Kisah Sukses Pramono, dari Office Boy Menjadi Miliarder
Kisah perjalanan hidup A Pramono (34)
mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran Madiun
ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan menjadi
office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang
ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah
menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas
Mono ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah
melewati proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak
ada sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat
perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3 (maksudnya tamat
SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan laptop karena dia
menjadi salah seorang mentor nasional dari Entrepreneur University (EU).
Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu bahan presentasinya ketika
membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki
Pramono dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar
sesuatu yang baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999,
ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono selalu
memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan bermain
bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan menguasai
keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
Akhirnya, tahun 2001 dia keluar dart
perusahaan tersebut dan memulai usaha dengan berjualan gorengan keliling
di seputar,wilayah Pancoran, Jakarta Selatan. Langkahnya rada ekstrem.
Sebab, bagi Pramono, untuk memulai usaha tidak perlu banyak berpikir,
apalagi menghitung rugi laba. Yang terpenting adalah melakukan action.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan, Pramono
tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di seberang
Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli gerobak dan
peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka lembaran
barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir mendorong
gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir. Terpaksa ayam
tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar