitbangbun Deptan Bogor
David Aroerang mengatakan, upaya memanfaatkan aren sebagai bioethanol
bisa menjadikan aren sebagai nilai tambah. Ketersediaan bahan bakar yang
mengeruk uang negara dengan sistem subsidi dan menipisnya persediaan
membuat energi terbarukan seperti aren turut dipertimbangkan. ”Ini
adalah diversifikasi yang menguntungkan,” katanya.
Selain aren, di Indonesia sudah banyak
sumber bahan pangan yang memiliki manfaat yang sama. Lebih menguntungkan
menggunakan sumber bahan nabati ini karena kompetisi sebagai bahan
pangan lebih kurang. Dibandingkan tanaman singkong, jagung, tebu atau
kelapa sawit sendiri. Di lain pihak juga menyumbang pada kendaraan
berbahan bakar fosil karena bisa menurunkan emisi.
Di Sulawesi, kata Davis, tanaman ini
sudah menjadi mata pencaharian masyarakat yang khas, karena dikenal
sebagai lokasi aren terbesar di Indonesia. Terdapat sekitar dua juta
pohon milik masyarakat. Variasinya dalam bentuk produk tidak hanya gula
tetapi juga menjadi minuman saguer (sejenis tuak) dan captikus (alkohol
berkadar tinggi).
Tahun ini untuk melihat potensi bioethanol yang tinggi, Bupati Minahasa Selatan membangun proyek percontohan Saguer menjadi bioethanol yang berlokasi di Kotamenara, Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.
Tahun ini untuk melihat potensi bioethanol yang tinggi, Bupati Minahasa Selatan membangun proyek percontohan Saguer menjadi bioethanol yang berlokasi di Kotamenara, Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.
Menurut David, sejak uji produksi yang
dimulai pada Maret lalu diperoleh fakta bahwa baik saguer maupun
captikus dapat menghasilkan bioethanol 90-95 persen setelah proses
destilasi pertama. Selanjutnya pada proses destilasi kedua dengan
penggunaan zeolit mampu menghasilkan biethanol 99,6 persen (fuel grade).
Kapasitas produksi satu alat destilasi
skala rumahan (perkelompok terdiri dari dua petani/penyadap aren) saat
ini mencapai lima liter per jam. Dalam masa operasi 10 jam per hari bisa
dihasilkan 90 persen bioethanol. Sementara dari 10 alat destilasi
dihasilkan sekitar 13 ton per bulan untuk 26 hari kerja.
Sebaran Aren di Berbagai Daerah
by : Agus Dwi Darmawan
www.jurnalnasional.com, Jakarta | Selasa, 11 Des 2007
www.jurnalnasional.com, Jakarta | Selasa, 11 Des 2007
Pohon aren sudah dikenal masyarakat
karena memiliki banyak kegunaan. Hampir semua bagian tanaman aren ini
berguna, baik untuk pangan, bahan baku industri maupun energi
terbarukan. Aren juga memiliki kemampuan fungsi hidrologi yang tinggi
sehingga sangat cocok untuk tanaman konservasi.
Misalnya di pulau Jawa, tanaman aren
banyak ditebang untuk dipanen patinya. Daunnya dibuat tali temali,
niranya untuk gula dan berbagai keperluan lain. Kolang kaling yang
dibuat dari bunga betinanya yang masih muda juga menjadi makanan
favorit. Gula merah aren sendiri juga banyak diminati karena rasanya
yang khas. ”Tak heran pulau Jawa menjadi penyebab sumber utama
menurunnya populasi aren karena ditebang,” kata David Allorerung,
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Deptan.
Pohon aren juga bisa menjadi tanaman
konservasi. Hal ini ditunjukkan bahwa aren banyak dijumpai di lokasi
yang berbukit dan rawa bencana alam, tanah longsor dan banjir. Pohon
aren juga bisa menghambat erosi. Selain itu dengan sistem agrofprestry,
tanaman aren juga banyak dimanfaatkan untuk daerah aliran sungai (DAS).
Di Papua tanaman ini banyak dijumpai di lembah-lembah dan aliran sungai.
Di 14 provinsi lainnya, juga dapat ditemui yang sama misalnya di Aceh,
Sumut, Sumbar, Bengkulu hingga ke Sulawesi dan Maluku. Tak heran di
beberapa daerah yang banyak arennya masih ditemui air yang awet
(melimpah di musim hujan dan kemarau) dan murni.
Meski sudah lama disuarakan oleh berbagai
kalangan, pemerintah Indonesia dinilai lambat merespons. Baru pada 2005
ketika krisis energi digembar-gemborkan dengan dibarengi perubahan
iklim, kesadaran untuk mengembangkan energi terbarukan mulai terpicu.
Menurut data Direktorat jenderal Bina
Produksi Perkebunan Deptan, data lahan aren di seluruh Indonesia selalu
berubah. Catatan 2005 dan 2006 memperlihatkan ada kurang lebih mencapai
59,495 hektar lahan aren yang tersebar di 33 provinsi. Mengingat aren
ini dapat tumbuh di mana saja dan komoditasnya yang besar, diharapkan
pemerintah memiliki alokasi anggaran khusus untuk petani aren.
Hambatan yang juga muncul selain
ketidakmerataan lahan aren seperti halnya kelapa sawit, penemuan
varietas unggul aren juga tidak pernah disinggung oleh peneliti. Hingga
saat ini masyarakat hanya melestarikan bibit unggul yang dianggapnya
baik. Kriterianya ada yang produksinya tinggi hingga 15-20 liter nira
per hari, memiliki 7-8 bunga jantan, mulai disadap setelah 9-10 tahun
dan berbagai pengamatan masyarakat lainnya. ”Masyarkat sudah tahu
pastinya, tetapi jika pemerintah dan peneliti campur tangan di sana maka
potensinya lebih besar lagi,” katanya.
Mumpung Natal, Gula Aren Dijadikan Replika Gereja
Sumber: http://www2.kompas.com/; 24 Desember 2007
MANADO, SENIN – Para pembuat gula aren di
Manado jeli juga memanfaatkan momentum Natal tahun ini untuk mengangkat
komoditi industri kecilnya agar lebih dikenal masyarakat. Mumpung
suasana Natal, 6 ton gula aren disulap menjadi replika gereja.
“Replika Gereja sangat unik dan memiliki
seni tinggi itu, memiliki penuh makna jelang perayaan Natal 25 Desember
2007 dan Tahun Baru 1 Januari 2008,” kata Heydi, salah satu pengunjung
saat menyaksikan replika di Manado Convention Center (MCC), Senin
(24/12).
Replika gula aren itu, selain mengangkat
seni dan budaya jelang hari besar umat beragama, petani asal Motoling,
Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), turut mengangkat potensi dan sumber
daya alam pertanian di daerah tersebut yang bisa dijual ke daerah lain
atau mancanegara. Apalagi replika bangunan Gereja itu telah dicatat pada
Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tanggal 22 Desember 2007, karena
sangat unik dan pertama dilakukan di Indonesia.
“Pencatatan rekor MURI itu, bagian dari
upaya petani di Minsel, mengangkat budaya dan potensi alam untuk
dikembangkan lebih jauh,” kata Ketua Dewan Seni dan Budaya Sulut, Kombes
(Pol) Benny Mamonto.
Pengerjaan replika Gereja dari gula aren
itu, memakan waktu selama 11 jam, dengan persiapan pelaksanaan selama
delapan hari, dari Desa Wanga Amongena, Kecamatan Motoling, Kabupaten
Minsel.
“Ide kreatifitas ini timbul dari sejumlah
petani, untuk mengangkat gula aren agar lebih dikenal masyarakat luas, ”
kata petani asal Motoling, Joutje Pondaag, sambil menyebut ada 58
petani yang tergabung pada kelompok tani pemberdayaan pemerintah Minsel.
(ANT/WAH)
1 Comment »
RSS feed for comments on this post. TrackBack URI
Leave a Reply
Theme: Shocking Blue Green. Blog at WordPress.com.
Comment by anwar — October 14, 2010 @ 6:02 pm