Aren Indonesia
Steven Y Pailah
Seho: Bio Energi dan Pilihan Pariwisata WOC
Oleh: Steven Y PailahSumber: http://www.sulutlink.com/berita2008/80611artikel.htm
Pohon Seho dikenal dengan nama pohon
enau, aren atau literatur latin menyebutnya ‘Arenga Pinnata’. Di Manado
dan Batak, hasil pohon ini dijadikan “saguer, tuak, arak” yang memiliki
kandungan alkohol / ethanol melalui proses fermentasi. Sebagai minuman
khas tradisional, desa-desa di bagian Minahasa Selatan sudah memproduksi
secara masal, baik tiap rumah tangga dalam kemasan tradisional. ‘Cap
tikus’ nama lain produk ini menjadi ‘barang ekonomi’ bagi masyarakat
setempat dan pabrik pembuat minuman beralkhohol.
Hingga kini, berkat penjualan ala
tradisional ‘cap tikus’ maka sebuah kampung di Minahasa dapat
menyekolahkan putra-putrinya hingga sarjana. Bahkan, usaha kecil
masyarakat ini dapat menembus pasar lokal dan internasional di tahun
1990an. Menjadi pertanyaan, mengapa pohon seho hanya dijadikan miras
‘captikus’? Padalah, masih banyak juga kegunaan alkohol dalam bidang
medis ataupun kosmetika. Kendalanya, adalah pabrik farmasi dan kosmetika
tidak beroperasi sepenuhnya di Sulawesi Utara. Oleh karena itu,
produksi pohon seho hanya digunakan sebagai bahan baku utama untuk
minuman beralkohol.
Di sisi lain, rencana protes para petani
di Minahasa Selatan sesungguhnya adalah hal wajar, apabila pabrik
minuman keras tidak melakukan pembelian atas produksi tesebut. Hal ini
menunjukkan iklim usaha yang tidak kondusif. Jika proses pembelian tidak
dilakukan dan terjadi penumpukan produksi maka harga ‘cap tikus’ akan
turun dengan sendirinya dan petani akan gigit jari. Hal ini terjadi
karena daya dukung dan daya serap pabrik juga mungkin sudah melebihi
kapasitas produksi. Jadi, untuk sementara tidak melakukan pembelian yang
dirasakan menutup keran hidup masyarakat petani pohon seho.
Apabila ada pabrik farmasi maupun
kosmetika yang beroperasi di Sulawesi Utara, kemungkinan protes petani
tidak akan sampai ke Pemprov dan DPRD Sulut.
Manfaat ‘Seho’ Sebagai Bio Energi
Selanjutnya, apa manfaat Pohon Seho
sebagai pilihan alternatif mengatasi krisis energi? Uraian Hanny Sangian
(sulutlink,7 Mei) merupakan jawaban ilmiah menyangkut kegunaan produksi
alkohol/ethanol:“…menurut Hanny Sangian, “jika Etanol Enau menggantikan
seluruh bahan bakar, maka; 1 pohon enau menghasilkan Air Nira 20-30
liter perhari. Dalam 20 liter Nira mengandung 1 liter etanol murni.
Konsumsi bahan bakar sekarang 200 juta liter perhari setara dengan 200
juta pohon enau. “Untuk itu kita memerlukan 2 juta hektar lahan pohon
enau. Perbandingan; Etanol dari Jagung memerlukan luas lahan sebesar
30.000.000 hektar. Etanol dari Tebu memerlukan lahan seluas 25.000.000
hektar. Minyak Sawit (biodiesel) memerlukan lahan seluas 15.000.000
hektar. Keuanggulan dari pohon Enau bisa menghasilkan multi produk
seperti tepung Sagu, gula Aren dan Ijuk. Pohon enau yang tidak produktif
bisa diambil kayunya. Pohon enau tahan terhadap cuaca ekstrim. Pohon
enau penahan banjir. Sedangkan dalam penyerapan tenaga kerja; 1 orang
dapat menghasilkan 300 liter air nira perhari dari 15-25 pohon enau,
setara dengan 15 liter bahan bakar etanol perhari. “Jika produksi bahan
bakar etanol 200.000.000 liter perhari, maka, jumlah tenaga kerja yang
terserap itu adalah sebanyak 13.333.000 orang. Belum lagi tenaga kerja
pada tingkat industri processing”.
Berdasarkan pemaparan Sdra. Hanny di
atas, mari kita lihat target produksi bio-energi (bahan bakar) untuk
kebutuhan skala nasional.
Target Pemerintah di Bidang Energi
Pemerintah RI melalui
Departemen Sumber Daya Mineral mentargerkan diversifikasi energi tahun
2007 hingga 2010 adalah sebagai berikut:
Jadi sesungguhnya, dalam program
diversifikasi yang dilakukan pemerintah hingga dua tahun ke depan,
prosentasi penggunaan produksi ethanol sebagai bahan bakar dan sumber
pengganti energi masih berada pada skala minimal dan alternatif yang
belum dapat menggantikan produksi kapasitas BBM maupun Solar pada
kisaran 40 %.
Di samping itu, untuk bahan baku biofuel
saat ini yang baru dikembangkan adalah singkong, tebu, sawit dan jarak.
Sedangkan, aren (pohon seho), nipah, cantle, mikroalgae dan sampah masih
dalam tahapan pengembangan. Pemerintah juga sesungguhnya
memprioritaskan pengembangan bahan baku biofuel diusahakan bukan berasal
non-pangan. Hal ini untuk menjaga keseimbangan lahan dan penggunaan
produksi yang berlebihan sehingga tidak akan merusak sektor-sektor usaha
perkebunan lainnya.
Andaikan disediakan 2 juta hektar lahan
konversi untuk pohon seho, maka masih diperlukan waktu maksimal 10 tahun
untuk bisa berproduksi dan dinikmati hasilnya. Di samping itu, pohon
seho tumbuh pada daerah yang mengalami hujan tropis. Keadaan iklim yang
tidak menentu saat ini akan sangat mudah mempengaruhi nilai produksi dan
hasil pohon itu sendiri. Jika dibandingkan dengan beras 1 kilogram yang
membutuhkan 1000 liter air untuk pengairan padi di sawah, maka bisa
dipikirkan 1 pohon seho membutuhkan berapa puluh ribu kubik air selama
10 tahun?
Untuk itu, upaya-upaya mengubah paradigma
masyarakat petani pohon seho seharusnya tidak serta-merta mengikuti
perkembangan teknologi berbasis bio-energi. Apabila dilakukan maka akan
berbahaya bagi kelangsungan hidup dan ekonomi petani itu sendiri.
Perubahan struktur, produksi dan teknologi hendaknya diarahkan pada
keuntungan manusia itu sendiri, bukan dalam hal rekayasa teknologi yang
justru mendatangkan bencana.
Memang, saat ini dunia begitu panik akan
kenaikan minyak mentah di pasar internasional yang telah menembus $ US
122/barel. Sementara itu di Amerika Latin, penggunaan bio energi dari
tebu dan jagung sudah jauh dikembangkan. Indonesia juga melalui peneliti
di bidang pertanian dan energi telah berhasil dalam teknologi
pengembangan bio energi generasi satu. Akan tetapi, kebijakan tiap-tiap
negara tentunya berbeda-beda. Kemungkinan pengembangan bio-energi yang
berlebihan akan menyebabkan ketimpangan sektor produksi lahan perkebunan
lainnya.
Hal ini juga akan menimbulkan krisis
penyediaan pangan bagi Indonesia maupun bagi dunia, karena penyerapan
lahan-lahan disediakan hanya untuk penyediaan energi, sedangkan produksi
perkebunan dan pertanian nantinya akan terlantar.
Solusi dan Alternatif
Berdasarkan
analisis di atas, maka dapat disimpulkan 5 hal. Pertama, di samping
membuka dialog antara petani, pengelola pabrik dan pemerintah Provinsi
Sulut, maka dibutuhkan jembatan investasi dan penyediaan pasar domestik
untuk penyaluran produksi ‘cap tikus’ di bidang medis dan kosmetika.
Mungkin tidak perlu dengan membangun pabrik farmasi dan kosmetika,
tetapi yang dibutuhkan adalah jalur investasi dari pabrik-pabrik di
Bandung atau Surabaya seperti Kalbe Farma, PT.Unilever dan Martha Tilaar
untuk membeli hasil produksi petani. Langkah dan kerelaan pemerintahlah
yang menjadi jembatan emas bagi para petani di Minahasa Selatan.
Kedua, jadikan kebun-kebun di Minahasa
Selatan sebagai pusat riset untuk pengembangan bio-energi khususnya
ethanol/alkohol. Apabila sumber sampel riset berasal dari pohon seho di
Minsel maka akan berdampak luas bagi usaha ekonomis. Di samping itu,
para petani mendapat pengetahuan dan ilmu baru dalam mengolah produksi
pohon seho.
Ketiga, perkebunan seho diusahakan
sebagai inti program usaha masyarakat. Hal ini menimbulkan konsekuensi
modal dan usaha. Apabila ingin berhasil, maka yang diperlukan adalah
tiga hal yakni produksi, teknologi dan industri. Jika produksi melimpah
dan teknologi riset dapat menjadikan komoditi ekspor, maka harus ada
arus bisnis dan investasi dalam bentuk industri. Kenapa masyarakat hanya
bergantung pada pembelian pabrik miras saja, tidak berusaha membangun
industri kelompok rumah tangga atau industri khusus memenuhi produk
ekspor?
Di Bali, ada contoh yang baik.
Melimpahnya buah-buahan tropis menjadikan seorang peneliti (asing) yang
menikah dengan gadis setempat membuat usaha minuman beralkohol rasa
buah. Saat ini pasar internasional sudah menerimanya dengan paket
kemasan ‘Wine of Bali’. Yaitu sejenis minuman beraroma alkohol dan rasa
buah. Teknik pengolahan buah menjadi minuman beralkohol tidaklah sulit.
Pada saat peneliti dari ‘ekspatriat’ Perancis datang ke Manado
(2002-2003), tepatnya di Lotta telah dilakukan proses uji coba minuman
beralkohol dengan rasa buah. Oleh karena itu, kenapa petani tidak
mencoba mengalihkan sebagian produksi ‘cap tikus’ untuk produk ekspor?
Keempat, potensi pegunungan dan produksi
masal ala petani di Minahasa sesungguhnya merupakan objek untuk
pariwisata. Alih-alih berdemo meminta produksi dibeli, apakah tidak
sebaiknya para petani menjadikan lahan seho-nya sebagai objek wisata.
Dahulu, perkebunan kopi di Afrika dan Amerika Latin dijadikan tempat
wisata dan peristarahatan para pemilik. Dengan konsep demikian, jika
para petani mau membersihkan lahannya dan mendirikan dego-dego bambo
untuk menikmati ‘cap tikus’, kenapa tidak meminta Pemprov untuk
mensosialisasikan sebagai daerah tujuan wisata? Akan sangat menarik dan
mendatangkan keuntungan jika para turis bersama-sama petani melakukan
proses ba tifar, pukul pohon hingga penyulingan ‘cap tikus’ pada tahap
awal. Jadi, di samping produksi lahan dan ‘cap tikus’, akan mendatangkan
manfaat juga pada sektor pariwisata. Bukankah program WOC saat ini
sedang mencari objek wisata alternatif selain Bunaken?
Kelima, yang perlu di ingat adalah
kualitas produksi perkebunan pohon seho. Memang, struktur penanaman
pohon seho ada juga yang beragam dengan tanaman lainnya seperti cengkeh,
vanili, pala maupun kelapa. Produk-produk inipun tak kalah ‘harum’-nya
dan pernah mengalami zaman keemasaan sebagai produk perkebunan di pasar
internasional. Dengan kondisi krisis energi dan pangan dunia, seharusnya
petani juga memikirkan produksi alternatif hasil kebun lainnya dengan
memperhitungkan jarak tanam, olah dan produksi. Andaikan pohon seho bisa
diproduksi pada tahun ke enam hingga ke sepuluh, maka harus ada tanaman
penunjang lainnya di tahun pertama hingga ke lima . Tanaman-tanaman
tersebut adalah alternatif penghasilan jangka pendek ketika menunggu ba
tifar dan bajual saguer atau ‘cap tikus’. Jadi, sekalipun pabrik tidak
menerima produksi ‘cap tikus’, masih ada ‘rica-tamate’ atau ‘kalapa
muda’ yang boleh dijual ke pasar maupun disuguhkan for bule-bule yang
datang sebagai wisatawan.
1 Comment »
RSS feed for comments on this post. TrackBack URI
Leave a Reply
Theme: Shocking Blue Green. Blog at WordPress.com.
Comment by Standard Smile — February 18, 2010 @ 2:36 am