Howard Schultz, Pebisnis Itu Harus Mampu Melawan Keterbatasan
31 Dec 2013 Hits : 2,300
Apa
yang akan Anda lakukan jika ide Anda ditolak dan dilecehkan? Menyerah
Atau malah makin bergairah? Jika pilihan terakhir ini yang Anda lakukan,
barangkali suatu keajaiban bisa terjadi pada Anda. Ya memang, terkadang
seorang pebisnis harus mampu melawan berbagai keterbatasan jika ingin
menuju puncak tangga kesuksesan.
Kemungkinan itu bukan isapan jempol belaka. Hal itu pernah dialami oleh Howard Schultz, orang yang dianggap paling berjasa dalam membesarkan kedai kopi, Starbucks.
"Secangkir
kopi satu setengah dolar Gila! Siapa yang mau Orang-orang Amerika tidak
akan pernah mengeluarkan satu setengah dolar untuk kopi," itulah salah
satu cemooh yang diterima Howard, saat menelurkan ide untuk mengubah
konsep penjualan Starbucks.
Dalam buku Pour Your Heart Into It Howard menceritakan bagaimana ia merintis cangkir demi cangkir kopi dan menjadikan Starbucks sebagai kedai kopi dengan jaringan terbesar di seluruh dunia.
Awalnya, Howard adalah seorang general manager di
sebuah perusahaan bernama Hammarplast. Suatu kali, ia datang ke
Starbucks yang pada awalnya hanyalah toko kecil pengecer biji-biji kopi
yang sudah disangrai. Toko ini dimiliki oleh duo Jerry Baldwin dan
Gordon Bowker sebagai pendiri awal Starbucks. Duo tersebut memang
dikenal sangat getol mempelajari tentang kopi yang berkualitas. Melihat
kegairahan mereka tentang kopi, Howard pun memutuskan bergabung dengan
Starbucks, yang kala itu baru berusia 10 tahun. Ia segera dekat dengan
Jerry Baldwin. Sayang, hal itu kurang berlaku dengan Gordon Bowker dan
Steve, seorang investor Starbucks baru. Meski begitu, Howard tetap
berusaha beradaptasi dan mencoba mengenalkan berbagai ide pembaruan
untuk membesarkan Starbucks.
Suatu
ketika, Howard mempunyai ide cemerlang. Ia mendesak Jerry untuk
mengubah Starbucks menjadi bar espresso dengan gaya Italia. Setelah
perdebatan dan pertengkaran yang panjang, keduanya menemui jalan buntu.
Jerry menolak karena meskipun idenya bagus, Starbucks sedang terjerumus
dalam utang sehingga tidak akan mampu membiayai perubahan.
Howard
pun lantas bertekad mendirikan perusahaan sendiri. Belajar dari
Starbucks, ia tidak mau berutang dan memilih berjuang mencari investor.
Dan, pilihan inilah yang kemudian membuatnya harus bekerja ekstra keras.
Ditolak dan direndahkan menjadi bagian keseharian yang harus
dihadapinya.
Tekad
itu terwujud. Bahkan dengan uang yang terkumpul dari usahanya, ia
berhasil membeli Starbucks dari pendirinya. Namun, kerja keras itu tak
berhenti dengan terbelinya Starbucks. Saat terjadi akuisisi, ia
mendapati banyak karyawan yang curiga dan memandang sinis perubahan yang
dibawanya. Tetapi, dengan sistem kekeluargaan, ia merangkul karyawan
dan bahkan memberikan opsi saham sehingga rasa kepemilikan karyawan
terhadap perusahaan makin tinggi.
Kini,
Howard berhasil mengembangkan Starbucks hingga puluhan ribu cabang di
seluruh dunia. Ia juga menekankan layanan dengan keramahan pada
konsumen. Selain itu, Howard memperlakukan karyawan sebagai keluarga.
Dengan cara itu, Howard terus berekspansi hingga menjadi kedai kopi
terbesar di dunia. (bn/dari berbagai sumber)
BACA JUGA- Adik Pendiri Google Bebisnis Menu Restoran Digital
- Carlos Slim, Raja Bisnis Multilalenta dari Meksiko
- Eugene Kaspersky, Dedengkot Anti Virus dari Rusia
- Berkat Kamar Berantakan, Lahirkan Bisnis Miliaran
- Jaroslaw Bogulak: Tak Ada Lagi Rahasia untuk Jadi Entrepreneur Sukses
- Jonathan Ages: Ajak Masyarakat Urban Bergaya Hidup Aktif lewat Startupnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar