Minggu, 24 Februari 2013

RUMAH WALET SEBAGAI "PABRIK DOLAR",joni sepriyan

RUMAH WALET SEBAGAI "PABRIK DOLAR"

Di kota kecamatan Haurgeulis, Kab. Subang, Jawa Barat; ada seorang haji yang kaya raya. Tamu yang datang untuk bertemu dengannya pasti akan kebingungan. Sebab Pak Haji ini istrinya lima orang. Rumahnya sampai belasan. Suatu saat dia sedang di rumah istri pertamanya. Bisa juga di rumah empat istri lainnya. Tetapi bisa juga dia sedang berada di salah satu rumah yang jumlahnya belasan tersebut. Kadang-kadang dia sedang berada di luar negeri. Sebab sebagian besar anak-anaknya bersekolah di luar negeri, terutama di AS. Padahal Pak Haji ini tidak punya kantor. Tidak punya pabrik. Bahkan anak buahnya pun terhitung hanya puluhan orang. Dari manakah dia bisa menjadi kaya? Ternyata, rumah Pk Haji yang jumlahnya belasan itu, sebagian besar dihuni oleh burung walet (Collocalia fuciphaga). Masyarakat lazim menamakan burung ini sebagai burung layang-layang. Karena sehari penuh burung ini hanya akan terbang melayang-layang, seperti tidak mengenal capek. Rumah-rumah walet tersebut dalam setahun akan menghasilkan kurang lebih 1 kuintal sarang burung. Apabila harga sarang walet tersebut Rp 10.000.000,- per kg, maka penghasilan kotor Pak Haji ini akan mencapai Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah setahun). Atau tiap bulannya sekitar Rp 83.000.000,- Apabila untuk biaya macam-macam nilainya separo daripendapatan kotor, maka pendapatan bersih Pak Haji ini Rp 41.500.000,- per bulan. Padahal praktis dia tidak harus kerja apa pun.
Sarang walet, sebenarnya adalah lendir yang dikeluarkan oleh kelenjar yang terdapat pada leher burung. Di habitat aslinya, lendir ini akan dioleskan di tebing-tebing cadas dalam gua yang gelap gulita. Baik gua di bukit kapur maupun gua-gua di tebing pantai yang curam. Lendir itu akan segera mengering dan mengeras hingga membentuk sarang kecil mirip dengan potongan BH. Warna sarang bervariasi mulai dari putih, putih kekuningan, putih kecokelatan sampai putih kemerahan. Warna sarang sangat tergantung dari serengga yang dimakan si burung, juga sangat tergantung dari batu cadas yang ditempeli sarang tersebut. Kalau batu itu warnanya kecokelatan dan air merembes masuk ke jaringan sarang, maka sarang yang sebelumnya berwarna putih pun akan berubah menjadi kecokelatan. Di sarang itulah burung walet akan bertelur dan mengeraminya sampai menetas. Sarang inilah yang diambil oleh manusia kemudian setelah dibersihkan akan menjadi mata dagangan sangat penting. Sarang walet adalah menu khas di restoran cina papan atas. Soup sarang walet dipercaya bisa mendatangkan kekuatan pada yang menyantapnya, menyembuhkan berbagai penyakit serta meningkatkan stamina. Sarang walet itu sendiri, setelah dimasukkan ke dalam kuah soup lengkap dengan bumbunya, akan hancur. Hingga sosok fisik soup sarang walet hanyalah berupa cairan kental yang rasanya sangat gurih khas sarang walet.
Agroindustri sarang walet sebenarnya sangat aneh. Modal utama pelaku agroindustri hanyalah rumah. Meskipun habitat asli burung walet adalah gua, namun pada perkembangan lebih lanjut, burung ini juga mau menghuni rumah-rumah tua, terutama yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya. Rumah-rumah walet ini terdapat mulai dari kota kecamatan Labuhan di ujung barat pulau Jawa, tersebar merata di sepanjang pantai utara sampai ke kota kecamatan Muncar di ujung timur pulau Jawa. Di pantai selatan, walet lebih banyak tinggal di gua-gua di tebing pantai. Misalnya yang kondisinya masih sangat baik adalah di gua Karang Bolong di Kab. Kebumen, Jawa Tengah. Di pantai utara pulau Jawa yang landai, gua-gua kapurnya sudah banyak yang rusak. Walet yang kebingungan kehilangan tempat tinggal, menemukan banyak rumah-rumah etnis Cina, Arab dab Belanda yang kosong. Di ruang yang 100 % gelap itulah walet membangun sarang. Di pantai selatan gua-gua pantai yang curam itu kondisinya masih bagus. Meskipun tanpa penjagaan yang ketat, gua Sang Hyang Sirah di Ujung Kolon pun juga dijarah pencuri. Karena di sepanjang pantai selatan tidak dijumpai pemukiman dengan rumah-rumah besar yang kosong, maka waletnya pun tetap menghuni gua. Hingga konsentrasi rumah walet memang hanya terdapat di sepanjang pantai utara Jawa.
Dalam agroindustri sarang walet, pemilik rumah hanya bertugas menjaga agar habitat satwa ini tetap aman dari pencurian, penjarahan dan kerusakan karena faktor alam. Penjarahan sarang walet memang melibatkan jawara dan juga oknum bersenjata. Sebuah sarang walet yang mampu menghasilkan belasan kg, sekali panen dan dijaga oleh aparat bersenjata, masih juga bisa dijarah karena yang datang lebih banyak dengan senjata yang lebih modern. Kadang-kadang, seorang jawara (terutama di Banten), mampu masuk ke rumah walet melalui lubang yang hanya pas untuk kepala orang. Faktor alam yang perlu dijaga adalah ruang tempat walet bersarang harus gelap total, lembap dan tidak ada gangguan tikus, kecoak, semut dll. Walet akan bersarang di plafon rumah, terutama permukaan siku tempat balok penyangga papan-papan plafon tersebut. Pemilik rumah tidakperlu memberi pakan pada ternbak peliharaannya. Sebab walet itu pada siang hari akan terbang untuk mencari serangga yang merupakan menu sehari-harinya. Serangga ini akan melimpah pada pergantian gelap dengan terang di pagi serta sore hari. Saat itulah walet akan makan sekenyang-kenyangnya, untuk beterbangan seharian dan kembali ke sarang pada malam harinya. Pola hidup walet ini bertolak belakang dengan kelelawar pemakan serangga yang justru meninggalkan gua pada malam hari dan tidur pada siang harinya.
Karena makanan walet adalah serangga, maka habitat di sekitar rumah walet menjadi sangat penting. Kalau di sekitar kawasan tersebut masih banyak sawah atau hutan, maka serangga akan melimpah hingga pakan walet tersedia cukup. Ketika areal sawah dan tambak udang serta bandeng di Gresik, Jatim, diubah menjadi kawasan industri, maka walet pun hijrah ke arah barat. Seorang Haji yang sebelumnya bisa panen sampai 2 kuintal per tahun dari puluhan rumah waletnya, menjadi bangkrut karena panen tingal hanya belasan kg. Sementara pemilik rumah walet di Tuban, Bojonegara dan Rembang yang sebalumnya hanya panen beberapa ons, tiba-tiba panennya meningkat menjadi beberapa kg. Penggunaan pestisida dosis tinggi di sawah-sawah di kawasan Pantura di pulau Jawa, telah mengakibatkan populasi serangga pakan walet menurun. Penurunan populasi serangga pakan walet ini, akan berdampak pula terhadap penurunan produksi sarang walet. Hingga sebenarnya, agroindustri sarang walet bukan sekadar membangun rumah walet lalu menunggu datangnya burung penghasil dolar tersebut. Yang lebih penting lagi adalah menjaga kualitas lingkungan agar populasi serangga tetap tinggi.
Panen sarang walet, biasanya dilakukan sampai tiga kali dalam satu tahun. Biasanya panen terjadi pada saat populasi serangga sedang banyak-banyaknya. Pada saat ini secara naluriah burung akan kawin lalu terdorong untuk membangun sarang. Ketika sarang belum sempurna, segera dilakukan pemanenan. Panen sarang yang belum sempurna ini menghasilkan sarang dengan volume kecil, namun dengan kualitas yang sangat baik. Sebab sarang masih sangat bersih. Sesaat setelah sarang yang belum selesai itu dipanen, burung akan segera membangun sarang kembali. Kali ini harus dibiarkan burung betina itu bertelur. Sesaat setelah telur keluar, segera dilakukan panen "rampasan". Artinya sarang segera dipanen dan telur yang ada "dirampas". Dulu telur yang dipanen rampasan ini dibuang begitu saja. Lebih-lebih panen sarang darigua-gua di pantai selatan Jawa, telur walet ini akan langsung dibuang ke laut atau dimakan mentah-mentah oleh buruh pemanen. Sekarang telur-telur hasil panen rampasan ini banyak yang ditetaskan pada sarang burung seriti (Collocalia esculenta), atau dalam mesin tetas. Setelah sarang dan telurnya dipanen rampasan, maka burung akan kembali membangun sarang dan segera bertelur lagi. Kali ini, burung harus dibiarkan mengerami telurnya sampai menetas. Setelah telur menetas dan anak walet jadi besar lalu terbang, dilakukan panen ketiga. Hasil sarang dari panen ketiga ini kualitasnya sangat jelek karena tercampur buludan kotoran anak burung. Tetapi pola ini harus dilakukan agar populasi walet bertambah.
Agroindustri walet tergolong sangat menarik karena nilai sarang yang demikian tinggi. Karenanya banyak pihak yang akan tertarik untuk masuk ke sana. Pembangunan rumah walet tampak menjamur hampir di sepanjang Pantura Jawa. Namun yang benar-benar berhasil hanya satu dua. Para pakar walet yang menawarkan jasa konsultasi juga banyak. Biaya untuk konsultasinya tersebut biasanya sangat tinggi, namun dengan hasil yang belum pasti. Pembangunan rumah walet baru, bisa menelan biaya sampai milyaran rupiah. Minimal ratusan juta rupiah, termasuk untuk biaya konsultan. Yang paling rasional, sebenarnya membeli rumah-rumah yang dihuni oleh burung sriti. Ketika sriti tersebut bertelur, telur walet kita masukkan ke dalam sarangnya menggantikan telur sriti tersebut. Ketika telur menetas, maka jadilah anak walet. Menjelang anak walet itu terbang, lokasi sarang tersebut harus segera disekat agar menjadi gelap. Nanti kalau walet telah terbang, dia pasti kembali ke lokasi sarang sriti yang sekarang telah menjadi gelap. Sementara sritinya akan membangun sarang di lokasi yang masih terang. Sebab sama-sama genus Collocalia, habitat sriti dan walet berbeda. Walet menghendaki gelap total, sementara sriti menghendaki lokasi yang terang benderang. Meskipun sepintas tampak menarik, kita harus ekstra hati-hati untuk terjun ke agroindustri sarang walet. Sebab banyak sekali jebakan serta penipuan dalam dunia yang satu ini. (R) * * * 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar